[10] Hello, Friend!

33 6 0
                                    

"When hardships keep overlapping. 
And you don't even know why
When people ask you how you're doing. 
But you answer with a tear,"
Listen To The Song, Kassy























Ada yang berbeda.

Ada yang berbeda dari salah satu rumah termegah di kompleks perumahan elit itu. Biasanya, hanya satu-dua mobil yang keluar masuk pagar. Hari ini, belasan mobil terparkir bahkan sampai ke pinggir jalan. Untuk pertama kalinya pun, pagar besar itu dibiarkan terbuka. Menampakkan halaman rumah yang bahkan belum tentu pernah dilihat tukang sapu yang ada di sana setiap paginya.

Yang paling mencolok dari kejanggalan hari itu, karangan bunga duka cita ikut terparkir di sepanjang jalan setapak menuju rumah. Dari berbagai macam kalangan, mulai dari kolega bisnis, serentet pejabat pemerintahan, bahkan Bapak Presiden.

Tapi semua perbedaan itu, justru semakin menambah luka.

Terutama untuk seorang gadis kecil, yang sekarang diam terduduk di sebelah tubuh Bundanya.

"Mentari,"

Gadis kecil itu menoleh. Dilihatnya seorang wanita berdiri, tersenyum padanya tanpa bisa menghilangkan bekas air mata di pipinya, dan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Di sebelah wanita itu, seorang anak laki-laki seumurannya menatap Mentari dengan ekspresi yang sama.

Iya. Anak laki-laki itu juga tersenyum lembut.

"Mentari, nggak apa," Ucap wanita itu lagi, setelah jarak mereka lebih dekat. Ditangkupnya pipi Mentari, lalu dipeluknya ia.

Mentari bisa merasakan kehangatan itu. Seperti bagaimana setiap Bunda memeluknya, persis.

"Nggak apa sayang, suatu hari nanti kamu akan ketemu lagi sama Bunda," Wanita itu melepaskan pelukan mereka. Sebagai gantinya, dia memegang bahu Mentari lembut. Lalu matanya beralih pada tubuh yang sekarang dingin. Dan kembali pada Mentari.

"Kamu boleh menangis, tapi buat hari ini aja. Besok, Mentari nggak boleh nangis lagi, ya?" Wanita itu benar-benar memberikan Mentari kehangatan. Bahkan, hanya dengan tatapan dan ucapannya.

Tapi Mentari tidak bisa menangis. Seperti bagaimana orang-orang, Mentari mendadak lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata.

Kesedihan ini bukan seperti kesedihan ketika dia tidak boleh ikut Juno ke rumah neneknya. Atau, bukan juga karena mainannya tiba-tiba rusak.

Ini berbeda. Anak kecil itu sudah tahu dengan sendirinya.

Wanita tadi menghela napasnya lalu mengajak Mentari keluar sebentar dari ruangan itu. Walaupun awalnya Mentari tidak mau, karena ia ingin bersama Bunda lebih lama. Mentari akhirnya menurut ketika wanita itu mengatakan padanya kalau ada banyak cokelat di luar.

Tapi ketika sampai di meja makan, Mentari tak melihat satu pun. Wanita itu bahkan melupakannya ketika beberapa orang datang dan memeluknya sambil sesekali terisak.

"Mentari,"

Mentari menoleh lagi. Kali ini, yang memanggilnya adalah anak laki-laki di sebelah wanita tadi. Tiba-tiba, ia menyodorkannya sebatang cokelat yang sudah terbuka.

"Mamaku nggak bohong kok, aku masih punya banyak,"

"Aku maunya yang baru," Mentari menolak cokelat itu. Membuat tangan anak laki-laki tadi turun dan dahinya mengernyit.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang