Ini sudah hari keempat aku memilih untuk berdiam diri di dalam kelas selama jam istirahat.
Alasannya? Simpel. Aku hanya tidak ingin menjadi bulan-bulanan tatapan rasa penasaran dengan kebenaran berita yang telah tersebar.
Arvie merupakan murid penuh pesona yang menjadi pujaan di Sekolah, jadi tidak heran bukan? Berita sekecil itu saja bisa menjadi hot news seantero Sekolah.
"Lo beneran ga mau ke kantin?"
Aku menggeleng menjawab pertanyaan Syeril, "Engga ah rame. Gue ke taman belakang aja paling."
"Namanya juga kantin. Ya ramelah." Jawabnya.
Aku terkekeh, "Justru itu, gue gamau."
"Trus lo ke taman belakang mau ngapain? Seneng banget sih kesana. Emang ada apaan coba? Orang taman sepi begitu, hati-hati aja sih, lo sendirian ntar ada yang, HIHIHI. Ih gue mah ga mau ya, takut." Kata Syeril menakutiku, aku ingin kesana ya karena pemandangannya bagus, sepi dan nyaman. Itu saja.
"Lo sekali-sekali harus kesana Ril, biar tau."
"Udah pernah tapi biasa aja tuh, nih ya Jia, Kalo lo kesana sama pacar. Tuhh, baru bagus. Lah ini udah sendirian, lo mau ngapain coba kesana? Kalo sama pacar mah kan kemana aja gue rasa bakal berkesan, mau pemandangan langit berpetir juga tetep bagus, tapi ya dasarnya gue ga punya pacar, gue ga suka deh tempat begituan. Gue lebih suka kantin. Bye."
Aku tertawa kecil menatap punggung Syeril yang kemudian menghilang dibalik pintu kelas. Taman itu memiliki definisi nyaman tersendiri untukku, perwujudan nyata dari imajinasi yang kutuangkan dalam tulisanku saat menulis novel ini.
Langit biru dengan hembusan angin sejuk membawaku ke dalam angan tak berdasar. Berperan sebagai Jia semakin membuatku terlena dan melupakan kehidupanku sebagai Andira.
Apakah aku diizinkan bahagia walau aku sadar ini kehidupan yang semu? Dan apakah sah saja jika aku berharap pernyataan kamu diizinkan?
Aku pun tak tau. Tapi aku mulai merasa tak ingin pulang sebagai Andira. Aku tak ingin bertemu Radit dan segala keputusasaan itu.
Disisi lain aku ingin melanjutkan mimpiku menjadi seorang penulis. Bagaimana aku bisa menjadi penulis kalau aku sendiri saja ada dalam novelku sendiri? Apa aku bisa mencari motivasiku untuk menjadi Andira disini?
♥♥♥
"Jia ya?"
Aku menoleh, dan tubuhku membeku. Orang yang aku hindari berada dihadapanku saat ini, tidak lain tidak bukan. Ia Arvie.
'Kalo lo ga punya masalah sama dia, gausah ngehindar, seakan lo yang salah.'
Baiklah kali ini aku tidak akan menghindar darinya. Aku melihat sudut bibirnya mengembang yang seolah menunjukan padaku bahwa ia senang menemukan keberadaanku di sini.
"Kemana aja kok jarang keliatan?"
"Dikelas, lagi males kemana-mana" Balasku bergumam.
"Ohh.. Kenapa emang? Ga ke kantin? Ga laper gitu?"
Aku menggeleng. "Lo kenapa disini? Ga kekantin?" Ucapku berbalik tanya.
"Gue pikir lo disini, ya gue kesini." Jawabnya. "Ternyata dugaan gue bener kalo lo disini."
"Ada apa emang?" Tanyaku menatap Arvie.
"Ada yang mau gue tanyain"
'Tanya tinggal nanya'
"Tanya apa?" Aku mencoba menempatkan diri sesantai mungkin, Aku juga akan memastikan Arvie bukanlah seperti dugaanku.
"Lo suka sama gue?"
Aku terdiam.
"Lo ngehindar waktu itu karena lo suka sama gue kan?"
Pupil mataku membesar. Bukan karena kata-katanya yang membuat jantung berdebar. Lebih tepatnya aku terperangah. Ini kepedean tingkat berapa ya?
"Ga salah?" Balasku terkekeh.
"Salah?"
"Gue ngehindar trus lo nyari gue, bukan artinya lo yang suka sama gue?" Entah dari mana asalnya kenapa kepedeanku ikut naik.
"Ya kalo lo mau jawabannya iya, ya anggap aja begitu."
LAHHH?! ADUH PLIS PERASAAN GUE NGEGAMBARIN KARAKTER ARVIE GA KAYA GINI DEH.
"Kok jadi gue?"
"Kan lo yang berpikiran begitu..." Duh! Tanganku serasa ingin menggetok kepalanya supaya sadar.
"Gue nanya ya bukan karena ada pikiran begitu."
"Ya udah mulai sekarang pikirin gue."
LAHHH?!
Aku menghela nafas berat. Sepertinya sebuah kesalahan aku mengira jika Arvie itu Radit, dan ini membuktikan kan? Kalau aku tidak perlu menghindar dari Arvie? Arvie bukan Radit. Buang sudah bayangan Radit di kehidupan Jia.
"Lo diem artinya lo setuju kalo mau ke toko buku sama gue nanti malem."
♥♥♥
Entah bagaimana awalnya, dan berakhir dengan disinilah aku menginjakan kaki di sebuah toko buku ternama yang menjual banyak buku-buku bacaan. Mau beli apa? Semua ada disini.
"Lo suka buku?" Tanyaku pada Arvie yang memilah buku-buku bacaan.
Arvie menggeleng. "Engga tuh."
Aku terdiam sejenak menatapnya bingung.
"Trus lo ngapain ngajak gue kesini?""Kata Jio lo suka buku."
"Terus kenapa kalo gue suka buku?"
"Ya ga kenapa-kenapa." Ucapnya santai sambil terus membuka buku lalu menutup lagi tanpa mengalihkan pandangannya kearahku.
"Yaudah kalo gitu pulang aja." Ucapku beranjak meninggal Arvie yang dengan spontan mengejarku.
"Kenapa? Lo ga suka toko buku ini? Mau ke toko buku lain?"
"Lo apa-apaan deh? Gue baru kenal sama lo, sikap lo udah kaya gini."
"Ya emang kenapa? Ada yang salah dengan sikap gue?"
"Lo bikin gue ga nyaman." Balasku to the point.
"Ya terus gue harus gimana biar bisa kenal lebih sama lo?"
Aku terdiam menatapnya serius. "Untuk apa lo kenal lebih sama gue?"
"Karena gue penasaran."
"Gue bukan cewe yang mau lo penasaranin, trus diakhir lo buang karena gue udah ngejawab rasa penasaran lo."
Aku beranjak meninggalkan Arvie. Namun langkahku terhenti, terdiam bingung. Berpikir sejenak.
Aku harus pulang naik apa ya? Aku tidak mengetahui alamat rumahku sendiri. Mau naik taksi tapi tidak tau tujuanku bagaimana cara aku pulang? Oh iya! Telpon Jio.
'Tin.'
"Naik."
Aku menatap Arvie yang memberhentikan mobilnya tepat dihadapanku, menungguku untuk ikut bersamanya.
"Naik gue bilang."
'Tin tin tin'
Antrian mobil tak sabar yang menunggu mobil Arvie agar segera beranjak pergi. Tapi dari tingkah Arvie yang ku lihat saat ini, tidak ada tanda-tanda yang menunjukan kalau ia akan menjalankan mobilnya, membuatku tak ada pilihan lain selain ikut bersamanya.
'Apa aku harus tetap menumpang pulang padanya setelah apa yang sudah aku katakan?'
♥♥♥
Makasih yang udah mau baca ya^^
Yuk jadi pembaca yang baik..
Jangan lupa vote dan coment okey♥
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...