"Sparkling eyes like rubies.
All eyes one me,
so I can shine brighter than anyone.
So I can be red"
—La Vie en Rose, IZONE
LIBUR semester yang tidak terasa seperti libur.
Mentari menghabiskan dua minggu setelah UAS di beberapa tempat. Tiga hari di Sidney—kota asal Bundanya—hanya untuk mengunjungi neneknya yang sudah renta. Seminggu di Yogyakarta, dan mendapatkan ceramah tentang tetek bengek kuliah dan masa depan dari om-om juga tantennya. Dan sisanya, di Bandung. Hanya untuk bertemu teman lamanya yang menyebalkan.
Sekarang dia sudah di rumah. Tepatnya, baru lima belas menit yang lalu.
Badannya terlalu berat untuk diajak beranjak dari kasur. Bagaimana bisa Bandung—Jakarta sampai sepuluh jam? Menyebalkan sekali, harusnya dia sudah sampai rumah dari siang!
"Non, nggak mau cuci muka dulu?" Tika masuk ke kamar Mentari yang pintunya terbuka. Menyimpan beberapa baju yang baru selesai dicuci dan disetrika.
"Cuciin Tik,"
"Eyy, mana bisa," Balas Tika, yang kemudian hanya dijawab Mentari dengan gumaman tak jelas. "Besok masuk sekolah Non, jangan lupa. Semester terakhir loh di SMA,"
Mentari tercekat. Tika melenggang begitu saja dari kamarnya dan menutup pintu. Meninggalkan Mentari yang sudah kelelahan dan terpaksa berpikir tentang apa yang mungkin dihadipnya esok hari.
Tika benar. Ini semester terakhirnya menyandang status siwa SMA. Semester terpendek dari lima semester sebelumnya. Sudah banyak cerita yang dia lalui sampai ke titik ini. dan untuk pertama kalinya, Mentari akui dia sedih mengingat akan ada banyak perpisahan.
***
YOU FOOL! DASAR PECUNDANG!! SOK CANTIK EW! B-L-A-G-U!
Rahangnya mengeras.
Hari pertama yang indah untuk melalui empat bulan ke depan, bukan? Secara ironi! Ternyata masih banyak saja orang yang menyimpan dendam padanya. Oh! Atau jangan-jangan, ini cuma ulah si mantan sahabatnya, Natasya?
Mentari menutup pintu loker dengan satu bantingan keras. Menatap tajam orang-orang di koridor yang takut-takut meliriknya, kemudian berlari ke kelas, mencari satu orang itu.
"HEH, SAMPAH!"
Langkah Mentari terhenti di persimpangan koridor kelas sepuluh dan kelas duabelas. Dia menoleh ke kanan kiri, tapi tak menemukan orang yang meneriakkan kata tadi. Baru ketika dia mendongak, orang itu ada di sana. Bersandar pada birai sambil menyeringai. Tapi itu bukan Natasya, itu Celine!
"Lo udah liat loker lo? Keren nggak tuh karya gue?"
Mentari memutar kedua bola matanya, mengembuskan napas malas.
"Eh eh! Tolong yang di deket Mentari pada nyingkir dulu coba, gue mau ngasih surprise nih!" Seru Celine, membuat Mentari mendongak lagi sambil mengernyit bingung.
Belum sempat Mentari menanggapi perkataan itu, tiba-tiba, Celine mengangkat seember air dan menumpahkannya ke bawah. Mentari jelas tak sempat menghindar. Alhasil, BYAARR! Seluruh badannya diguyur air yang bukan hanya membuat bajunya basah, tapi juga, kepalanya sakit.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa memekik, sambil mundur menjauh. Bukan hanya tidak ingin ikut basah, lebih karena tidak ingin ikut campur.
"Gimana? Udah seger badan lo sekarang? Surprise!"
"TARI?"
Lagi, sebelum Mentari membuka mulutnya untuk membalas ucapan provokatif yang dilontarkan Celine, sesuatu menyela. Kali ini, Nita. Nita berlari ke arahnya dan seketika panik, mendongak dan menatap Celine dengan tatapan marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari
Teen Fiction"Tar?" "Apa?" Mentari membalas panggilan Surya tanpa balas menatap. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pertama. "Gue benci sama lo, lo tau?" Tanya Surya lagi, membuat kali ini Mentari menoleh. "Kenapa lo mau jalan sama orang yang benci sama lo...