" Laughter and tears, scars and healing
Questions and answers, they're all in you,"
-Universe
Pagi ini, Mentari berangkat ke sekolah seperti biasa. Jam delapan kurang lima belas. Ada pintu khusus yang bisa Mentari lewati demi menghindari kecemburuan sosial di antara anak-anak yang memang datang terlambat. Hanya dia yang diam-diam selalu diperbolehkan masuk jam berapa pun dia datang.
Semua orang sebetulnya tahu. Murid, juga guru-guru yang begiliran mengisi jam pertama di kelas Mentari. Mereka hanya tidak mau peduli. Karena ini memang permintaan khusus dari sang donatur tetap sekolah, Reinaldi Reyn, agar anaknya dibiarkan terlambat karena alasan khusus.
Ini masalah Mentari yang tidak bisa-atau tidak ada kemauan-untuk bangun sebelum matahari terbit. Tidak ada juga yang bisa melawannya sekalipun itu sang Papa.
Jadi, kesimpulannya, tidak ada kata terlambat untuk Tuan Puteri yang satu ini.
"Dalam menyampaikan sebuah cerita fiksi, bukan hanya gestur yang harus diutamakan, tapi juga, ekspresi dan intonasi suara," Bu Sasdra, guru yang hanya bisa menggelengkan kepalanya atas keterlambatan Mentari pagi ini, menjelaskan materi Bahasa Indonesia dengan suara khasnya. "Intonasi, dan kesesuaian suara dengan karakter tokoh yang kamu mainkan akan menjadi sangat penting, yang menentukan bagus atau tidaknya penampilan kalian, dan sampai atau tidaknya, isi cerita yang disampaikan tersebut ke pemahaman pendengar,"
Mentai melirik Nita yang sibuk dengan sketch-nya. Dia terang-terangan tidak mau peduli atas apa yang disampaikan Bu Sasdra.
"Lo dapet nomor berapa?" Bisik Mentari, sesekali, melihat kertas kecil yang ada di tangannya. Nita mengangkat wajah.
"Dua," Jawabnya. Mentari mendengus kasar.
"Lo berapa?" Natasya, yang duduk persis di depan Nita, menoleh ke belakang. Mentari lantas menunjukkan kertas kecil itu. "Tiga?"
"SAMA GUE DONG!"
Teriakkan Reni yang tiba-tiba kontan membuat penjelasan Bu Sasdra seketika terpotong, sekaligus, kelas IPA 1 sunyi senyap. Semua orang menoleh ke arah Reni. Membuat Mentari, Nita, dan Natasya yang duduk di dekat anak itu sontak jadi perhatian juga.
Semua orang pikir bu Sasdra akan meledak. Tapi wanita itu tanpa disangka hanya mengembuskan napasnya, lantas lanjut menerangkan.
Sebenarnya, sebelum Mentari masuk tadi, Bu Sasdra sudah membagikan nomor untuk kelompok story telling Bahasa Indonesia. Mentari mendapat giliran terakhir. Dan seperti yang Reni bilang, dia dapat nomor tiga.
Dan Reni sebahagia itu bisa sekelompok dengannya.
"Cukup sekian untuk hari ini," Bu Sasdra menutup penjelasannya setelah bel pergantian jam terdengar. Mentari tahu, wanita itu sebisa mungkin menekan emosinya karena teriakan Reni tadi. "Kalau ada yang ingin ditanyakan, ibu ada di kantor," Jelasnya, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan kelas.
Reni benar-benar heboh setelah bu Sasdra keluar dari kelas. Sementara itu, masih ada dua orang lagi yang akan menjadi anggota kelompok mereka.
"Tar, lo dapet tiga?" Itu suara orang yang duduk di belakang Nita, well, siapa lagi kalau bukan Ryan?
"Iya, lo?"
Ryan menjawabnya dengan menunjukkan kertasnya. Tiga. Mereka sekelompok.
Sementara Ryan, Reni, dan Mentari sedang ber-highfive ria karena mereka ada di kelompok yang sama, orang di samping Ryan tengah berusaha untuk terlihat biasa saja. Ryan menoleh pada teman semejanya itu, memintanya menunjukkan kertas yang ia dapatkan dari tangan Bu Sasdra tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari
Teen Fiction"Tar?" "Apa?" Mentari membalas panggilan Surya tanpa balas menatap. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pertama. "Gue benci sama lo, lo tau?" Tanya Surya lagi, membuat kali ini Mentari menoleh. "Kenapa lo mau jalan sama orang yang benci sama lo...