[1] Here, After

184 10 3
                                    

"Let's hold hands just like now
Let's stay together like the word. 
Forever"
—Always, Wanna One




















KETIKA matahari mulai malu-malu menampakkan diri di ufuk timur, dia malah masih terlelap di kasur queen size-nya. Mata biru gelap yang menjadi ciri khasnya, yang ia dapatkan dari Sang Bunda, menutup sempurna dan sama sekali enggan dibuka oleh sang pemilik. Sejak suatu kejadian di masa lalu, gadis itu memang punya kebiasaan untuk bangun ketika matahari sudah menyongsong. Tak peduli ada acara apa pun, dia tetap hanya akan terbangun antara jam enam sampai setengah tujuh. Tak ada yang bisa mencegah sekali pun itu Papanha sendiri.

Dia bergumam dengan mata masih terpejam, mencari posisi yang lebih nyaman.

"Non Tari, udah bangun belum? Hari ini kan sekolah!" Seru seseorang dari balik pintu putih bersih bertempel bentuk matahari tersenyum, dan bertuliskan nama Mentari, dengan jenis font yang sama dengan yang digunakan pada huruf Disney. Feeling-nya sembilan puluh persen mengatakan anak perempuan majikannya itu belum terbangun. Boro-boro datang ke sekolah tepat waktu, mau masuk sebelum jam delapan saja sudah syukur alhamdulillah.

Tika, perempuan awal dua puluh yang hanya lulusan SMP itu, mendengus ketika tak juga ada jawaban. Dengan tidak sabar, dia meraih kunci duplikat yang diberikan majikannya, dan membuka pintu tanpa izin sang empunya kamar. Ketika daun pintu menjeblak terbuka, Tika tersenyum mendapati dugaannya seribu persen akurat.

Tirai tertutup, dengan Sang Putri masih bergelung di kasurnya.

"Orang kaya bebas ya," Gumam perempuan itu, sepelan mungkin, takut ada yang mendengarnya.

Tika lalu menyibak tirai yang menutupi sebuah kaca seukuran setengah sisi tembok, lantas memamerkan terangnya sebentuk sinar yang menusuk mata.

Sepuluh detik kemudian, terdengar erangan dan cerocosan yang berasal dari mulut gadis bernama Mentari itu. Tika meraih tangannya, mengajaknya untuk segera bangun.

"Sekolah Non, udah siang,"

"Ah Tikaa, gue masih ngantuk aaarrgg!!!"

"Non nanti Tika aduin bapak loh ya," Ancam Tika serius. Klasik sebetulnya, namun segera membuat Mentari bangkit dan berjalan ke kamar mandi di sisi lain kamarnya.

"Bapak, bapak. Emangnya bokap gue bapak lo apa?" Sungut gadis itu, sebelum menghilang di balik pintu.

Tika segera menyiapkan handuk, lalu mengeluarkan seragam dan sweeter Mentari, berjalan ke ruangan sebelah untuk memilih tas dan sepatu yang kira-kira Mentari mau untuk pakai, meneliti sekilas buku-buku yang sudah diurutkan sesuai jadwal di meja belajar, dan memasukkan salah satu tumpukannya ke dalam tas yang tadi dipilihnya. Ini sudah biasa, Tika terlatih untuk menghadapi tuan putri pewaris tunggal tahta kerajaan keluarga Reyn. Belum lagi kalau ternyata anak perempuan itu tak mau memakai apa yang dipilihnya, Tika kadang frustasi juga seprofesional apa pun dia.

Semuanya semata-mata karena dia yang paling muda di antara puluhan pekerja di rumah mewah ini. Tugasnya; melayani Mentari dari mulai gadis itu bangun, sampai tenggelam alias terlelap tidur.

"Tika!!!"

Tika sempat berjengit sebelum berlari ke kamar mandi untuk memberikan handuk. Lima belas menit kemudian, Mentari sudah siap dengan seragam putih abu-abu plus sweeter warna jingga, favoritnya. Jujur, ini waktu tercepat yang dilakukan gadis itu untuk memakai seragam dan menyisir rambut seadanya. Entahlah, Tika tak habis pikir. Kalau Mentari memang mau datang pagi—maksudnya sebelum bel masuk—harusnya dia bangun sebelum matahari terbit.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang