Hembusan angin kencang menerpa, rambutku sudah tidak lagi beraturan. Ditemani langit malam yang gelap tanpa bintang aku berdiri di balkon kamarku.
Aku tidak pernah membayangkan akhirnya aku memiliki balkon di kamarku, Hahaha. Punya rumah besar seperti ini saja aku hanya bisa memikirkannya lalu menggambarkannya dalam novelku.
Dan sekarang?
Aku ada di dalam novelku sendiri. Percaya atau tidak, disinilah aku, aku sebagai Jia sang pemeran utama dan bukan Andira.
Aku menghela nafas berat. Merapatkan balutan jaket yang melekat di tubuhku. Semakin larut, angin semakin kencang berhembus, sepertinya akan turun hujan malam ini.
"Lo ngapain Dir?" Aku membalikan tubuhku menatap pria yang sudah tergeletak diatas kasurku.
Aku tersenyum teringat aku pernah merengek kepada mama kalo aku ingin punya abang layaknya Vera. Atau aku ingin punya seorang adik layaknya Dera. Tapi apalah daya Andira adalah anak tunggal.
"Gue makin aneh sama lo hari ini, udah kaya orang bingung, trus sekarang senyum-senyum sendiri. Kayanya gue harus bawa lo ke dokter kejiwaan deh."
"Gue ga nyangka aja."
"Ga nyangka?"
"Semua yang gue pingin beneran kaya jadi kehidupan nyata sekarang."
Kurasa jawabanku bukan menjawab rasa penasaran Jio namun justru membuatnya semakin bingung. Bersyukurlah aku, Ia memiliki sikap tak-acuh. Ia tak membahasnya lebih jauh, hanya disibukan dengan game di ponselnya saat ini.
"Gue denger lo kena bola sama Arvie tadi." Kata Jio tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
"Lo kenal Arvie?"
"Temen sekelas gue."
"Ohhh iya lo temen sekelasnya ya." Aku teringat menempatkan Arvie dan Jio dalam satu kelas sedangkan aku di kelas IPA-3. Ya aku masih sadar kepintaranku dibawah Radit dan aku ingin punya abang yang pinter setara dengan Radit.
"Kok lo tau?"
"Lo kan bilang sama gue tadi pagi kalo lo IPA-1" Bohongku.
"Emang ya?"
Aku mengangguk,
Jio menoleh, "Gue kan lagi nanya deh, tadi lo beneran kena bola sama dia?"
Aku mengangguk lagi, "Hm."
"Untung ganteng ya? Jadi lo kena bola ada untungnya juga kan? Bisa modus." Goda Jio.
'Apa untungnya. Gue ketemu Radit versi dua disini. Bukannya untung gue malah makin kesel bawaannya.' Batinku.
"Engga tuh biasa aja." Jawabku.
"Biasanya lo ngeliat orang ganteng langsung ngefans." Heran Jio menatapku seolah baru kali ini aku tidak antusias dengan cowok tampan bak pangeran sekelas Arvie.
"Percuma ganteng kalo selingkuh."
"Lo ngomong kaya udah kenal lama aja sama dia, ga boleh gitu, ntar lo diselingkuhin beneran gimana?" Ucap Jio menakutiku.
Aku tersenyum pahit.
'Toh, emang beneran diselingkuhin.'
♥♥♥
Aku menatap diriku dari pantulan cermin. Aku masih belum sepenuhnya bisa mempercayai ini. Ku kira sehabis ku tidur semalam aku akan bangun kembali mejadi sosok Andira, namun nyatanya? Disinilah aku. Masih menjadi Jia, yang mempunyai kehidupan melebihi seorang Andira.
Bohong jika aku tidak ingin mencoba menjadi seorang Jia. Maka dari itu aku akan mencoba menjalaninya, menjalani kehidupan tidak nyata yang selama ini hanya menjadi bagian dari andai-andaiku. Aku akan menikmati hariku disini sambil mencari jawaban kenapa aku terlempar ke dalam novelku sendiri.
Aku menghela nafas diikuti dengan senyumanku. Rumah besar, perlengkapanku sangat cukup, punya abang seperti yang ku dambakan, kurasa aku akan sangat bahagia dikehidupan ini, walau terasa kurang karena terbiasa dengan mama yang akan menyambutku ketika aku bangun tidur, namun sekarang hanya seorang asisten rumah tangga yang menamainya bi minah menyambut pagiku.
"Mama sama Papa kemana ya bi?" Aku menempatkan diriku di salah satu kursi meja makan yang sudah tersaji beberapa menu sarapan.
"Nyonya sama Tuankan pulangnya seminggu sekali Non, Non kangen ya sampe lupa gitu."
Aku tersenyum kikuk, "Iya, sampe aku merasa kaya belum pernah ketemu sama orang tua aku sendiri."
"Woalah, Kok sampe begitu sih Non? Kan mereka kerja juga buat Non Jia sama Den Jio."
"Abang mana bi?"
"Masih di atas, mau Bi Minah panggilin?"
"Engga usah Jia aja yang manggil Bi."
Aku terkadang tertawa sendiri dalam hatiku. Ini lucu. Aku merasa terbiasa dengan kehidupan ala putri seperti ini. Apa seharusnya aku ditakdirkan lahir sebagai Jia?
Langkah kakiku terhenti menatap sebuah pigura menunjukan empat orang yang tersenyum manis, dua diantaranya adalah aku dan Jio. Yap! Foto keluarga. Mama dan papaku nampak sedikit berbeda disini, namun sama seperti penggambaran karakter yang kupikirkan saat menulis tentang mereka.
Posisi disini aku adalah Jia anak mereka, namun aku tetaplah Andira anak mamaku di rumah, di kehidupan nyata.
"Lo mau telat lagi kaya kemarin?" Ucap Jio mengejutkanku.
"Lo yang bikin telat. Plis!"
♥♥♥
"Yang nolongin lo kemarin namanya Reynan, Baik sih orangnya, Hmmm... Dia suka bercanda gitu tapi sekalinya serius seketika dia jadi ganteng gitu. Kaya pas nolongin lo kemarin, lo ngerasa ga sih karismanya keluar gitu deh."
Syerilia. Teman Jia sejak SMP namun karena Jia pindah selama tiga tahun jadi kami baru bertemu lagi. Itulah yang aku ingat tentang Syeril.
Dia akan menjadi orang terpecaya Jia yang mendengarkan setiap curhatannya. Ya aku ingat pernah membayangkan karakter Syeril seperti itu.
"Kalo yang gasengaja ngelempar bola. Namanya Arvie. Orang gantengnya sekolah. Trus---"
"Iya Ril, gue tau kok."
"Lo tau? Dari mana? Jangan bilang lo udah pendekatan ya sama dia kemarin di UKS? Trus lo kabur trus lo jatuh deh saking terpesonanya." Syeril terkekeh, Ia bilang padaku jika tak sengaja melihatku kemarin, yang membuatku malu dibuatnya.
"Dia temennya Jio."
Jawabku beralasan, sebenernya tak mempengaruhi apapun juga kan? Jio teman Arvie atau bukan. Hanya saja dalam bayanganku seolah melihat Arvie sebagai sosok Radit. Dan aku sangat malas membahasnya.
"Gue ke sana dulu ya Ril." Aku bangkit membiarkan tubuhku mengikuti langkah kaki yang entah akan membawaku kemana.
"Jia?"
Aku menoleh , "A-Ar-Arvie?"
"Gue panggilin dari tadi, tapi kayanya lo lagi ngelamun jadi ga denger ya?"
"Hehehe, Iy-Iya..." Aku tersenyum canggung. "Kenapa?"
"Eh? Gapapa, Gue cuma mau tau kondisi lo sekarang aja."
"Gue? Oh Gue? Gue.. udah gapapa kok, udah baik-baik aja."
"Hmm... Kemarin, maaf kalo gue ada salah, lo nyuruh gue per---"
'Duk'
"Awww..."
Aku dan Arvie menoleh terkejut mendapati Reynan dalam posisi terbaring dan mengaduh kesakitan. Aku bahkan tidak sadar langkah kakiku membawaku ke Taman belakang Sekolah.
Aku sungguh berterima kasih pada Reynan saat ini.
"Yaampun Rey... lo gapapa?"
♥♥♥
Jangan lupa vote dan coment yaa!! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...