22 - Kebenaran Tak Tertulis

51 3 0
                                    

"Jia." Aku mendengakan kepalaku menatap Jio. 

Sejak aku pulang kerumah semalam. Kami terjebak dalam suasana canggung. Tak ada salah satu dari kami yang  mencoba memulai percakapan. Jangankan sebuah topik pembicaraan, saling sapa pun tidak.

"Jia ga mau sekolah hari ini." Celetukku tiba-tiba.

"Hah?" Jio terkejut, mengingat aku dan Jio yang sudah berseragam lengkap. Kami hanya perlu menyelesaikan sarapan ini, lalu berangkat ke Sekolah.

"Abang juga gausah sekolah hari ini."

"Hah?" ulang Jio menuntut penjelasan.

"Kita gausah sekolah hari ini. Bilang aja izin ada acara keluarga. Toh kita ini emang beneran satu keluargakan? Jadi ga akan ada yang curiga." Sambungku,

Jio terlihat berfikir menatapku dalam seolah membaca apa yang sebenernya ku rencanakan.

"Seharian ini Jia pingin jalan-jalan sama bang Jio, ya ya ya? Mau! Pokoknya harus mau!" Bujukku.

"Kemana?" Tanya Jio.

"Jadi Bang Jio setuju nihh??" Ucapku memastikan.

"Iyaudah. Mau kemana??"

Aku tersenyum mendengar kalimat setuju dari Jio. Setelah semalaman aku terus memikirkan ucapan Reynan, ya ku akui memang ada benarnya juga. Menjadi tumpuan Jio bertahan mungkin alasan aku diterlempar kedalam novel ku. Aku hanya perlu menjalaninya.

Lagi pula, selama disini pun aku belum pernah menghabiskan waktuku bersama Jio seharian.

♥️♥️♥️

Suara angin kencang beradu dengan deru ombak langsung tertangkap indra pendengaranku sesaat setelah aku membuka pintu mobil. 

Hamparan luas pantai dengan pasir putih yang mempesona mata menjadi pemandangan indah yang ku lihat saat ini.  Harum khas air laut menyambut aku dan Jio. Ya! Tujuan kami yang pertama adalah Pantai. Tempat yang paling disukai Jio.

"Gausah pake sepatu yaa. Tenteng aja." Intruksiku pada Jio yang langsung diikutinya tanpa protes. 

Ahhh. Sudah lama aku juga tidak ke pantai. Ditemani langit yang redup kami melangkah beriringan di bibir pantai.  Celana panjang kami sudah di gulung sebatas betis membiarkan terpaan air asin membasaki kaki ku dan Jio.

"Dulu lo itu paling takut sama ombak laut.  Lo selalu lari padahal ombaknya pun gasampe nyamperin lo. Selalu teriak, Bang Jiooo Jia takut dimakan ombak. Dan minta gue gendong padahal gue gedenya sama kaya lo." Ungkap Jio menyelipkan tawa-tawa kecil seolah mengembalikan kenangan menyenangkan pada masa lalu.

"Lo tau ga kenapa kita kembar tapi lo tetep terbiasa dengan manggil gue abang?" Tanya Jio menatapku

Aku menggeleng.

"Karena gue nangis-nangis ke mama sama papa bilang kalo gue pingin jadi Abang. Gue pingin di panggil abang. Dan saat gue nangis.  Lo datengin gue. Bisikin ke gue. Lo tau apa yang lo bisikin ke gue? Mulai sekarang Jia bakal manggil Jio abang.  Bang Jio. Jadi bang jio jangan nangis lagi ya. Hahahaha... Kalo gue inget itu, gue malu sama diri gue. Dulu gue ternyata cengeng banget. Mungkin orang akan mikir lo itu kakak gue." Aku terkekeh mendengar cerita Jio. Aku tidak merasakannya langsung tapi aku bisa membayangkan hal itu. 

"Jia tau? terlalu banyak yang gue tutupin sebagai abang dari lo, tapi semata-mata cuma buat ngelindungin lo. Gue ga minta lo percaya. Tapi gue cuma pingin lo tau hal itu."

"Lo udah berperan jadi kakak gue dulu, Giliran gue yang berperan jadi abang lo sekarang. Gue selalu mikir, gue harus bilang gimana biar lo ga hancur dengernya tapi dari mana pun gue cerita gue rasa lo ga akan baik-baik aja." Sambung Jio, mulut gue terkunci rapat, menunggu penjelasan Jio, mungkin ini kesempatan Jio menjelaskannya kan?

"Sebenernya semuanya baik-baik aja awalnya, mama papa pulang setiap weekend kita jalan bareng atau sekedar ngumpul bareng tapi gara-gara gue yang nemuin undangan penikahan papa di kamar mama, bikin gue muter balikan pikiran gue. Gue berusaha pura-pura gatau tapi gue gabisa. Sampe suatu saat gue tanya ke mama. Dan mama cuma nyuruh gue diem. Lo tau gue ga bisa diem aja kan?  Tanpa sepengetahuan mama dengan bodohnya gue dateng ke pernikahan itu." Cerita Jio.

Jio menarik dalam nafasnya.

"Dan gue liat mama ada disana juga." Jio terkekeh menertawakan kebodohannya dan juga mama.

"Kita tau bakal sakit hati tapi kita tetep dateng kesana, mulai dari situ gue bener-bener sadar ternyata gue bener mirip sama mama, karena sama halnya kaya mama yang banyak nyembunyiin hal dari kita, gue pun begitu persisnya" Ungkap Jio

Aku terus terdiam. Entah perkataan Jio membuatku tersadar. Sama halnya seperti Jio aku pun sama menyembunyikan banyak hal darinya. Kehidupan palsu yang kujalani sebagai Jia salah satunya.

"Lo gapapa Jia?" Tanya Jio khawatir,  aku mengangguk tersenyum, aku baik setidaknya untuk saat ini.

"Dan preman-preman itu siapa?" tanyaku hati-hati.

"Mama berubah semenjak itu, dan gue baru tau kalo mama juga ngeliat gue hari itu, yang bikin mama ngerasa bertanggung jawab untuk semua kesedihan lo juga gue. Mama semakin gila kerja, sampe perusahaan mama sukses, tapi kesuksesan itu buat mama gencar make politik, siapa yang ga nguntungin mereka kalah. Ya semacam mama mutusin kontrak sama pihak-pihak yang ngasih keuntungan kecil. Dan pihak-pihak itu pun udah percaya sama mama, ga mungkin kalo mereka ga kecewa, dan ya, yang kamu liat, wujud balas dendam mereka semacam itu ke kita. " Sambung Jio menjelaskan, Aku bisa melihat raut wajah sedih sekaligus beban-beban yang ditanggung Jio untuk itu semua.

"Tapi kenapa mama ga peduli?"

Jio tersenyum pedih mengacak2 rambutku,"Bukan ga peduli, cuma mama yang udah terlalu banyak beban dan pikiran sampe ga sadar udah ngorbanin anaknya sendiri. Mama kira papa ninggalin kita cuma karena uang. Tapikan nyatanya ngga gitu."

"Tapi bang Jio bilang gitu ke mama kemarin."

Jio menggeleng, "Kadang kita ngucapin hal yang salah untuk jawaban yang bener Jia."

"Maksudnya?"

"Sampe sekarang gue ga tau kenapa papa mutusin hal bodoh itu. Dan cuma mama yang tau"

❤️❤️❤️

Jio tak berhenti menegurku kala aku terus menarik tangannya untuk melangkah lebih cepat. Aku dan Jio memutuskan untuk mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan ternama setelah hampir menghabiskan setengah hari kami di pantai.

"Pelan-pelan aja sih Jia." Keluh Jio lagi mencoba mengimbangi langkahku.

"Ayuk cepetan. Jia pingin es krim tau bang. Ayuk." Paksaku terus menarik tangan Jio.

Aku tak mempedulikan ramainya mall ini terlebih hari semakin sore, banyak warga metropolitan yang sejenak mampir, baik dari kalangan pelajar maupun pekerja yang mencuci mata mereka di sini. Keadaan ramai inilah yang membuat Jio kewalahan menghindar dari satu orang ke orang lainnya.

"Jia ih pelan kenapa sih, gue bisa nabrak orang ini." Tapi aku tak mempedulikan keluhan Jio. Yang penting sekarang adalah aku ingin beli es krim.

"Jia!! Lo bener-be---"

'Duk'

Aku menoleh mendapati Jio yang tergeletak dalam posisi terlentang dengan bajunya berlumur es krim, disebelahnya seorang gadis berambut panjang lurus jatuh terduduk dengan posisi cantiknya membuatku keheranan, bang Jio yang jatuh dengan posisi memalukan gitu tapi si cewe kenapa seperti sedang foto model ya?

"Lo gapapa?"

Tanya wanita itu membantu bang Jio bangkit. 

❤️❤️❤️

Lanjuttt??

SERUPA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang