[∞] Epilogue

108 4 0
                                    

"I was so happy after meeting you. I was able to love you so much. Because you embraced and understood, my young and immature mind warmly," –Me After You, Paul Kim

























"Pasti ada alesan kenapa dia ngekhianatin lo, dulu. Dan lo nggak mesti tau,"

Mentari meletakkan dua gelas air ke atas meja lipat yang sudah terisi berbagai makanan, lalu duduk di depannya. Dia melihat Surya sekilas, lantas mengeluarkan ponsel dari saku. Hari ini, kedua kalinya dia ke Jepang untuk mengunjungi cowok itu.

Hampir empat tahun semenjak kejadian yang nyaris merenggut nyawanya, dan sampai saat ini pun, Mentari belum bisa bertemu langsung dengan Natasya. Dia tiba-tiba menghilang. Hari itu, Reni bilang Natasya di Jinju—salah satu kota di Korea Selatan. Di sana ada nenek dan beberapa kerabat Natasya, jadi gadis itu bisa lebih nyaman merawat Mommy-nya. Ah, Iya. Reni juga menceritakan padanya tentang Ibu Natasya yang punya sedikit gangguan mental.

Tapi tetap, meskipun dia sudah tahu lebih banyak, Mentari ataipun Reni sendiri bahkan tak bisa menemukan alamatnya.

Gadis itu menggaruk tengkuk. Padahal dia hanya ingin bertemu dengan Natasya. Karena isakkan terakhir yang di dengarnya sebelum koma, yang tak semua orang tahu, meyakinkan Mentari kalau ada sisi Natasya yang tidak mau kejadian itu terjadi. Dua tahun bersahabat membuat Mentari kenal Natasya cukup baik.

"Yaudah, iya. Lagian gue juga udah sibuk, nggak mungkin pergi-pergi seenaknya lagi," Mentari mengangkat sumpitnya dan mulai melahap ramen instan yang dia dan Surya buat barusan. Dan iya, mereka di flat laki-laki itu sekarang.

Tangan Surya terangkat mengacak rambut Mentari.

"Kuliah yang bener, jangan bolos-bolos,"

"Hm."

"Kerjain tugas yang niat, jangan ngerepotin orang terus,"

"Hm,"

"Tunggu gue, jangan macem-macem sama cowok lain,"

"Hm, hah? APA?"

Surya terkekeh, ikut melahap ramennya tanpa memberi penjelasan lebih lanjut atas apa yang dia ucapkan. Dibiarkannya gadis itu mencak-mencak sendiri, dan fokus obrolan mereka berputar kemana-mana.

Mentari mendengus dalam hati. Dia benci kenapa darahnya masih saja berdesir karena apa yang diucapkan Surya, padahal jelas-jelas mereka tak punya hubungan lebih dari teman lama. Menyebalkan. Apalagi, besok cowok itu resmi lulus sarjana. Kalau Surya melanjutkan pendidikannya di luar Asia, mungkin dia bisa-bisa bertemu cowok itu lima tahun sekali.

Mentari menarik ponselnya yang terus dipenuhi notifikasi pesan masuk meskipun tanpa suara. Ah.. benar. Dia harus melakukan sesuatu.

"Ya, abis ini ke rooftop yah," Ucap Mentari, lalu dengan cepat menghabiskan ramennya.

Surya mengernyit, "Ngapain? Dingin tau di luar,"

"Udah cepet-cepet,"

Mentari berjalan membuka pintu dan menarik-narik Surya, yang akhirnya dengan cepat juga memakan ramennya. Padahal matahari sudah terbenam, dan ini musim gugur. Angin akan bertiup kencang dan membekukuan, apalagi di lantai lima!

Surya hanya bisa pasrah ketika Mentari menutup matanya dengan tangan, saat tinggal satu lantai lagi lift sampai di lantai teratas. Gadis itu susah payah menuntunnya berjalan. Beberapa kali menabrak pot bunga atau benda apa pun yang dia tidak lihat.

"Jangan buka dulu bentar," Ucap Mentari, memastikan Surya tidak membuka matanya baru melepaskan tangan. Dia berjalan ke hadapan cowok itu. Mengambil kue yang sudah dinyalakan lilinnya.

"SURYAAAAA!"

"Apa sih teriak teriak Tar, nanti kalo orang lantai empat pada denger dikira lo mau bunuh diri—"

"Bawel ih dengerin dulu!" Mentari berdecak. "Gue serius nih,"

"Iya kenapa?"

"Gue ini siapa sih bagi lo?"

Surya bisa merasakan, semilir angin musim ini semakin menusuk-nusuk ke dalam tulangnya. Dia membiarkan kekosongan mengisi waktu dan mencekiknya. Tapi Mentari sepertinya tidak bisa sampai di sana.

"Becanda elah, buka mata lo satu, duaaa IH BELOM!"

"Happy birthday Surya Happy birthday Surya Happy birthday Happy birthday Happy birthday Surya!!!!"

Mentari menatap orang-orang di belakangnya yang seenak jidat memulai lagu, kesal. Kan dia jadi tidak ikut bernyanyi! Sementara Surya, yang mengejapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya, berusaha mencerna apa yang dia lihat sekarang.

Cowok itu tersenyum otomatis. Ada banyak manusia yang sudah lama tak dia lihat.

Ryan, Nita, Juno, Melati, Reni, Arya, Dodi. Mereka tersenyum lebar dengan topi kerucut di kepala masing-masing.

"Udah keburu ditiup angin nih lilinnya," Gerutu Mentari, entah kenapa dia tiba-tiba bad mood. Dia menyerahkan tart kecil di tangannya pada Melati yang jadi panik sendiri. "Udah kan surprise-nya? Ayo masuk dingin,"

Mentari berjalan begitu saja ke depan lift. Karena benda itu tak juga mau membuka, akhirnya dia membuka pintu tangga. Surya tahu Mentari marah padanya ketika pintu dibanting keras-keras. Cowok itu berlari, menyusul. Sementara yang lain, hanya bisa saling tatap penuh arti, saling mengerti.

Sejujurnya, Mentari juga tidak tahu kenapa mood-nya jadi buruk seperti ini.

"Lo mentari!"

Gadis itu menghentikan langkah.

"Lo mentari buat gue, lo mentari gue, pusat seluruh hidup gue. Dari dulu, nggak pernah ada yang berubah Tar,"

Dia menggigit bibir serba salah. Jantungnya berpacu mendengar langkah Surya mendekat, lalu berhenti di belakangnya. Mentari menangkup wajahnya yang memanas.

Tiba-tiba, sebuah tangan memegang bahunya. Menuntunnya pelan untuk berbalik.

"Makasih udah nyari gue waktu itu. Makasih udah hadir lagi di hidup gue untuk kedua kalinya,"

Terima kasih pada takdir yang berkali-kali, dan kembali mempertemukan mereka. Memberikan kesempatan Mentari membuka matanya lagi setelah terkukung, dalam ruangan entah berantah pada dimensi yang berbeda. Membuat gadis itu tersenyum lebih hangat setiap harinya.

Mentari sadar. Sejak cinta hadir dalam hidupnya, kebencian bukanlah apa-apa. Dia tidak akan lagi membenci seseorang tanpa alasan, tidak akan lagi bertindak konyol dengan berlomba untuk saling menghancurkan. Tidak akan lagi membalas dendam dengan melakukan hal yang sama.

Gadis itu berdecak sekali lalu memutar tubuh, kembali menuruni anak tangga lagi satu demi satu. "Nggak mau sama-sama ah, lo nyebelin!" Ucapnya, namun tak bisa sedikit pun menahan senyum.

Meskipun tidak dia ucapkan, Mentari selalu bersyukur ada seseorang yang mau merengkuhnya, seburuk apa pun dia.

Dan mereka adalah matahari dalam semesta mereka masing-masing. Pusat kehidupan. Energi terbesar. Mereka juga matahari yang pernah nyaris redup. Yang pernah hampir kehilangan cahaya.

They might can't be the sun for this whole world, but at least, they always can be the sun for their world. Untuk satu sama lain.

*** TAMAT ***

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang