"I need to find you, I need to go.
But tears well up and its getting blurrier,"
—Don't Wanna Cry, SeventeenSAAT remaja, kamu mungkin membuat banyak kesalahan.
Saat belia, kamu mungkin mengukir banyak kenakalan yang tak termaafkan.
Saat itu, akan ada banyak luka yang kamu gores di hatimu. Seperti monolog salah satu tokoh di drama korea yang tak sengaja ia tonton, ketika adik perempuannya tertidur dengan laptop yang masih menyala.
Delapan belas tahun, adalah usia ketika kamu mungkin banyak kesakitan.
Tapi nanti, akan ada alasan kenapa kamu mengenangnya sebagai usia yang paling membahagiakan.
Laki-laki itu menatap punggung orang di depannya tanpa fokus, terhanyut dalam lamunannya beberapa saat setelah sebuah pesan masuk ke ponselnya. Tiga tahun lalu, usianya delapan belas tahun. Sama seperti kebanyakan remaja laki-laki. Dia mencoba rokok, dia bertengkar, dia dipukuli, dia memukuli.
Tak ada pembenaran apa pun atas segala tindakannya itu. Saat sekarang usianya dua puluh satu tahun, banyak penyesalan dan luka atas segala yang dia lakukan dulu.
Mungkin sama halnya dengan apa yang gadis itu lakukan.
"Dika, telfon tuh,"
Laki-laki itu terperangah, baru menyadari ponsel di genggamannya sejak tadi bergetar menampilkan panggilan. Dosen Matematika Diskretnya masih fokus menjelaskan, tapi dia bahkan merasa percuma saja dia duduk di sini saat pikirannya sudah ke mana-mana.
"Coy, gue cabut ya,"
"Gila lo Dik, mau ke mana?" Bisik orang di sampingnya. Dika memasukkan buku ke dalam tas. Mamanya sudah menelepon, tanda bahwa pesan yang ia terima benar-benar nyata dan dia harus segera ke sana. Dika menepuk bahu teman dekatnya itu sekali, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, berjalan keluar kelas dengan santainya.
Beruntung sang dosen tipikal yang tak begitu memedulikan mahasiswanya. Dia bisa keluar kelas setelah tanda tangan hadir, tanpa ditanya apa-apa.
Dika segera menuju motornya di parkiran. Dua puluh menit kemudian, sepatu kets putihnya sudah menginjak lantai koridor rumah sakit yang ramai. Lalu menyusuri seluk beluk lorong tempat itu, naik ke beberapa tangga, baru sampai di ruang rawat inap yang jauh lebih sepi dari koridor depan.
"Kamu udah baikan? Jangan maksain nginget. Mama tinggal dulu sebentar ya?"
Pintu ruang rawat VIP di depannya sedikit terbuka, memperlihatkan kebahagiaan yang membuncah dari dua orang yang ada di dalam sana. Dika tanpa sadar tersenyum. Dia mengangkat satu lagi panggilan masuk di ponselnya, kali ini, dari orang yang sudah beberapa tahun dia kenal.
"Udahh, lo buruan aja ke sini," Gumam Dika, begitu ponselnya dia letakkan di samping telinga. Orang di ujung sambungan mendesah kesal.
"Gue masih ujian sampe jam tiga, kalo gue skip juga tetep baru bisa flight jam lima gila! AAAARRGGHH kenapa gue kuliah di jogja sih?"
"Somplak, bersyukur lo Jun jadi anak UGM! Lo kira masuk sana gampang?" Dika berjalan menjauhi pintu, mengambil duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di tepi koridor. Jam di notification bar ponselnya menunjukkan pukul dua belas lewat lima. Dia juga seharusnya masih ada kelas sampai jam lima nanti. Tapi, seperti orang yang sedang bicara dengannya ini, Dika juga akan melewatkan apa pun untuk momentum yang sudah tiga tahun dia tunggu-tunggu.
Semua orang tunggu-tunggu.
"Lo udah ngomong sama Tari?"
Dika menatap tembok krem di depannya tanpa fokus. "Belum. Masih ada nyokap-bokapnya di dalem, nggak enak,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari
Teen Fiction"Tar?" "Apa?" Mentari membalas panggilan Surya tanpa balas menatap. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pertama. "Gue benci sama lo, lo tau?" Tanya Surya lagi, membuat kali ini Mentari menoleh. "Kenapa lo mau jalan sama orang yang benci sama lo...