Good Enough

3.5K 484 23
                                    

Entah ini Bandung atau cabang lain dari surga. Begitu pikir Liam termenung di teras rumah Diaz. Semua hal tentang cowok berbadan tegap itu berselimutkan aura positif. Pria bermandikan cahaya mentari, selalu bersinar seperti tak mengalami kegelapan problematika hidup.

Sepertinya, efek tempat tinggal yang begitu nyaman memengaruhi ringannya Diaz melangkah sehari-hari. Baru lima belas menit Liam duduk di sini, hatinya sudah tak sepanas di mobil tadi.

Rumah Diaz bergaya tropis. Jendela kaca dengan banyak ventilasi tentu membuat kediaman bertingkat dua itu mudah mendapatkan udara segar dan pencahayaan alami. Bebatuan alam menghiasi dinding. Nuansa warna putih berpadu manis dengan bahan kayu.

Pelataran parkir luas, cukup menampung hingga lima atau enam mobil. Berakhir pada sebuah pintu kayu yang Liam duga sebagai garasi. Sementara rerumputan hijau terbentang di halaman. Pohon-pohon palem menghiasi tepian areanya. Mirip seperti di sebuah resor saja, bukan rumah pribadi.

"Aku enggak tahu kamu suka yang mana," sebuah suara bariton memecah keheningan. Wajah berseri-seri dengan senyuman hangat sempat membuat Liam melongo saking terpananya.

Anjrit, ini muka sama jantung susah bener diakurin, sih! Umpat gadis berkacamata itu mencoba menyembunyikan kegugupan. Segera ia menguncir rambut lurus sebahunya yang sempat dibiarkan tergerai.

"Yaz, repot-repot amat," ucap Liam lirih. Dua buah mug berisi minuman hangat dan sepiring pisang goreng yang masih mengepul tampak menggiurkan.

"Kamu mau teh chamomile atau bandrek?" tanya Diaz mengerjapkan mata elangnya.

Aroma menenangkan menguar dari salah satu mug. Ah, ini teh yang dulu suka dibuat Mama. Kilasan kenangan mulai bersliweran di dalam kepala Liam.

"Teh aja, Yaz. Makasih ya. Ini kamu yang bikin sendiri?" Liam mengangkat mug berisi teh dan menghirupnya perlahan. Manisnya pas. komentarnya dalam hati.

"Minumnya sama aku. Pisangnya sih racikan Mama. Cobain dong, enak banget tauuu!"

Diaz duduk di bangku kayu panjang, bersebelahan dengan Liam. Ia mengambil sebuah piring kecil dan menaruh dua potong pisang goreng untuk sang tamu spesial. Tak lupa, dua lembar tisu makan ia lipat dan sodorkan pada gadis yang sekarang mukanya mulai bersemu merah.

Sudah lama Liam tidak pernah diperhatikan seperti ini sepeninggal Mama. Satu tahun, tiga bulan, sepuluh hari. Angka persis yang Liam hitung rinci setiap harinya.

"Kamu enggak perlu segininya, Yaz," ujar Liam getir. Matanya menerawang ke halaman. Tangan kurusnya meletakkan piring ke sudut kiri atas meja kayu berukir di hadapan.

"Tanpa kamu minta, aku sukarela kok lakuin ini." Cowok itu terdengar semakin dekat berbicara di telinga Liam. Bulu-bulu halus di belakang leher Liam mendadak berdiri. Sebuah rasa aneh seperti mulas tak jelas merayapi perutnya.

"Makan dulu. Entar kalo udah kenyang, kan enak ceritanya. Masa curhat sambil backsound-nya perut nyanyi?" canda Diaz. Ia sekarang berpindah tempat. Mengambil sebuah bantal kursi, Diaz dengan cuek duduk di lantai berhadapan dengan Liam.

Sekarang, kedua pasang mata itu bersitatap. Sebuah sorot pandangan yakin seorang cowok yang tak ingin sang cewek menghindari perhatiannya lagi sontak membuat Liam buru-buru meneguk teh yang untungnya sudah tidak terlampau panas lagi.

"Sepuluh tahun," sahut Diaz tiba-tiba. "Selama itu aku kenal sama Kang Prast. Dari kelas satu SMA, aku ngefans sama suara dia kalo ngeband grunge," lanjut cowok itu lalu mencomot sepotong pisang goreng.

"Jujur, aku enggak ikutin gimana kehidupan pribadinya. Bukan urusanku sih untuk tracking siapa aja cewek yang berhubungan sama dia. Walaupun aku yakin jumlahnya pasti enggak sedikit," dengus Diaz. Mulutnya mengunyah perlahan, meminum bandreknya di sela-sela waktu.

Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang