[22] Here, Trully After

40 4 0
                                    

"Every moment becomes precious days. 
Since you are the one who let me know about love. 
I am thankful for it," 
-Love You Still, Kim Jaehwan




























Mentari tidak bisa tidur.

Jam dinding di depannya sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi, tapi pikirannya menolak untuk berhenti bekerja. Dua jam yang lalu, dia terbangun. Dengan potongan adegan tak beralur lainnya. Kali ini, berbeda. Karena adegan yang ia lihat adalah adegan terpenting yang dua minggu ini selalu dia pertanyakan.

"Kamu kebangun ya?"

Mentari refleks memejamkan matanya. Lalu membuka lagi begitu tahu Papanya jelas sudah melihatnya dalam keadaan sadar. Gadis itu duduk. Membiarkan Papa duduk di sisi tempat tidurnya.

"Papa juga, kenapa nggak tidur?" Tanya Mentari, menyandarkan dahinya ke punggung pria itu. Bahkan setelah dia sadar dari koma, Papanya baru pertama kali bermalam di rumah sakit. Ya, Mentari tahu sih, Reinaldi Reyn adalah orang tersibuk sepanjang sejarah. Tapi, tetap saja. Seorang anak selalu butuh waktu bercerita dengan orang tua mereka.

"Papa tadi minum kopi, terus malah ngga bisa tidur,"

Papa mengelus rambut Mentari yang panjang, merangkul sayang anak sematawayangnya. Tiga tahun lalu, saat bisnisnya sedang dilanda banyak masalah, satu kabar paling menyedihkan membuatnya semakin terpuruk. Berbagai pikiran bagaimana kalau dia benar-benar kehilangan orang yang ia sayangi lagi, terus bermunculan dibenaknya. Membuatnya seakan tertampar untuk kedua kali, bahwa dia tidak pernah sekali pun menjadi pelindung yang baik. Sebagai suami, atau pun sebagai ayah.

Kemudian kemungkinan itu terpatahkan. Mentari tidak benar-benar pergi meninggalkannya, membuat Reinaldi bangkit lagi dan berjanji untuk menghabisi siapa pun orang yang berusaha merenggut dunianya. Mengambil Mentarinya.

Tapi pada akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri. Akhirnya, semua salahnya.

"Pa, bunda sama mama tuh dulu sahabatan?"

Papa menoleh, sedikit heran dengan pertanyaan yang Mentari ajukan.

"Iya. permintaan terakhir Bundamu, buat Mama jaga Mentari sampai besar. Nggak nyangka kamu udah dua puluh satu aja sekarang," Jawab Papa, menjepit hidung Mentari sampai gadis itu mengerang. "Kamu sebetulnya udah tau ini dari lama, tapi nggak papa. Anggep aja kayak terlahir kembali gitu ya?"

Mentari mencebikkan bibir. Lalu bersandar pada bahu papanya lagi.

Terlahir kembali? Mungkin memang seharusnya dia berhenti saja. Seperti percuma. Melati sudah menjelaskan semuanya bahkan menunjukkan foto teman-temannya saat SMA. Melati bilang dia sangat popular. Melati bilang ini dan itu.

Tapi semuanya seakan cuma bualan nyaring. Ingatannya terlalu acak. Dia bisa merasakan duduk di kursi saat mendengarkan guru menjelaskan, keluar dari kelas beberapa saat bel, naik turun tangga sekolah tapi tak ada siapa pun. Hanya dia dan dirinya.

"Pa,"

"Hm?"

"Papa pasti tau kan, siapa yang bikin aku kayak gini?"

Sejenak, Papa membeku. Dia tidak tahu apakah mengatakannya pada Mentari adalah pilihan yang tepat, karena hal ini pasti akan membebani pikirannya.

"Papa ngantuk Tar, kamu juga tidur ya?"

Mentari tersenyum getir sebelum akhirnya menurut, merebahkan lagi badannya di atas kasur. Gadis itu sudah menduga. Tidak ada cara lain menemukan jawaban dari pertanyaan itu selain mengembalikan ingatannya. Dan itu, mungkin sama sekali tidak mudah.

***

Setelah hampir satu bulan menjalani terapi pasca koma, akhirnya Mentari diperbolehkan pulang. Sudah cukup banyak kemajuan pada kognisi gadis itu, dan dia bersyukur sudah diberi kesempatan kembali ke dunia ini. Apalagi ada Dika, Melati, dan Juno yang walaupun jauh, terus menanyakan kabarnya lewat telepon.

"Apa yang jauh di mata tapi dekat di hati?"

Mentari melirik Dika yang baru melontarkan kalimat barusan, mencibir. Mereka berdua sedang menyusuri taman kota yang Dika bilang baru dibuka dua bulan lalu. Karena ini masih pagi dan bukan hari libur, taman ini terbilang cukup sepi. Ya... Mentari tidak tahu kenapa anak itu seperti orang yang tak punya pekerjaan padahal jelas-jelas dia harus kuliah. Dika sendiri yang memaksa Mentari ke sini pagi-pagi.

"Ginjal?" Tebak Mentari, Dika menggeleng.

"Salah, jawabannya pankreas,"

"Deketan ginjal nggak sih Dik? Kok..?"

Mentari protes tapi Dika malah tertawa-tawa. Mereka lalu duduk di salah satu bangku panjang di pinggir jalan setapak, masih dengan jokes-jokes Dika yang keterlaluan recehnya. Tapi lelucon-lelucon itu cukup untuk membuat Mentari tersenyum.Setidaknya, dia senang ada seseorang yang tertawa lepas di sampingnya.

Mentari menghirup udara dalam-dalam. Menikmati kebebasannya setelah bertahun-tahun terkurung di dalam ruangan rumah sakit yang pengap.

"Tar," Dika memanggil Mentari, menghadapkan tubuhnya pada gadis itu. "Kalo seandainya kita dijodohin, lo setuju nggak?"

Dika kira, gadis itu akan mengatakan gila, yang bener aja lo?! atau bahkan mengatainya tidak masuk akal. Tapi Mentari hanya meliriknya sekilas. Lebih tertarik menatap pepohonan walaupun Dika menyadari, mata itu sudah kehilangan fokus.

"Kalo gue nggak setuju, alesannya apa coba?"

Dika mengernyit. Punggung cowok itu seketika menegak.

Mentari terkekeh pelan. "Gue kenal lo. Lo baik, nggak jelek, keluarga lo sama keluarga gue juga udah kayak sodara, agama lo sama sama gue. Gue mau bilang suka sama cowok lain? Siapa? Temen-temen gue aja gue lupa,"

Dan memang seperti itu. Mereka terlalu sering bersama sehingga Sonya Reyn lelah sendiri menanyai Dika.

Cowok itu mendesis lalu mencubit pipi Mentari keras-keras. Kontan membuat yang dicubit meringis kesakitan. Dika sebenarnya sadar betul Mentari tidak sedang bercanda. Karena dia juga tidak main-main. Itu yang dikatakan Mamanya semalam yang sekaligus menjadi kekhawatirannya.

Lalu, senyumnya mengembang. "Berarti hari ini hari pertama,"

"Hari pertama bapakmu!" Mentari menjitak kepala Dika, lalu berdiri. Segera berlari dan membuat cowok itu mengejarnya.

Mentari berlari mundur sambil memeletkan lidah, membuat dia tak melihat seseorang susah payah berjalan di depannya. Otomatis, dia menabrak orang itu. Ah, bodoh. Mentari benar-benar menyesal.

Keduanya jatuh terduduk di tengah-tengah jalan setapak. Mentari semakin merasa bodoh ketika melihat sebuah tongkat tergeletak tepat di sampingnya. Gadis itu mendongak. Baru akan meminta maaf ketika orang yang jatuh bersamanya tadi, menyebut namanya.

"Tari?"

Mentari terpaku. Dia memicingkan mata, lalu potongan adegan itu kembali menampakkan rupa dalam benaknya. Momen yang sama sekali tak ia duga. Karena potongan adegan itu, seketika menjadi lebih jelas. Beralur. Bahkan sekarang, dia bisa mendengar suara gadis di depannya ini memanggilnya seperti apa yang dilakukannya barusan.

Tatapan mata mereka masih bertemu. Mentari bisa merasakan keringat mulai mengalir dari kening, bahkan telapak tangannya juga basah. Dia tidak pernah menyangka ingatannya bisa kembali semudah ini, malah setelah dia nyaris putus asa. Gadis itu tersenyum.

"Nita?"

***

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang