"I'm crying. That's disappeared. That's fallen. Lat alone in this sandcastle ," —The Truth Untold, BTS
P
onsel di tangan Mentari terlepas dari genggamannya begitu dia memasuki rumah. Matanya nanar, menatap barang-barang di rumahnya kini ditempeli stiker sita dan beberapa orang keluar masuk seenaknya. Sonya, mamanya, sedang berbicara dengan seseorang dengan kening berkerut marah. Begitu orang itu pergi, Mentari baru menghampirinya.
Ada apa?
"Biarkan Mama sendiri dulu,"
Mentari terenyak. "Ada apa ma? Kenapa—"
"MASUK KE KAMAR KAMU MENTARI!"
Gadis itu membeku, pertama kalinya wanita yang sudah seperti ibu kandungnya ini membentak seperti itu. Sonya memang sering mengomel tapi tidak pernah membentak. Dengan terpaksa, dia akhirnya berbalik dan masuk ke kamarnya, di mana barang-barangnya juga ditempeli stiker serupa.
Apa yang terjadi?
Barang-barangnya akan disita?
Rumahnya... juga?
Mentari mencoba menghubung Papa tapi ponselnya sudah tidak aktif. Dia mencoba bertanya pada pekerja di rumahnya tapi tak ada satu pun bahkan Tika tak mau menjawab.
"Tar?"
Gadis itu mendongak. Dia sedang terduduk di lantai dan bersandar pada kaki kasur saat Juno tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya. Baru kemudian, dari sahabatnya itulah dia akhirnya tahu.
Reinaldi Reyn mungkin saja baru dituduh atas penggelapan dana yang cukup besar nilainya. Seperti itu lah. Mentari tidak begitu mengerti detailnya tapi Papanya sedang ditahan di kantor polisi sekarang. Salah satu rekan bisnisnya yang melaporkannya.
Mentari masih dalam keterpakuan saat ponsel di tangannya bergetar untuk kesekian kali hari ini, menampilkan pesan dari nomor yang tak Mentari simpan, namun melekat di kepalanya.
08162132435465
Gimana? Ucapan gue terbukti kan? Apa yang lo punya sekarang, bakal gue rebut satu-satu.
***
"Woi, lo pada udah tau?"
"Wah, miskin dong dia sekarang,"
"HUSH, Jangan ngomong gitu bego belom kebukti,"
Koridor panjang menuju kelasnya mendadak jadi berkali lipat terasa lebih panjang dari biasanya. Telinga gadis itu sebisa mungkin ia tulikan. Langkahnya sengaja dibuat lebar-lebar. Melalui segala macam teknologi, juga karena reputasi besar keluarganya, berita itu nyaris tidak mungkin tak sampai ke kuping manusia-manusia di Edhel Persona sebegitu cepat.
Juno, yang ikut memepercepat langkah, menepuk bahu Mentari begitu mereka sampai di pintu kelas, lalu melenggang ke kursinya. Mungkin Juno berpikir Mentari buru-buru hanya karena tidak mau mendengar celotehan orang-orang tapi, faktanya, gadis itu ingin cepat sampai di kelas karena ingin menemui seseorang.
Pemilik nomor yang selalu mengiriminya pesan-pesan aneh.
"Mana temen lo?" Ucap Mentari dingin, pada Reni yang baru akan keluar dari kelas. Anak perempuan itu berdecak, matanya jelas-jelas menolak kontak dengan mata Mentari.
"Temen gue banyak, maksud lo siapa?"
"Natasya,"
"Tar, gue bukan ibunya. Mana gue tau," Jawab Reni, lalu melengos begitu saja keluar dari ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari
Teen Fiction"Tar?" "Apa?" Mentari membalas panggilan Surya tanpa balas menatap. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pertama. "Gue benci sama lo, lo tau?" Tanya Surya lagi, membuat kali ini Mentari menoleh. "Kenapa lo mau jalan sama orang yang benci sama lo...