Perasaanku tak dapat terbendung lagi. Marah, kesal, kecewa, semua bercampur jadi satu. Ini sudah membebankan pikiranku beberapa hari ini. Membuatku benar-benar muak, aku berpacaran dengan Radit bukan untuk membebankanku dan juga bukan untuk membebankan dia dengan status pacaran.Aku dan dia memutuskan menjalin hubungan ini karna impian kami? Tapi apa ini? Hah!! Apa impian Radit sekarang memiliki kekasih gelap?!
"Apa karna kamu udah jadi juara matematika, impian kamu udah tercapai, semuanya udah terlaksana gitu? kamu lupa? Lupa gimana kita bisa pacaran?"
"Kamu mau apa sih Dir? Aku capek."
"Capek?! Kamu pikir kamu doang? Kamu beban buat aku Radit!"
"Kamu yakin aku beban kamu? Nulis tuh beban kamu! Udahlah gausah mikirin gue. Urus urusan lo."
Pandanganku memburam, air mata sudah berada di ujung mataku, terlebih setelah Radit membalikan badannya. Suaraku mulai bergetar, aku tidak ingin membahas ini, aku ingin mendengar penjelasan Radit tanpa perlu aku minta penjelasan darinya. Tapi ku rasa jika aku menunggu itu tidak akan berhasil.
"Delia? Siapa dia?"
"Gausah nyari tau hal yang engga berguna." Radit menghadapkan tubuhnya kearahku. Dari berjarak lima langkah, aku bisa melihat raut wajah kesal Radit.
"Akukan cuma nanya, Delia itu siapa?"
"Adek kelas."
"Iya aku tau itu, tapi dia siapanya kamu?"
Hening. Radit terdiam tanpa berusaha untuk menjawab pertanyaanku.
"AKU NANYA DIA SIAPA KAMU RADIT?!!!"
Aku tidak dapat lagi mengontrol emosiku yang sudah berusaha ku tahan. Wajahku sudah basah dengan air mata. Aku tidak yakin apa aku masih bisa menerima penjelasan dari dirinya lagi atau tidak.
"Ini masalah kita berdua ya Dir. Ini antara aku sama kamu, oh ya dan impian yang kamu damba-dambakan. Itu masalah kita. Gausah bawa orang lain ke pembicaraan kita. Kamu tuh malah nambah masalah tau ngga! Kamu itu bukan apa-apa Dir! Bukan yang bisa masukin semua permasalahan ke lingkup kita."
Nambah masalah? Apa aku bersalah membahas ini? Menanyakan tentang orang lain yang terus menyebut Kak Radit dengan nada manja(?).
Dan dia bilang apa? Impian yang aku damba-dambakan? Ini untuk mendapatkan pengakuan Radit juga. Radit ingin juara Matematika Nasional dan aku ingin menjadi penulis best seller. Radit sudah mendapatkan pengakuanku, namun karena aku masih melalui proses, lalu sekarang dia menyalahkanku, begitu?
Apa ini? Aku butuh penjelasan! Bukan tentang siapa yang harus disalahkan atas ini. Bukan ini yang aku inginkan.
Dari banyak pertanyaan, siapa itu Delia? Bagaimana mereka berdua bisa kenal? Kenapa dia bisa menganggap dirinya dengan dengan Radit menjalin sebuah hubungan? Kenapa Radit engga pernah cerita tentang adik kelas itu? Apa benar mereka ke Taman bersama? Apa benar yang Vera dengar di UKS itu suara Radit? Apa benar Radit menyebutku tidak peduli? Kenapa dia berkata begitu? Lalu dianggap apa aku yang menemani dia bimbel matematika? Siapa yang membawa bekal ketika dia sibuk belajar? Siapa yang menemaninya lomba? Siapa mengeluarkan kata semangat beribu kali untuknya?
Luluh lanta semua pertanyaan itu terhembus angin, terganti dengan hanya satu kalimat yang keluar dari mulutku.
"Gue mau putus."
Radit menatapku terkejut, ini pertama kalinya kata putus keluar dari mulutku, selama ini kami hanya bertengkar lalu kembali lagi tanpa ada kata putus keluar dari salah satu mulut kami. Karena kami menjaga itu.
"Yaudah. Kalo itu mau lo. Kita putus. Asal lo tau Dir, dua tahun ini cuma buang-buang waktu."
"Buang-buang waktu?" Ulangku tak percaya. Radit yang dengan mudah meng-iya-kan pernyataanku untuk berpisah saja sudah mengejutkanku. Lalu ini? Ia meruntuki hubungan kami?
"Lo bukan apa-apa Dir. Gue bisa dapetin cewe yang lebih baik dari lo!"
"Jangan bikin gue benci sama lo!" Ucapku menahan amarah. Tanganku mengepal keras. Aku tidak ingin membuang tenagaku hanya untuk pria ini.
"Ohh iya ada satu hal yang perlu lo tau. Selama ini gue bohong Dir. Lo bukan penulis. Lo ga sehebat itu di dunia kepenulisan. Lo terlalu cinta sama tulisan lo sendiri sampe ga sadar kalo gaada yang bisa dipuji dari tulisan lo. Hahaha... Karena dulu lo pacar gue, ya gue coba buat selalu ngehibur lo. Tapi sekarang? kita udah putuskan? Gue bisa nyampein kebenarannya. Lo ga akan bisa jadi penulis."
"LO BISA BERHENTI NGEHINA GUE SEKARANG SEBELUM GUE BENERAN BENCI SAMA LO DIT!"
"Oh iya satu lagi. Lo perlu tau Dir. Gue suka sama Delia. Udah tiga bulan."
Aku tidak akan menutupi diriku yang juga bersalah dalam hal ini tapi ini benar-benar membuat lubang besar perasaanku.
Aku terus berpikir apa ini akhir dari impianku?
Apa impian menulisku benar berakhir?
Tapi jalan lain terbuka. Ini bukan akhir dari segalanya. Ini awal untuk semuanya.
♥♥♥
"AISHH!!!!"
Ucapku kesal, melemparkan laptop dari pangkuanku, mengacak-acak rambutku frustasi.
Ini sudah hampir dua minggu lamanya, aku mecoba fokus pada lembar karya tulisanku, dan sudah dua minggu lamanya juga, hanya lembar kosong bersih tanpa satu hurufpun yang ku hasilkan.
"Berakhir udah mimpi gue! Udah! Udah gabisa gue jadi penulis. Udah. Pokoknya udah selesai!" Ungkapku mengutuk diriku sendiri, membaringkan tubuhku dengan kasar, menatap langit-langit kamarku dengan penuh perasaan putus asa.
'Lo bukan penulis. Lo ga sehebat itu di dunia kepenulisan. Lo terlalu cinta sama tulisan lo sendiri sampe ga sadar kalo gaada yang bisa dipuji dari tulisan lo' seolah terngiang, aku mendengar ucapan Radit hari itu, percakapan yang benar-benar melukis lubang hitam di otak dan perasaanku.
"Gue mohon, jangan ngejek tulisan gue. Gue ga bisa nulis lagi gara-gara kata-kata lo!!" Aku menendang apapun yang ada disekitarku hingga kamarku kini lebih cocok disebut medan perang.
Lubang hitam besar itu terbentuk karena perkataan Radit. Mungkin menurut kalian itu tidak ada hal yang berkesan, namun berbeda untuk ku yang merasakannya sendiri. Aku seolah merasa apa yang aku tuliskan tidak berarti apapun sejak hari itu, sampai puncaknya adalah hari ini, aku bahkan tidak berhasil menghasilkan satu hurufpun di layar laptopku.
"Kenapa lo mesti ada dikehidupan gue dit?"
"Kenapa lo datang kalo akhirnya lo ninggalin gue."
"Kenapa lo bilang gue itu penulis hebat kalo akhirnya lo ngejatuhin gue kaya gini. "
"Kenapa lo nyemangatin gue kalo akhirnya lo juga yang bikin gue putus asa."
"Kenapa....."
"Kenapa... gue bilang gue mau putus sama lo kalo gue butuh semangat dari lo."
Aku sudah benar-benar merasa putus asa membenamkan wajahku di empuknya bantal yang siap menyerap semua air mataku kapan pun. Luluh sudah kekuatan ku yang bertekad tidak lagi menangis karena pria itu. Pria yang semakin hari benar-benar semakin menjauh dariku.
"Andaikan kisah gue kaya di novel. Apa gue bisa sebahagia pemeran utama?"
♥♥♥
Yukk jadi pembaca yang baik, menghargai dengan cara jangan lupa Vote dan Comment yaa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...