happy reading~
.
.
"Astagfirullah, Nak. Kok bisa kamu begini?" Ibu Tari sedikit histeris melihat anaknya yang terbaring diatas ranjang pasien dengan infus yang menempel di punggung tangan Tari. Diana berhasil menghubungi Lita -Ibu Tari dan kedua orang tua Tari langsung berangkat menuju ke Jakarta untuk melihat anak bungsu mereka.
"Iya, Tante. Tiba-tiba Tari pingsan waktu mau wudhu," kata Diana yang duduk disamping ranjang Tari. Tari yang masih sedikit lemas melirik Diana. Memberikan kode melalui tatapan kepada Diana agar tidak menceritakan lebih lanjut pada kedua orang tuanya.
Diana menyadari hal itu pun hanya mengangguk. Tari tidak mau orang tuanya semakin cemas. Memang menjadi anak perantauan itu sedikit sulit, beberapa kali sang Ibu menyuruh Tari untuk berkuliah di Bandung saja. Namun karena Diana yang juga teman sekolah Tari dan kebetulan lulus di universitas yang sama membuat Lita setuju.
"Kamu pasti jarang sarapan ya? Makanya begini? Terus kebanyakan makan junk food? Kamu tuh ya, bandel banget."
"Ssttt! Ibu! Anaknya lagi sakit kok malah dimarahin." Ayah Tari akhirnya bersuara. Orang tua mana yang tidak khawatir mendapat kabar anaknya tiba-tiba masuk rumah sakit.
Diana merasa sedikit tak enak dengan keadaan pun akhirnya memilih pamit pulang ke kost. Syukur orang tua Tari sudah datang jadi sudah ada yang menjaga temannya itu.
"Sini Mas anterin kamu pulang. Nggak baik cewek pulang malem-malem sendiri." saat keluar dari kamar rawat, Diana bertemu dengan seorang laki-laki dengan badan tegap sedikit tercium bau rokok dari tubuh laki-laki itu. Ternyata bukan hanya orang tua Tari yang datang melainkan Kakak sulung Tari bernama Daniarta Bagaskara pun juga ikut. Orang yang paling Diana ingin jauhi.
Diana langsung menundukkan kepalanya."Nggak usah, Mas. Saya bawa motor kok kesini." tanpa memerdulikan jawaban Dani, Diana langsung ngacir meninggalkan Dani. Tidak baik laki-laki dan perempuan berduaan saja apalagi tidak memiliki hubungan yang halal.
Lita berulang kali membuang napas dengan kasar.
"Kenapa kamu bisa jatuh sakit begini? Apa karena kebanyakan belajar?" Tari tak sanggup menjawab. Jika Tari berbohong maka sampai seterusnya akan berbohong.
"Sudah lah, Bu. Anakmu ini juga manusia yang bisa sakit dan nggak selalu sehat selamanya." Tari berterima kasih pada Ayahnya. Walaupun Ayahnya ini selalu bertampang datar tapi Ayahnya adalah laki-laki terhebat yang Tari miliki dan sebenarnya sangat pandai menutupi rasa khawatir pada anaknya.
Don't judge by cover.
Itu adalah kalimat yang pas untuk Ayah Tari.
Dani yang baru saja menghabiskan sebatang rokoknya masuk ke kamar Tari. Ada rasa heran dengan penampilan baru adiknya.
"Loh, dek? Kamu sekarang berjilbab?" bukannya menanyakan keadaan Tari yang ditanyakan malah penampilan Tari. Tari memang memakai kerudung karena takut jika dokter laki-laki atau perawat laki-laki masuk ke kamar dan melihat auratnya. Untungnya saja, Diana sudah membawakan beberapa baju dan khimar instan untuk Tari.
"Ini bukan jilbab. Ini namanya khimar atau kerudung, Mas." Tari sedikit sebal. Kenapa orang-orang selalu terkejut dengan perubahan Tari? Apa begitu anehnya kah Tari yang memakai kerudung?
Orang tua Tari juga baru menyadari penampilan anak bungsunya. Karena terlampau khawatir mereka tak menyadari hal itu.
"Sejak kapan kamu berkerudung?" Bukan Dani yang bertanya tapi Ayah Tari.""Mungkin ada 4 hari yang lalu, Yah."
Setelah kejadian itu, batin Tari. Tari langsung beristigfar agar tidak mengingat kejadian itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Waktu
General FictionCerita mainstream. Semuanya akan indah pada waktunya.