17 - Ter-cyduk?

60 5 0
                                    

Aku mencuri-curi pandang menatap Jio yang duduk berhadapan denganku di meja makan. Sudah beberapa hari kami hanya terdiam ketika bertemu terlebih ketika di meja makan, sudah dapat dipastikan, suasana canggung menyelimuti kami berdua.

Lalu pergi melenggang meninggalkan kalimat 'Gue udah selesai. Udah kenyang.' dan itu lebih sering diucapkan Jio dari pada aku.

"Kalo mau nanya jangan ditahan."

"Eh? Engg-engga... Engga ada kok." aku menggelengkan kepalaku melanjutkan suapanku.

"Makanannya enak ya kan?" lanjutku canggung.

Jio menatapku. "Lo kaya orang abis berantem sama pacar deh canggungnya."

Aku tersenyum tipis.

"Gue gapapa." Ucapnya. "Lo ga tau kalo lo punya abang strong banget? Gue udah gapapa, kemarin cuma karena keujanan aja."

Aku kembali melebarkan senyumanku yang mulai bergetar, mataku berkaca-kaca menatap Jio. Aku benar-benar tidak tahan. Aku takut. Benar-benar takut. Hanya Jio keluarga yang ku punya disini sebagai Jia.

"Lain kali ngasih kabar ya kalo pergi?"

"Iya." Jawab Jio lembut.

"Jangan bikin Jia takut lagi ya?"

"Iyaa.. Duh lo kenapa sih jadi melow banget gini. Abang gapapa deh serius." Jio pindah ke kursi disampingku merangkulku menepuk bahuku seakan meyakinkan bahwa dirinya benar baik-baik saja.

"Hiks. Jia takut abang kenapa-napa."

"Ihh kenapa lebay banget sihh. Abang gapapa Jia."

"Kalo abang kenapa-kenapa Jia sama siapa nanti?"

"Kan ada Reynan ada Arvie."

"Ish!!" aku menepis tangan Jio yang diikuti dengan kata maaf dan merajukku lagi.

"Jangan sakit bang. Jia takut."

🍒

Aku menatap kotak bekal diatas mejaku. Melihat ke kanan dan ke kiri, mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruang kelas dengan seksama.

Eh? Ini kota bekal yang waktu itu ku bawa untuk Jio kan? Dan sewaktu itu? Oh iya!

'Arvie pasti nih'

"Duh romantisnya pagi pagi berbagi kotak bekal... Dan yang jomblo mah.. Masak masak sendiri, nyiapin bekel sendiri, makan juga sendiri, semua serba sendiri. Beruntungnya kamu nak..." Senandung Syeril di akhiri dengan tangannya yang menepuk bahuku dan kemudian mendudukan tubuhnya di depan mejaku.

"Lo engga jadian sama Arvie kan?" Syeril membalikan tubuhnya menatapku.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Tapi lo suka?"

Hmm... Eh? Kok mikir? Aku tinggal menggelengkan kepalaku kan?

"Lo suka sama Arvie??" Ucap Syeril mengulang pertanyaannya.

"Hmm.. Suka? Engga sih.. Gue cuma ngerasa nyaman aja belakangan ini sama dia."

"Segala bawa-bawa nyaman. Itu mah udah pasti. Lo ada perasaan sama Arvie."

"Maksud lo gue nyaman sama Arvie karena gue ada perasaan sama dia?"

Syeril mengangguk antusias. "Kayanya bentar lagi gue dapet traktiran nihhh...."

"Apaan sihh" Balasku malu.

"Udah ada guru. Bisa diem ga sih? Berisik banget."

Aku menoleh mendapati Reynan yang menatap ku dan Syeril kesal. Kenapa mood pria itu berubah-ubah sih. Menjengkelkan.

Serius walau benar adanya jika guru sudah terduduk di depan sana tapi ia tidak perlu kesal bukan? Lagi pula sejak kapan guru itu sudah terduduk di depan sana? Entahlah.

Angin sejuk menerpa helaian anak rambutku. Langit sedikit redup, namun sepertinya belum pertanda akan turun hujan dalam waktu dekat. Mungkin nanti sore atau malam.

Aku juga tidak tau. Aku bukan peramal cuaca. Aku mengayunkan kakiku antusias, tersenyum bahagia menunggu seorang pujaan(?) Eh. Tidak tidak tidak.

"Udah lama ya?"

"Eh? engga kok baru aja dateng." Ucapku tersenyum. Duh jago banget bohongnya.

Sudah tiga puluh menit aku menunggunya.Lebih dari setengah waktu istirahat ku habiskan menunggu kedatangannya. Dan aku bilang tidak menunggu lama?

"Kenapa? Tumben. Biasa gue ngajak lo ketemu aja susah banget."

"Gue mau bilang makasih aja buat bekel ini." Ucapku menunjukan padanya sekotak bekal.

Arvie terkekeh, "Kan bisa lewat telpon."

Hmm.. Sedikit kecewa dengan ucapan Arvie apa itu artinya ia tidak senang bertemu denganku. Duh kenapa aku jadi baperan gini ya.

"Gue ga bawa hp."

Boong lagi. Duh pinter banget. Kenapa mulut ini ceplas ceplos aja sih. Kan ketauan kalo nanti tiba-tiba meralat ucapanku sendiri kalo aku membawa ponselku.

Arvie mengangguk mengerti.

"Makasih juga kemarin udah nenangin gue." Ucapku lagi.

Arvie mengangguk, "Iya santai aja. Ada orang sedih masa gue biarin kan ngga mungkin."

"Kalo ada ma---"

'Ting ting ting ting ting ting'

Arvie memandangku bingung. Ia merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Namun ponsel itu tak berdering, tak ada panggilan masuk dan tak ada suara yang keluar dari sana.

'Ting ting ting ting ting ting'

'Ting ting ting ting ting ting'

"Hp lo bunyi?"

Aku menggeleng cepat, "Engg---engga kok engga.. Gue kan ga bawa hp."

Aku meruntukin diriku siapa yang berani beraninya menelpon disaat seperti ini. Kenapa aku tadi tidak mematikannya dulu. Eh tapi siapa yang tau aku akan berbohong kan?

Suara dering itu terus menggangguku. Aku membenarkan jika itu dari saku rokku. Ponselku sudah bergetar dengan iringan dering sedari tadi.

"Angkat kali. Gue mau ngomong."

Aku dan Arvie mendengakan kepalaku keatas mendapati Reynan dengan wajah tanpa dosanya melambai kearahku, aku dapat melihat ponsel putih ia letakan di telinganya.

"Tuh makhluk astral dapet nomor gue dari mana lagi." gumamku pelan. Arvie menatapku bingung.

"Kenapa ngeliatin gue? Gue lagi nelpon orang tapi ga diangkat-angkat nih, gue ga akan berenti nelphon sampe diangkat pokoknya. Udah lanjutin aja ngobrolnya kalian."

"Gausah ngeliatin gue terus."

"Nanti suka gimana?"

"Kalo Jia yang suka sama gue sih gamasalah tapi kalo lo Ar suka sama gue itu bahaya."

"Gue masih normal."

1

2

3

"REYNAN!!!! TURUN LO SEKARANG JUGA!!! CEPET!!!! LO MAU GUE YANG NAIK KEATAS SANA TERUS NGEJATUHIN LO ATAU LO YANG TURUN KESINI SEKARANG JUGA!!!!"

🖤

Terima kasih yang udah nyempetin baca yaa... Luv💖
Jangan lupa vote dan commentnyaa^^

SERUPA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang