Lima

1.7K 73 7
                                    

Nika melirik Fiona yang diam saja. Biasanya dia sudah mengganggu Nika dan banyak sekali bicara dengannya.

Walaupun Fiona tak memiliki teman, ia masih bisa menunjukan senyumnya. Nika kagum sekali, tapi Nika kembali pada kesadarannya kalau Fiona juga pengganggu yang sangat ahli.

Nika membiarkan Fiona mengganggunya karna Nika tak ingin menyakiti Fiona. Sebenarnya bukan karna Nika peduli, tapi karna Fiona tidak memiliki teman karena selalu terus mengejar Nika. Fiona sampai lupa kalau ada banyak yang mau berteman dengannya.

Nika membiarkan Fiona melakukan apapun yang ia sukai selagi menganggunya tidak fatal. Dan kemarin adalah yang paling fatal.

Selain karna masalah kertas Nika yang di robek olehnya, Nika juga merobek hati Fiona secara paksa dengan kata-katanya.

Mungkin itu sebabnya Fiona hanya diam, pikir Nika.

Bell pulang sekolah sudah berbunyi. Fiona masih diam dalam lamunannya. Nika hanya menghela nafas lalu segera merapihkan barang-barangnya.

"Hiks, hiks." Nika menoleh kearah Fiona yang tiba-tiba menangis. Mata Nika menatap sekeliling yang tidak memperdulikan Fiona. Padahal beberapa ada yang mengetahuinya, tapi mereka memilih membiarkannya.

Fiona semakin terisak lalu menenggelamkan wajahnya dalam sela kedua tangannya. Nika kebingungan harus melakukan apa.

Akhirnya Nika memilih mengambil tasnya lalu segera berjalan keluar. Berulang kali Nika memejamkan matanya saat mendengar isakan tangis Fiona.

Nika paling tidak suka melihat wanita menangis.

Semenjak Ayahnya meninggal, Nika selalu mendengar Ibunya menangis sendirian. Dan Nika benci akan hal itu.

Nika memutuskan kembali kedalam kelas dan menghampiri Fiona. Ia mengambil kain kecil yang selalu ia bawa.

Fiona mengangkat wajahnya saat Nika menyentuh pundak Fiona.

Nika memasang wajah datar. "Hapus air mata kamu."

Fiona mengangguk lalu ia mengambil kain yang Nika berikan.

Setelah memastikan Fiona sudah menghapus air matanya, Nika langsung berlalu pergi.

"Nika!" Fiona memanggil dengan suara seraknya.

Nika menoleh. "Apa?"

"Kenapa tiba-tiba jadi baik?" tanya Fiona.

"Aku benci melihat wanita menangis."

"Terus gimana sama sapu tangan kamu?" tanya Fiona. "Ini."

"Balikin kalo udah dalam keadaan bersih." Nika memutuskan meninggalkan Fiona dengan segera. Fiona sedikit tersenyum. Hatinya menghangat.

*

Fiona menatap sapu tangan milik Nika yang baru saja selesai ia bersihkan. Tiba-tiba saja ia berfikir. Kalau ia mencintai Nika yang sifatnya sama sekali bertolak belakang dengannya, apa ia akan berakhir seperti kedua orang tuanya?

Jujur saja Fiona sangat takut saat ia memikirkan ini. Fiona bangkit dari tidurnya lalu segera turun kebawah. Ia harus mendapat penjelasan yang pas mengapa orang tuanya memutuskan untuk berakhir.

Fiona menghentikan langkah kakinya saat ia melihat Ayahnya yang baru saja masuk bersama perempuan yang Fiona sama sekali tidak mengenalinya.

"Ah, anakku Fiona. Sini sayang, baru saja Ayah mau panggil," ucap Ayahnya dengan senyum di wajahnya. Dan kali ini Fiona membenci senyum itu.

"Bunda dimana?" tanya Fiona.

"Bunda katanya lagi gak pulang dulu karna ada urusan di kantornya."

"Siapa dia?" tanya Fiona dengan tatapan tak suka.

"Ini teman sekantor Ayah. Salim dulu," ucap Ayahnya.

Fiona menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan teliti. Saat pertama kali melihatnya saja, Fiona sudah tidak menyukainya.

Perempuan itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya. "Aku Tante Rose, teman kerja Ayahmu."

"Ayo, salim dulu," ucap Ayahnya.

Fiona menggeleng. "Aku gak mau."

Ayahnya menatap Fiona dengan tatapan tegas. "Fiona kamu harus bersikap sopan, Ayah tidak pernah mengajari kamu untuk seperti ini."

"Aku tidak apa-apa. Jangan dimarahi." Perempuan itu mengelus pundak Ayahnya.

Fiona membulatkan matanya saat perempuan itu menyentuh pundak Ayahnya tanpa perasaan tak enak sedikitpun. "Apa anda tidak pernah diajarkan sopan santun kepada lelaki yang sudah beristri? Bahkan kamu sama sekali tidak memiliki rasa malu untuk bertamu kerumah teman kantor lelakimu dengan menggunakan pakaian ketat dan juga rok pendek."

Plak!

Fiona membulatkan matanya saat Ayahnya menampar pipi Fiona dengan keras. Fiona menyentuh sudut bibirnya yang sedikit sobek dan mengeluarkan darah. Pukulannya kencang sekali.

"Ayah bahkan menamparku di depan wanita yang tidak jelas asalnya," ucap Fiona menatap Ayahnya tak percaya.

Ayahnya terdiam. Tangannya bergetar hebat saat menyadari perlakuannya barusan. Rose hanya diam di sebelah Ayah Fiona. Sedikit terkejut saat melihat kejadian tadi. Tapi dia juga cukup senang karna Ayah Fiona sudah menampar anaknya yang berbicara kasar di hadapannya. Menurutnya ini seperti balasan untuknya melalui perwakilan.

"Ayah bahkan tak pernah mau memukulku sejak kecil. Aku fikir Ayah adalah seseorang yang paling hebat karna telah menjagaku dengan kasih sayang. Aku salah mengira." Fiona menangis sejadi-jadinya.

"Ayah minta maaf--"

"Aku gak mau tinggal dengan Ayah!" Fiona bangkit lalu segera berlari menuju kamarnya.

Rose menahan tangan Ayahnya Fiona saat Ayah Fiona ingin mengejar Fiona. "Biarkan dia, mungkin dia butuh waktu."

Ayahnya Fiona menatap Rose sebentar lalu menghembuskan nafas lelah. Ia baru saja memulai tindakan bodoh terhadap anak kesayangannya.

*

Fiona meringis berkali-kali saat mengobati luka bibirnya. ternyata lukanya cukup dalam.

"Aish!" Fiona melempar kainnya. Ia mengusap wajahnya frustasi.

"Ah!sakit!" Bahkan ia kembali mengeluh saat ia mencoba membuka mulutnya dengan lebar.

Fiona kembali menangis. "Apho."

Fiona benar-benar bingung dengan sikap Ayahnya. Bahkan setelah Fiona berlalu pergi, ia benar-benar tidak mengejarnya. Apa karna perempuan itu Ayahnya dan Ibundanya bercerai?

Fiona sangat menyayangi Ayahnya, bahkan sejak kecil Fiona lebih dekat dengan Ayahnya. Fiona percaya dengan Ayahnya, tapi Ayahnya mengecewakan Fiona hanya dalam sekejap.

Fiona hanya takut kehilangan Ayahnya. Fiona tidak mau kedua orangtuanya berpisah. Bahkan kalau nanti Fiona sampai disuruh datang ke pengadilan, Fiona tidak akan datang.

Fiona memijat pelipisnya. Kepalanya sangat sakit. Kondisi yang tidak bisa ia ubah ini mengganggu fikirannya. Padahal besok ada ulangan matematika.

"Ah, aku harus belajar. Supaya Ayah tau, kalo Fiona bisa jadi sukses."

Fiona segera bangkit dan membuka buku pelajarannya. Walaupun kepalanya terasa sangat berat dan matanya sudah membengkak, Fiona tetap belajar.

Mungkin malam ini Fiona akan sedikit bermimpi kalau semuanya akan baik-baik saja esok.

*
F

inish Edit!
June 09, 2018

Hurts To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang