27. Proposal

3.1K 178 9
                                    

happy reading~

Sejauh apapun langkahku kalau sudah menjadi takdirku. Aku bisa apa?

-Lestari Indrian-

Randy menekan tombol-tombol di ponselnya, menunggu orang yang dituju mengangkat panggilannya.

"Assalamu'alaikum. Lo dimana?"

"Wa'alaikumsalam, gue di parkiran bandara. Rese banget! Lu ganggu waktu main game gue aja!" omel Denis dari balik ponsel.

"Sabar yaelah! Gua baru juga nyampe tadi pesawat gua delay." Randy menutup panggilannya.

Selama lima tahun terakhir baru kali ini Randy kembali menginjak kota Jakarta. Randy mencari-cari keberadaan Denis. Saat sudah terlihat Randy segera masuk ke dalam mobil Denis. Kali ini tanpa Riyan karena Riyan sedang sibuk bekerja bagai quda.

Denis dan Randy ber-tos ria. Sesekali Randy menjambak rambut Denis karena gemas sudah lama tidak bertemu.

"Kurang ajar!"

"Lo nggak rindu sama gua, Den?" Denis yang menyetir, melirik Randy dengan ogah-ogahan malahan Denis berpura-pura seperti orang yang sedang muntah. Randy ini terlalu percaya diri sekali.

"Jadi apa urusan lu balik ke Jakarta?"

"Sebenarnya urusan gua nggak di Jakarta."

"Lah terus ngapain lu disini?"

"Ada lah! Tapi lo mau kan jadi supir gua selama disini? Mau ye, Den?"

"Ogah banget!"

Randy tidak gentar membujuk Denis. Randy rela meminta cuti dari pekerjaannya untuk jauh-jauh kembali ke Jakarta. Mungkin terdengar gila tapi Randy benar-benar masih memiliki kesempatan kali ini walaupun kesempatan itu berpeluang kecil dan sedikit ekstrem. Kali ini, Randy berserah diri sepenuhnya pada Sang Maha Kuasa.

***

Sehabis membersihkan diri, Tari membaringkan tubuhnya diatas kasur. Hari ini benar-benar melelahkan, ternyata membuka lowongan pekerjaan itu susah juga. Bukan hanya mencari pekerjaan saja yang rumit tapi memilih orang yang benar-benar serius mengisi posisi pekerjaan di kantor juga rumit. Namun Tari tidak boleh mengeluh. Mengeluh hanya akan menjadi ganjalan di hati yang membuat kita malas untuk bekerja.

Tari baru menjalankan pekerjaannya sekitar tiga bulan dan lagi-lagi harus merantau jauh dari orang tuanya. Bahkan lebih jauh lagi. Matanya sudah hampir terpejam sampai suara ponselnya memekik menghilangkan rasa kantuknya.

"Assalamu'alaikum. Ya Bu?"

"Wa'alaikumsalam, kamu lagi tidur ya, dek?"

"Hampir sih, Bu. Cuma karna Ibu yang telepon jadi ngantuknya udah kabur nggak tau kemana." Tari menyengir walaupun sang ibu tak dapat melihat cengirannya.

"Kabarmu sehat, dek?"

"Sehat, Bu. Alhamdulillah. Ibu sama yang lain gimana kabarnya? Maaf ya Bu kalau biasanya Tari pulang dua minggu sekali eh malah ini nggak pulang tiga bulan."

"Hush! Nggak boleh gitu. Harusnya kamu bersyukur dapat rezeki dari Allah, kamunya dapat pekerjaan. Tapi apa nggak apa-apa? Maksud ibu, kamu kan nggak mau bergabung sama laki-laki yang bukan mahram. Di kantor kamu kan, mau cewek atau cowok pasti digabungin."

"Alhamdulillah, Bu. Kantor Tari kan dipisah sama kubikel terus pegawainya juga banyak yang cewek kok Bu jadi Tari jarang interaksi sama yang cowok kecuali emang lagi rame-rame." Ibu Tari bernapas lega. Awalnya ibunya melihat aneh dengan perubahan putrinya yang membatasi diri dengan lingkungan campur antar laki-laki dan perempuan. Di jaman modern begini sudah menjadi hal biasa perempuan dan laki-laki berteman layaknya tidak ada batasan tapi kenapa putrinya ini bersikeras sekali untuk membatasinya. Tetapi lambat laun, ibunya mulai mengerti. Tari sudah menjelaskannya. Semuanya terjadi karena banyaknya kesimpangan norma dan tidak mau tahu akan aturan.

Detak Waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang