[24] Belong To

60 3 0
                                    

"When we meet again, I'll be the first to say. I'm alright, hello,"
–Hello/Goodbye, Hyorin























"It's raining Bro,"

Pukul delapan lewat lima belas menit, Surya baru akan membereskan buku-bukunya saat orang di sampingnya mengatakan kalimat tadi. Dia mendongak, melihat kaca berukuran sedang yang satu meter lebih tinggi darinya. Dan benar. Hujan.

"So, lo mau tetep balik atau di sini sampe besok?"

Surya berpikir sebentar lalu memilih menjalankan niatnya, membereskan buku. Dia sedang di perpustakaan sekarang. Dan walaupun perpustakaan kampusnya ini buka dua puluh empat jam, besok pagi dia masih punya banyak hal yang harus dilakukan. Menunggu hujan reda hanya akan membuatnya tertinggal kereta terakhir. Maka lebih baik dia pulang.

"Gue balik aja, lo mau tetep di sini?" Ucap cowok itu, menanyai orang di sampingnya yang seperti tak punya niat untuk beranjak. Orang itu berasal dari tempat yang sama dengannya. Walaupun masih punya darah Jepang, Hiroaki bertahun-tahun tinggal di Indonesia. Maka Surya tak perlu repot-repot menggunakan bahasa negara tempat dia tinggal ini. Meskipun sudah terbiasa, menggunakan bahasa ibu selalu jauh lebih nyaman.

Laki-laki itu menggeleng. "Satu atau dua jam lagi," Jawabnya kemudian. Surya mengangguk, menepuk bahu Hiroaki dua kali sebelum memakai mantelnya dan melenggang keluar gedung.

Dia tidak membawa payung, bodohnya. Tapi tak ada pilihan lagi selain menerobos hujan sampai ke stasiun MRT.

Surya baru akan melangkah dari atap teras yang menaunginya ketika matanya tak sengaja menangkap siluet gadis yang sangat ia kenal. Tubuh Surya membeku untuk beberapa saat. Sekian detik berlalu, gadis itu tak bergerak di bawah payung yang digenggamnya erat-erat. Matanya menatap ke atas, ke gedung kampus Surya di sebelah perpustakaan.

"Surya-kun?"

"Hah?"

Cowok itu tersentak. Dia refleks menoleh, menemukan satu orang lagi yang juga dikenalnya dengan sangat baik. Perempuan itu tersenyum. Memamerkan tiga garis yang terbentuk seperti kumis kucing di pipinya, dan garis melengkung yang terbentuk di mata sipitnya. Surya merapatkan mantel, balas tersenyum.

"Linzi-san?"

***

Begitu berhasil masuk ke kereta bawah tanah menuju flat-nya, Surya segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon Melati. Orang di Jakarta yang paling sering dia hubungi selama dia tinggal di Tokyo. Bukan tanpa alasan, dia menghubungi Melati untuk menanyai anak itu soal orang yang ia lihat tadi. Ah, kalau saja pacar Hiroaki, Linzi, tidak memanggilnya dan membuatnya mengalihkan pandangan, Surya mungkin sudah tahu sendiri jawabannya.

Cowok itu meletakkan ponsel di samping telinga. Mendengus ketika sampai nada sambung terakhir, Melati tak juga mengangkatnya.

"Jawab jawab jawab jawab," gumam Surya, berdecak kesal saat panggilannya terus terhubung ke pesan suara. Dia menghela napas. Okey,dia harus tenang. Penglihatannya bisa saja salah, kan? Lupakan. Lupakan.

Tapi sejurus kemudian, Surya mendapati dirinya membuka roomchat-nya dengan Melati. Yang sebagian besar berisi laporan gadis itu tentang segala yang terjadi dari mulai cerita guru-guru di sekolah, sampai pesan terbaru, tentang orang itu.

Kak Surya, Mentari udah sadar. Tapi... dia lupa semuanya.

Mungkin emang lebih baik dia lupa Mel, gue nggak papa. Gue bersyukur dia bangun, itu lebih dari cukup buat gue lega.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang