"How can I say this? Without hurting you.
I wanted to let you go.
With right and pretty excuse
and leave you."
–I'm In Love With Someone Else, Suzy
SEJAK sepuluh menit lalu duduk di kafe yang baru dibuka ini dan pelayan yang menanyai pesanan mereka pergi, tak ada yang membuka suara. Yang satu menatap orang di depannya, seolah tak bisa percaya pada penglihatannya sendiri. Seakan keberadaan orang itu mustahil, kecuali dalam mimpi. Sementara yang satunya, sibuk memandangi tongkat yang bersandar pada kursi, seperti benda itu bersalah dan harus dihakimi. Namun sekaligus, matanya penuh tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Hari itu, dan selama tiga tahun dia terkukung dalam dimensi yang berbeda.
Dika, yang hanya diizinkan Mentari untuk duduk di luar dinding kaca, cuma sanggup mendengus kasar dan menyaksikan kebekuan itu. Semuanya baru terbuyarkan ketika seorang laki-laki membuka pintu kafe dengan ribut, membuat bel di sana berteriak heboh bersamaan suara langkah terburu-burunya.
"Sorry... sorry gue baru bangun jadinya.." Ucapannya tak selesai. Persis seperti gadis di hadapan Mentari, laki-laki itu terpaku. melihat Mentari dengan kepercayaan nihil, tapi juga lalu senyumnya muncul mewakili kebahagiaan yang membuncah.
Yang menjadi objek kekagetan tiba-tiba tertawa. Lalu bersama tawa itu, terdengar isakkan tak terelakan. Nita tak bisa lagi membendung air matanya melihat Mentari seperti ini. Digesernya kursi yang ia duduki dengan susah payah, hanya agar dia bisa merengkuh gadis itu.
Laki-laki tadi tersenyum lemah. "Gue tau kalian kangen gue tapi nggak usah pada nangis gitu ah," Ucapnya. Sambil membantu Nita untuk menggeser kursi sampai tangannya merengkuh Mentari, lalu duduk di hadapan dua perempuan itu.
"Bacot lo Yan," Ucap Mentari, lalu balas memeluk Nita, sampai perlahan tangis keduanya reda. Ryan meneguk ludah. Saat Nita mengabarinya tentang Mentari, Ryan pikir anak itu bercanda. Sampai detik ini pun, sebenarnya masih sulit percaya gadis itu akhirnya terbangun juga dari tidur panjangnya.
Seandainya ada satu orang lagi di sini, mereka bisa lengkap.
"Ma.." Mentari menyeka wajahnya yang basah, berusaha mengatur napasnya yang masih terisak-isak. "Ma-hiks -maafin, gue,"
"Maaf buat apa? Lo nggak salah apa-apa sama kita," Ucap Nita, sambil satu tangannya masih memeluk Mentari yang mulai menangis lagi, sambil menangkup wajahnya dengan tangan. Tawa artifisial tadi, kini sepenuhnya berganti jadi isakan paling menyayat yang pernah ada. "Sekarang hiks udah nggak papa. Gue sama Ryan udah di sini, semuanya baik-baik aja,"
"Iya Tar, jangan nyalahin diri lo lagi," Tambah Ryan, memberikan kekuatan pada setiap kata yang dia ucapkan, tiga tahun lalu, baginya adalah mimpi terburuk yang pernah menjadi kenyataan. Kata-katanya untuk Mentari tadi sebenarnya juga untuk dirinya sendiri. Karena sejak kejadian itu, rasa bersalah seperti terus menggerayanginya tanpa ampun.
Seandainya dulu dia lebih peka, atau tidak terlalu bodoh untuk diam mematung ketika Nita bahkan berusaha.
Setidaknya semua mungkin lebih baik dari ini. Tapi percuma, pena sudah digores dan tak ada cara untuk menulis ulang.
Mentari menarik tangannya dari wajah. Menoleh pada Nita yang sekarang di sampingnya lalu pada tongkat, yang tadi Nita gunakan untuk membantunya berjalan.
"Kaki lo.. gara-gara gue ya Nit?"
Bahu Nita semakin melemah. Ditatapnya kakinya yang masih utuh, namun tak bisa ia rasakan lagi. Bukan, bukan keduanya. Hanya kaki kanannya. Tiga tahun lalu saat kejadian itu, Nita berusaha menghalangi mobil yang menabrak Mentari. Namun dia masih beruntung tubuhnya tak benar-benar menghantan mulut mobil. Walaupun, isi kanannya tetap terserempet. Sejak hari itu, kaki kanannya tak bisa ia rasakan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari
Teen Fiction"Tar?" "Apa?" Mentari membalas panggilan Surya tanpa balas menatap. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pertama. "Gue benci sama lo, lo tau?" Tanya Surya lagi, membuat kali ini Mentari menoleh. "Kenapa lo mau jalan sama orang yang benci sama lo...