Happy reading
Tari menatap Randy dengan malas. Randy yang sudah duduk manis diatas motornya --si Robert, mengerutkan dahinya.
"Kenapa? Ayo naik. Nanti keburu siang, ikan-ikan sama sayur nggak akan seger lagi."
"Tapi Mas, harus banget naik ini? Maksudku liat deh pakaianku ini." Randy memandang Tari dari atas sampai ke bawah. Tidak ada yang berbeda. Memangnya kenapa?
"Kenapa sama pakaian kamu? Bagus dong, pakaian kamu tertutup gitu nggak ngeliatin aurat."
Dasar Randy tidak peka!!
Tari hanya mendengus dengan ekspresi wajah yang menekuk, membuat Randy yang melihat Tari dari kaca spion motornya terkekeh. Sebenarnya Randy mengerti, Tari tidak begitu suka naik motor maksudnya motor yang modelan seperti Robert ini. Namun memang Randy nya saja yang jahil, rencananya sih pengen modusin istri biar dipeluk.
Tari memegang kedua bahu tegap Randy lalu naik ke atas motor. Tari sedikit kesulitan karena pakaiannya apalagi tempat duduk penumpang sangat tinggi jika Randy mengerem mendadak, Tari akan merosot ke depan. Tari tidak tahu saja kalau itu akal bulus Randy. Siapa disini yang tidak peka?
"Jangan cemberut. Nggak boleh loh cemberut sama suami."
"Iya deh iya." Tari menarik bibirnya, tersenyum terpaksa. Randy terkekeh pelan. Sifat jahilnya tidak akan pernah hilang jika dirinya sudah berhadapan dengan Tari.
"Mas, motornya kenapa nggak diganti aja sih? Pake matic aja gitu."
"Hah? Apa? Mas nggak denger." teriak Randy, suara Tari terdengar samar-samar karena efek angin yang cukup kencang. Tari mengurut dahinya, dia memang salah tempat untuk membicarakan hal ini. Mau bagaimana lagi Tari semakin risih dengan motor gede Randy ini. Tinggi sekali, mau naik aja riweuh-nya luar biasa. Belum lagi Tari yang memakai gamis. Benar-benar ya Randy ini tidak peka!
Sesampai di pasar, keduanya berjalan sejajar dengan Randy yang membawa tas belanja.
"Hari ini mau makan apa?" Randy berpikir.
"Gulai ayam?"
"Bukannya Mas nggak suka makanan yang bersantan ya. Tumben banget?" Randy menaikkan kedua bahunya. Entah mengapa hari ini lidahnya ingin sekali mencicipi gulai masakan istrinya. Tari dan Randy berjalan ke arah stan ayam setelah itu Tari sibuk menawar harga dan tak lupa mereka membeli sayuran dan juga buah-buahan.
"Abis ini kita nggak langsung ke apartemen ya."
"Emangnya mau kemana Mas?"
"Ada deh. Mas mau nunjukkin sesuatu sama kamu." Tari menyipitkan matanya. Randy dan suprise itu tidak cocok sekali. Empat bulan menikah, Randy tidak pernah memberikan kejutan apapun dan Tari tidak terlalu peduli akan hal itu. Tari menerima semua tentang suaminya. Tari pun tidak begitu suka dengan kejutan.
Motor Randy membelah jalanan. Seperti dugaannya, Tari memeluk pinggangnya dan sesekali akan berteriak.
"Pelan-pelan kenapa sih Mas bawa motornya! Nggak tau apa ini aku dibelakang udah mau terbang aja! Untung ada pinggang kamu."
Itu kan yang Randy mau?
Alhamdulillah.
Mereka sudah menghabiskan waktu lima belas menit di jalan raya, sampai lah mereka di sebuah komplek perumahan. Bukan perumahan elit sih cuma perumahan yang sederhana namun tampak megah.
Randy menghentikan motornya di depan sebuah rumah yang masih setengah jadi.
"Jangan bilang..." Tari menghentikan kalimatnya. Air matanya menetes, merasa terharu. Benar-benar terharu.
"Loh kok malah nangis?" Randy memeluk Tari dengan menyengir. Randy tidak menduga respon Tari akan seperti ini. Randy pikir Tari yang jutek dan terkesan tidak peduli malah berekspresi datar.
"Ini beneran hasil kerja kamu kan?" Randy tergelak, mengusap-ngusap kepala istrinya yang tertutup khimar.
"Ya hasil kerja keras Mas lah. Memangnya siapa lagi coba? Mau masuk nggak? Liat-liat dulu ke dalem. Warna rumah kamu yang nentuin."
Bibir Tari mengerucut dan di mata Randy itu sangat menggemaskan. Selama mereka menikah, benar-benar banyak yang Randy tidak tahu mengenai sifat Tari yang sebenarnya. Dibalik cewek yang jutek seperti Tari, ada sifat manja dan imut yang tersembunyi.
"Kenapa aku yang nentuin? Ini kan pakai duit hasil kerja kamu." Mata Tari masih basah, Randy yang melihat itu segera mengelap mata istrinya dengan baju kemejanya.
"Namanya kamu istri aku. Tanggung jawab aku. Kamu lah yang milihin, mana yang kamu suka. Pokoknya bebas! Tapi sabar ya, siapnya nggak sekarang. Soalnya masih empat puluh persen lagi lah. Mau nambahin kamar buat anak kita nanti." Kalimat terakhir yang Randy ucapkan sukses membuat Tari merona. Padahal Randy mengatakannya dengan nada yang biasa-biasa saja dan tidak terkesan menggoda.
Raut muka sama nada bicaranya emang biasa aja nggak kayak dulu lagi yang suka modusin cewek-cewek kampus. Tapi kalau sekarang malah aku yang makin baper ya.
Tari mengelilingi calon rumah barunya bersama Randy. Rumahnya tidak terlalu besar namun bertingkat satu dan mendominasi dengan warna putih. Randy bilang warna rumahnya akan diubah sesuai keinginan Tari.
"Warna bagian dalam rumah abu-abu aja deh. Gimana menurut Mas?"
"Kenapa milihnya abu-abu? Bukannya udah mainstream banget ya?"
"Nggak tau sih cuma aku ngerasa kayak abu-abu itu tenang gitu dan nggak nyentrik juga warnanya. Eh! Warna cream juga bagus. Ihh! Kok aku jadi labil gini ya kayak anak SMA!" lagi-lagi Randy terkekeh.
"Warna cream aja gimana? Eh sebentar deh kamu diem dulu." Tari terdiam mendadak bulu kuduknya meremang. Randy mendekatkan wajahnya pada Tari. Bisa tidak jangan ditempat seperti ini! Sepi sih sepi tapi ya nggak disini juga keleus! Mendadak pula!
Randy semakin dekat saja sampai tangannya membelai kening Tari dengan lembut.
"Sudah! Tadi rambut kamu keliatan. Walaupun sehelai dua helai rambut yang keliatan tapi itu tetap jadi tanggung jawab aku." Randy menyengir. Dia menyengir! Randy tidak tahu saja kalau Tari sudah panas dingin. Tari menghela napasnya."Kamu kenapa?" tanya Randy dengan wajah bingung sekaligus polos.
"Oh nggak apa-apa kok Mas." mereka berdua kembali berjalan mengelilingi setiap sudut rumah. Tari berjalan dibelakang Randy, sudut bibir Tari tertarik. Tari tersenyum melihat punggung kokoh suaminya. Randy memang tidak melontarkan kalimat gombalan melainkan suaminya itu melakukan hal-hal yang menurut orang lain sederhana tapi sangat romantis bagi Tari.
'Walaupun sehelai dua helai rambut yang keliatan itu tetap jadi tanggung jawab aku'. Dia sadar nggak sih makin kesini dia makin manis banget! Huh ngeselin banget!!
Randy berbalik bingung dengan tingkah istrinya yang tiba-tiba saja diam dengan tersenyum.
Tari nggak lagi kesurupan kan?
"Kok diem aja? Terus itu kenapa senyum-senyum? Kamu nggak lagi kesurupan jin disini kan?"
"Apaan sih! Ya nggak lah!" Tari mencibir. Baru saja Tari membanggakan suaminya itu masa dia dibilang lagi kesurupan!
"Habisnya kamu senyum-senyum. Kan serem jadinya. Hih." Randy mengusap kedua lengannya layaknya orang yang ketakutan.
"Ih nggak ya!" Randy tergelak melihat ekspresi Tari yang kesal.
"Iya. Iya. Jangan ngambek. Pulang yuk. Kamu kan juga harus masak untuk makan siang." Randy mengulurkan tangannya agar Tari berjalan sejajar dengan dirinya. Tidak selamanya memberikan satu buket bunga setiap pagi pada pasangan menjadi bumbu keharmonisan rumah tangga. Masih banyak hal kecil yang kita anggap sepele namun sangat berharga bagi pasangan. Randy tidak sadar dengan perlakuan manisnya begitu juga dengan Tari.
Tari menggenggam tangan suaminya dengan senyuman bahagia.
Maafin aku, Mas. Kalau selama ini aku nggak sadar kalau aku sayang sama kamu sejak kita bertemu. Maafin aku yang selalu menyangkal kenyataan. Makasih ya Allah karena udah merancang naskah terbaik-Mu untukku dan Mas Randy.
***
Selesai ya!Jangan lupa vote dan komen
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Waktu
General FictionCerita mainstream. Semuanya akan indah pada waktunya.