"I want you more.
Even if this reality is heavy and rough.
I love you, I love you,"
-No Longer, NCT 127HUJAN turun dengan sangat deras, hari itu.
Masih dalam keterpakuan, Mentari berdiri di sudut ruangan. Dia menatap tubuhnya sekali, lalu menoleh ke sekitar. Menemukan dirinya kini berada di tengah lalu lalang orang dan suara yang tumpang tindih. Hujan, tangis, teriakkan, roda tempat tidur, juga para staff medis yang berlarian menghampiri satu pasien mereka yang baru beberapa detik lalu tiba.
Dia mengerjap, mencoba melangkahkan kakinya yang tidak beralas pada lantai putih ruangan berbau kloroform tempatnya berada saat ini. Ada sedikit harapan di hatinya bahwa penantiannya untuk kembali hidup telah terkabulkan. Mungkin setelah ini dia harus mencoba memanggil seseorang.
Tapi ternyata, semu.
Mentari tak sempat menghindar ketika seorang suster berlari ke arahnya. Dia pikir, dia akan terjatuh. Tapi sekali lagi, semu. Mentari masih tak terlihat.
"TARI!"
Dia menoleh, yakin itu suara yang dikenalnya dengan sangat baik. Saat matanya kemudian menemukan si pemilik suara itu, memang benar dia tahu.
Dan senyum Mentari spontan terukir. Tapi, di detik berikutnya, senyum itu lantas menguap dan hilang begitu saja.
Alih-alih menghampirinya, dia justru setengah berlari mendekati seorang gadis yang mematung di dekat pintu keluar. Mentari terkesiap. Kelopak matanya bergetar melihat siapa sebenarnya gadis itu.
"Lo sendirian ke sini?"
Bahu gadis itu melemah. Tunggu, napas Mentari naik turun begitu kepalanya berhasil menemukan sekeping ingatan. Segala adegan ini... adalah awal dari semua suka duka yang terjadi. Dan gadis itu, adalah dia dalam kenyataan. Itu tubuhnya! Mengenakan seragam putih biru dengan rambut dikuncir ke samping. Itu dia sekian tahun yang lalu.
Gadis itu mengangguk, sedetik kemudian menggeleng. Tangannya digengam oleh orang tadi. Anak laki-laki yang memakai seragam sama sepertinya. Juga, sama seperti si pasien yang baru datang.
"Ara..." Kata gadis itu parau. Mentari berjalan menghampiri, melihat refleksinya dan mendengar suaranya lebih dekat, meskipun tahu persis apa kelanjutan kata yang akan didengarnya. "Ara... baik-baik aja kan Dik?" Tanya dia, melihat satu dari belasan tempat tidur pasien, yang dikerubungi oleh tiga orang berjas putih, juga suster yang membawa beberapa alat dengan panik.
Cowok tadi menunduk. Bahkan untuk tersenyum getir saja dia tak sanggup.
"Ara..."
Belum sempat pertanyaan gadis itu terjawab dengan benar, tangis seseorang semakin memecah ruah suasana. Tangis itu berupa erangan, yang segera menjawab tuntas pertanyaannya.
Tanpa sadar, sebentuk kristal bening mengalir dari mata Mentari. Juga gadis itu, yang sudah berjongkok memeluk lututnya sambil terisak-isak.
Tak ada yang berubah dari dulu maupun saat ini. Sejak awal, kematian sahabat terbaiknya itu adalah salahnya. Salah Mentari, salah gadis itu. .
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari
Teen Fiction"Tar?" "Apa?" Mentari membalas panggilan Surya tanpa balas menatap. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pertama. "Gue benci sama lo, lo tau?" Tanya Surya lagi, membuat kali ini Mentari menoleh. "Kenapa lo mau jalan sama orang yang benci sama lo...