"Ummm, enggak ada pertanyaan lagi?"
Embun mulai menyelimuti kedua lensa kacamata Liam. Perutnya tak berhenti bergolak. Kombinasi belum sarapan, demam panggung, dan masuk angin karena tidur tak nyenyak semalam benar-benar sempurna merusak presentasinya hari ini. Sekuat tenaga Liam menahan supaya tidak mengeluarkan aroma aneh dan konser buang angin di depan kelas.
"Sudah cukup, Valia. Kamu bisa akhiri presentasinya," ujar Pak Aditya. Dosen favorit Liam itu rupanya mencoba menyelamatkan si empunya presentasi yang sudah seperempat nyawa berusaha tetap sadar.
"Te-terima kasih a-atas atensinya. Se-se-selamat pagi," Liam tergagap-gagap mengucapkan salam. Suara alto yang biasa meluncur dari pita suaranya sekarang malah mencicit seperti tikus.
"Pak, saya boleh izin ke toilet sekarang?"
Liam langsung menyambar tas ranselnya dari atas meja. Wajah tirus pucatnya makin meninggalkan kesan iba bagi siapa yang melihatnya.
Teman-teman sekelas Liam kebanyakan menduga, AC ruangan kuliah terlalu dingin sehingga Liam menahan buang air kecil selama presentasi. Namun, apa yang sebenarnya terjadi, Gadis Kutub perlu meredakan isi perutnya yang siap menjatuhkan bom atom detik kapan saja.
"Kalau sudah selesai, nanti kamu ke ruangan saya, ya!" perintah Pak Aditya.
Senyum tipis terulas di wajah teduhnya. Dosen muda terbaik di jurusan Ekonomi dan Bisnis itu tahu persis apa yang terjadi pada salah satu anak didik favoritnya.
Valia Mira, peraih IPK kelas cum laude selalu bermasalah ketika berbicara di depan umum. Keenceran otak dan segudang ide kreatif tak mempan membangun rasa percaya dirinya berhadapan dengan khalayak.
Sepertinya, hari ini penyakit demam panggung itu sudah menjelma menjadi kanker panggung stadium tiga setengah. Otak Liam seperti tidak berada di alam yang sama sepanjang jam presentasi. Matanya tadi sempat menyapu kelas, mencari sosok Nadia. Namun, gadis tinggi semampai berambut cokelat kemerahan itu tidak terlihat.
Pikiran aneh sempat menyita konsentrasi Liam. Sungguh sinting, ia membayangkan Nadia melewatkan kelas karena asyik bermesraan di ranjang tanpa busana bersama Papa. Prasangka yang efeknya membuat Liam seperti keledai dungu.
Pertanyaan yang jelas sudah ada jawabannya di dalam slide presentasi pun tak mampu dijawabnya lugas. Liam sangat lancar menuangkan gagasan-gagasan brilian dalam kertas ujian dan laporan tertulis. Entah mengapa, ketika kuliah berubah menjadi diskusi lisan, gadis yang tak pernah meraih nilai kurang dari A minus itu seperti membeku dan terpaku begitu saja.
Liam bergegas menuju bilik toilet mahasiswa di ujung lorong lantai tiga. Untunglah, cewek-cewek populer yang biasanya menguasai toilet untuk berdandan sambil bergosip belum datang.
Mungkin mereka masih hangover di rumah karena clubbing semalaman, batin Liam. Kuliah Senin pagi mampu meruntuhkan kenangan akhir pekan termanis sekali pun.
Ada tiga bilik di dalam toilet wanita. Satu bilik di ujung kanan terkunci. Sepertinya ada masalah yang belum dibereskan bagian pemeliharaan. Seingat Liam, Jumat lalu, toilet bilik tersebut meluap dan membuat histeris penghuni lain yang sedang mematut diri di cermin wastafel.
Sebotol minyak kayu putih kecil dikeluarkan Liam dari saku depan tas. Beberapa tetes minyak dioleskan perlahan pada perut dan lehernya yang seperti baru keluar dari kulkas. Tiga serdawa berentet keluar dari bibir mungil Liam.
"Aduh, masuk angin lagi," keluh Liam. Belum seminggu ia membeli satu kotak obat masuk angin cair. Sekarang di tasnya tersisa satu bungkus lagi. "Aku makin kaya nini-nini," erang Liam pelan. (1)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]
RomanceApa jadinya kalau dua manusia takut komitmen tiba-tiba dipertemukan takdir dalam sebuah acara radio? Liam, si cewek gloomy yang enggan percaya akan ketulusan cinta. Telepon rutinnya setiap Minggu malam ke Radio Gara membuat sang penyiar terjerat si...