"When you smile, sun shines. The brilliance can't be expressed with language. Waves are crashing down. In my heart," —Baby Don't Cry, EXO
Surya mengembuskan napasnya lega ketika matanya menangkap siluet yang kini begitu familiar. Perlahan, kakinya melangkah mendekat. Entah sejak kapan ia begitu mudah mengenali Mentari, se-sekilas walaupun hanya berupa bayangannya. Mungkin karena dia tanpa sengaja sudah memperhatikan Mentari, dari lama? Waktu kelas sepuluh, Surya pernah mencari tahu apakah Mentari yang dibicarakan orang-orang adalah Mentari dari ingatannya.
Dan ia sempat mengikuti Mentari ke rumahnya diam-diam, karena satu-satunya yang Surya ingat adalah rumah gadis itu. Voila! Semuanya cocok dan Surya berada pada kesimpulan bahwa Mentari adalah apa yang ia ingat. Tapi kemudian, segala tindakan yang dilakukan gadis itu membuat Surya seakan menyesal sudah mencari tahu tentangnya.
Mungkin Mentari seperti itu karena ia sejak lama kehilangan bundanya.
Mungkin, ia tidak akan seperti itu kalau bundanya masih ada, hidup.
Mungkin, Surya akan seberuntung anak-anak lainnya juga kalau seandainya orangtuanya masih hidup.
Kehadiran Mentari seolah-olah membuatnya menyalahkan keadaan. Membencinya. Mengutuknya.
Sampai dia sadar, apa yang selama ini dilakukannya adalah salah.
"Bakalan seru nih, kalo video lo lagi nangis ikut kesebar," Cetus anak laki-laki itu, sambil duduk di samping Mentari yang sibuk menenggelamkan wajahnya di atas lutut.
Kontan, Mentari mendongak kaget. Sedetik setelah melihat Surya, gadis itu mengerang lalu kembali menundukkan wajahnya lagi. Pertama, karena dia masih ingin menangis. Kedua, karena dia tidak mau kembali menampakkan wajah sembabnya.
Tanpa sadar, sudut bibir Surya terangkat. Dia lalu tertawa kecil sambil menyerahkan sebungkus kecil tisu ke tangan Mentari. "Gausah nangisin orang-orang yang nggak peduli sama lo. Nyusahin diri aja,"
"Bawel lo Ya! Pergi sana!"
"Weehh, ngegas. Gue tinggalin nanti lo loncat lagi dari sini," Ucap Surya asal, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi apa saja tanpa tujuan. Dia juga tidak tahu sebetulnya kenapa dia di sini, dan untuk apa dia di sini. "Lanjutin aja nangis lo. Gue cuma mau mastiin lo nggak loncat,"
"Emang apa peduli lo kalo gue bunuh diri? Lo kan benci sama gue Ya?"
"Benci bukan berarti ngga peduli. Udah lo nangis aja si, cerewet,"
"IIHH!" Mentari akhirnya mendongak kesal. Dia menyeka rambutnya yang menempel di wajah karena air mata, kemudian berdiri. Namun, sebelum Mentari benar-benar pergi, Surya terlebih dulu menahannya dan menarik tangannya supaya dia kembali duduk. "Mau lo apa sih, Surya?!"
"Mau gue? Lo nggak usah nemuin mereka dulu sampe lo tenang. Ngga usah bikin masalah lagi kenapa sih?"
"Emang. Iya gue tukang bikin masalah! Terserah lo mau bilang apa juga,"
"Bukan gitu Tar, maksud gue,"
Mentari menatap Surya di depannya tepat di manik mata. Hening sementara. Surya berusaha menebak apa yang Mentari sampaikan lewat mata biru gelap itu. Sejenak, dunia di sekeliling mereka seakan memudar perlahan-lahan.
Surya mematung. Mata itu terlihat kuat untuk detik pertama. Namun terlihat sangat rapuh di dalamnya untuk detik-detik berikutnya.
"Ngga usah ngatur-ngatur hidup gue. Lo, bukan siapa-siapa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari
Teen Fiction"Tar?" "Apa?" Mentari membalas panggilan Surya tanpa balas menatap. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pertama. "Gue benci sama lo, lo tau?" Tanya Surya lagi, membuat kali ini Mentari menoleh. "Kenapa lo mau jalan sama orang yang benci sama lo...