💭 Prolog

559K 21.5K 2.3K
                                    




Happy Reading!

- Jakarta, Rabu 4 mei 2016.

"Papah!"

Mendengar rengekan dari putrinya, Pria berkaca mata tebal itu terkekeh. Ia mengambil alih bocah kecil yang dibawa putrinya sambil memasukan ponselnya ke dalam saku. "Bawa gini aja rewel banget."

Zana Pramitha mulai merengek. "Aku mau beli kebab di sana. Kalo bawa Zia berat, Pah."

Sang Papah mendengus. Padahal dia sedang asyik melanjutkan game online di ponselnya. "Yaudah sana. Jangan lama-lama tapi! Mamah kamu habis ini selesai ngambil pesenan roti."

Zana tersenyum lebar. Dia mengangguk patuh. Setelahnya gadis itu menatap warung kebab dengan wajah berseri. Mirip seperti anak kecil yang ditawari permen lolipop.

Sudah lama tak mencoba roti berisi daging itu semenjak diberi tugas Mamahnya menjaga sang adik, padahal biasanya tiap malam Zana tak pernah absen membeli kebab.

Sedikit langkah lagi maka Zana akan sampai ke warung tersebut. Namun kepalanya justru menoleh ke samping kanan, tepatnya ke arah beberapa pria yang sedang menyeret gadis remaja menuju gang kecil.

Zana membulatkan mata. Dia menatap sejenak warung kebab itu, kemudian beralih pada beberapa pria yang hampir menghilang dari pandangannya. Dengan perasaan kalut Zana berlari kecil mengikuti orang tadi.

Zana hampir saja memekik jika dia tak ingat bahwa yang dilakukannya sekarang adalah bersembunyi. Tangannya mengepal menyaksikan kejadian di hadapannya. Berani-beraninya mereka melakukan perbuatan keji pada satu gadis remaja.

"Lepasin aku! Lepasin!"

"Diem lo! Gue mau main-main sebentar aja."

Terdengar bunyi robekan baju. Membuat kepanikan melanda di pikiran Zana. Tawa bahagia dari orang-orang sialan itu membuat darah Zana mendidih.

Kurang ajar. Bangsat.

Zana ingin melangkah, tapi berat rasanya. Dia bukan superhero sampai bisa melawan empat orang dengan kedua tangannya.

Jangan sok jagoan, Zan. Lo bisa jadi korban kedua!

Tapi Zana harus apa? Tidak mungkin ia biarkan gadis polos itu mengamalami hal yang nantinya sulit dilupakan. Zana kerap melihat di sinetron kejadian seperti ini, rupanya menyaksikan secara langsung terasa mengerikan.

Menarik napas dalam-dalam, Zana melangkahkan kakinya. Ini sama dengan menyerahkan diri ke dalam mala petaka.

"Permisi!"

Zana memang gila, alias nekat.

Keempat pria tadi otomatis menegakkan badan. Mereka awalnya terkejut, namun melihat siapa yang sedang berdiri dengan tersenyum lebar, seketika memasang wajah seseram mungkin. Berupaya agar Zana takut.

"Lo ngapain berdiri di situ?!"

Zana menelan ludahnya. Jangan takut, Zan.

"Om-om ini lagi ngapaiin?"

"Bukan urusan lo! Pergi atau gue jadiin korban juga?!"

Zana terkekeh. "Asal om tau. Tujuan gue kesini itu mau ngasih tau sesuatu."

Salah satu dari mereka berjalan ke arah Zana. Pria itu menarik dagu Zana dengan kasar. "Jangan buang waktu kita," tukasnya dengan sinis. "Lo mau jadi korban selanjutnya?"

Meski napasnya tercekat ia usahakan untuk menggeleng. "Gue bermaksud baik kok. Jadi, bocah yang kalian bawa itu bukan orang waras."

Keempat pria itu tertegun dengan ucapan Zana. Orang yang sempat menarik dagu Zana langsung menepisnya.

Self Injurlove ( terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang