Sepuluh

1.4K 58 2
                                    

Yang terbaik dalam hidup adalah ketika kita memiliki keluarga yang lengkap. Bahagia tidak bisa dibeli.

*

Fiona menahan tangis di depan Ayahnya. Rose, Ibu tirinya, tidak ada kali ini karena ada tugas kantor yang tidak bisa ia tinggalkan.

Ayahnya hanya diam menatap Fiona. Lalu matanya lurus kedepan karena tidak tahan melihat anaknya menangis terluka seperti ini.

"Ayah, Fiona mohon jangan kaya gini ya? Fiona janji gak akan jadi anak yang nakal, tapi Ayah batalin acara pertunangan ini ya? Fiona mohon Ayah, fikirin perasaan Bunda," ucap Fiona dengan tangisnya yang menggebu-gebu.

Tidak perduli ia akan terlambat datang kesekolah atau tidak, ia hanya ingin hari ini akan menjadi hari yang baik-baik saja seperti sebelumnya.

Fiona menangis. Ia jatuh berlutut di depan Ayahnya saat Ayahnya tidak kunjung menjawab. Ia memukul dadanya berkali-kali yang terasa sangat sakit. "Sakit, Yah, sakit banget rasanya. Fiona mohon."

"Fiona janji jadi Dokter seperti yang Ayah mau, Fiona janji bakal kuliah di Korea seperti yang Ayah mau, Fiona janji buat dapet nilai bagus tanpa ada warna merah di rapot seperti yang Ayah mau. Tapi Fiona mohon, Ayah, Fiona gak mau Ayah sama Bunda kaya gini." Fiona memukul dadanya dengan kencang. Hatinya sakit sekali.

Ayahnya bangkit lalu memeluk Fiona. "Maaf Fiona, maaf Ayah belum menjadi Ayah yang baik buat Fiona. Maaf."

Fiona menggeleng dengan cepat. "Enggak, Ayah udah jadi Ayah yang baik kalo Ayah batalin pernikahan Ayah dengan perempuan itu. Fiona mohon Ayah, Fiona mohon."

Ayahnya hanya diam menatap Fiona yang menangis tak terkendali. Ini kali pertama ia melihat anaknya menangis seperti ini. Fiona selalu dijuluki keluarganya sebagai anak yang sangat sulit menangis. Tapi kali ini ia melihat anaknya terluka karenanya, ia melihat anaknya menangis memohon karenanya.

Fiona menghapus air matanya yang sebenarnya percuma saja karena air matanya pasti akan mengalir lagi. "Fiona gak ada harapan lagi kalau Ayah beneran ninggalin Fiona dan juga Bunda. Fiona bener-bener gak akan ada harapan lagi."

Lalu perkataan itu yang terus menghantui Ayahnya. Semenjak perkataan itu, Fiona berubah.

Ia kehilangan dirinya sendiri.

*

Jam enam pagi Fiona sudah duduk di halte. Jam kedatangan bis sekolah hari ini adalah jam setengah delapan, karena hari ini adalah hari jumat jadi bell masuk berbunyi pada jam delapan. Sekolahnya setiap hari Jumat memang hanya sebentar.

Fiona berkali-kali menghela nafas lelah. Dadanya masih terasa sakit. Kemarin ia tidak sekolah karena ia tidak enak badan. Ia benar-benar tidak menyangka Ayahnya akan berkata seperti itu. Hanya maaf, tapi tidak ada niatan untuk memperbaiki.

Setidaknya, berbohong sebentar di depan Fiona. Fiona hanya ingin mendengar Ayahnya berkata kalau semuanya akan baik-baik saja. Fiona akan menjalankan hari-harinya seperti biasa, tertawa walau ia tau ia tidak memiliki teman, memakan sarapan pagi dari Ibundanya, hanya itu yang Fiona inginkan.

Fiona menatap layar handphone-nya. Ia selalu mengirim pesan untuk Ibunya tapi Ibunya tak kunjung membalasnya. Fiona tidak mengerti mengapa Ibunya hilang kabar tiba-tiba. Apa karena Fiona tidak ingin ikut dengannya ke Bandung waktu itu?

"Mamah, Riu mau naik sepeda kalau Riu sudah besar!"

Fiona menoleh saat ada anak kecil dan seorang Ibu duduk di sebelahnya. Ia segera memakai penutup kepala dari jaket yang ia pakai. Guna mencegah agar keduanya tidak tahu kalau Fiona sedang memperhatikan.

"Iyah, tapi Riu jangan cepat-cepat tumbuh ya?" ucap Ibunya. Anak kecil yang terlihat seperti sudah kelas 2 SD itu mengeryitkan dahi.

"Kenapa, Mah? Riu mau tumbuh besar biar Riu bisa jaga Mamah dan Papah," ucap anak kecil bernama Riu itu dengan semangat.

"Iyah, Riu, jangan cepat-cepat ya?" Ibundanya mengelus rambut anaknya penuh sayang. "Yuk bis-nya sudah sampai." Lanjutnya.

"Ayo kita berangkat!"

Fiona tersenyum miris saat mendengarnya barusan. Dulu Ibunya juga berkata hal yang sama seperti kalimat tadi.

"Fiona?"

Fiona yang masih berumur lima tahun itu menatap Ibunya dengan tatapan lucu. "Iya, Bunda?"

Ibundanya tersenyum seraya mengelus kepala Fiona. "Jangan cepat tumbuh yah? Bunda masih mau liat Fiona tersenyum tanpa beban seperti ini?"

Fiona memasang wajah bingung. "Kenapa, Bunda? Fiona akan terus tersenyum sampai Fiona dewasa nanti!" Ia berkata dengan penuh semangat.

"Kamu akan tau nanti saat kamu dewasa. Fiona janji sama Bunda, ya? Fiona tetep jadi anak yang baik entah dalam keadaan apapun." Ibundanya menjulurkan jari kelingkingnya.

Fiona menatapnya sebentar lalu melihat wajah Ibundanya yang nampak menahan sesuatu. Fiona mengangguk mantap lalu menyatukan jarinya dengan jari Ibundanya. "Fiona janji."

"Bunda sayang Fiona." Fiona berhambur kedalam pelukan Ibunya saat Ibunya merentangkan tangannya. Lalu Fiona terlelap setelahnya.

Fiona tertawa miris. "Bunda dan Ayah bohong." Air matanya kembali mengalir. "Bohong."

Fiona mengusap wajahnya kasar. Ia tertunduk dalam tangisnya yang malah semakin tak bisa ia bendung lagi.

Lalu seseorang menepuk pundak Fiona. Fiona mendongak dan menatap Nika yang sudah berdiri di hadapannya.

"Ah, bahkan aku bertemu denganmu dengan penampilan yang menjijikan seperti ini," ucap Fiona seraya menghapus air matanya.

"Hapus," ucap Nika.

Fiona menatap Nika dengan tatapan bingung. "Apa?"

"Hapus memory itu. Supaya kamu gak terluka lagi."

Fiona terdiam. Ia membulatkan matanya saat menyadari sesuatu. "Haha, ternyata kamu juga di undang ya semalam? iya sih, kamu kan tetangga aku."

"Jangan di simpan sendiri," ucap Nika. Kali ini Fiona hanya diam. Ia ingin Nika kembali melanjutkannya sendiri. "Atau kamu boleh berbagi sama saya, supaya kamu gak sakit sendirian."

Fiona menatap Nika dalam diam. Ia merasa ada yang aneh, ia tidak terlalu berdebar saat Nika mengatakan hal seperti itu. Harusnya ia sudah sangat senang sekarang. Tapi ada apa dengannya kali ini?

Lalu keduanya hanya diam, dan larut dalam suara burung di pagi hari. Larut dalam fikirannya masing-masing.

*
Finish Edit
1

4 July 2018

Hurts To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang