Aku memijat pelipisku yang pening melihat ketidak akuran keduanya. Entah apa yang terjadi di masa lalu, karena aku yakin ada sesuatu mengingat peringatan Arvie sewaktu kami di mobil waktu itu, menyuruhku untuk menjauhi Reynan.
"Kamu harusnya gausah narik aku tadi." gerutu Arvie.
"Kamu mau jadi tontonan?"
"Ya engga gitu. Sekali-kali Reynan tuh harus dikasih pelajaran."
"Dia bukan tipe yang bakal pinter walaupun udah di kasih pelajaran seberat apapun."
"Kok kamu jadi belain dia?"
Aku menghela nafas.
"Aku bukan ngebelain dia vie." Ungkapku. "Tapi kamu harus bisa jaga emosilah, biarin Syeril sama Reynan yang nyelesaiin debatan mereka."
"Tapikan--"
"Udahlah Vie, aku ga mau bahas itu."
Hening.
Aku menyadari Arvie yang masih terus menatapku, tatapan mata yang membuat gadis manapun akan merasa terbius.
"Marah ya?"
"Engga." Balasku
"Jawabnya ketus gitu."
"Siapa yang ketus?"
Aku tidak marah. Serius. Namun melihat Arvie yang merujuk seperti itu membuatku bersikap seolah benar-benar marah padanya. Ah dia lucu. Serius.
"Aku ga akan emosian lagi deh. Beneran. Jangan marah." Arvie menatapku penuh harap.
Aku tersenyum tipis, "Beneran?"
Arvie mengangguk.
"Nanti mau nemenin aku engga?"
"Kemana?"
"Ke toko buku."
❤️
Aku berjalan berdampingan bersama Arvie, menelusuri rak kayu yang di penuhi buku-buku novel remaja, tuangan imajinasi penulis dalam bentuk karya tulisnya.
"Buku apa yang paling kamu suka Vie?" Tanyaku.
Arvie bergumam seraya berfikir "Gatau deh, aku jarang baca buku."
"Iyalah orang kamu main basket mulu." Candaku di balas dengan tawa kecilnya.
"Kalo aku baca buku, ga keliatan keren."
"Kata siapa?"
"Ya ada yang bilang, katanya aku itu ganteng kalo lagi main basket." Sambung Arvie tersenyum kemenangan.
"Siapa yang bilang gitu? Yang jelas itu bukan aku loh, aku emang muji kamu keren tapi belum pernah aku ungkapin langsung." Balasku.
Arvie terkekeh, "Kenapa kamu ga pernah ungkapin?"
"Takut kamu kesenengan kaya sekarang."
Arvie mengacak-ngacak rambutku membuatku mengeluhkan hal itu. Namun sekalipun aku terlalu sering kesal dengan tingkahnya yang sering memainkan rambutku tapi disisi lain aku juga menyukainya.
"Vie?"
"Hm?"
"Kamu ga jawab, siapa yang bilang kamu keren." Ungkapku yang sedikit penasaran karena aku rasa sudah pasti cewe yang akan memujinya seperti itu.
"Bukan siapa-siapa kok."
"Cewe?"
"Kenapa sih Jia. Beneran deh, biasa cewe-cewe di sekolah, kamu ga tau kalo kamu pacaran sama orang terganteng di sekolah?"
'Duk'
"Awww..."
"Pacar aku galak ih takut... " Ungkap Arvie yang sedikit menjauhkan langkahnya dariku.
"Ishhhh... " kesal yang dibalas tawa kecilnya, merangkulku seakan menjelaskan bahwa itu hanya sebuah candaan saja.
Tanganku terulur pada sebuah buku bersampul putih dengan bercak cat berwarna biru di beberapa tempat.
'Seribu Rasa - Anonim'
"Nah... Aku pernah baca buku ini. Bagus banget."
"Tapi sayang banget ya buku bagus gini pengarangnya ga mau nunjukin siapa dia."
"Tapi keren sih bisa bikin pembaca penasaran."
"Kamu udah pernah baca belum? Kalo ngebayangin ada buku anonim gini menurut kamu penulisnya kaya apa?"
Arvie menautkan alisnya melihatku melamun tak menjawab segala keantusiasannya.
"Jia? Kenapa?"
"Ehh?" Kagetku, aku menggeleng tersenyum tipis, "Gapapa kok."
"Buku ini bagus?"
Arvie mengangguk antusias.
"Yaudah aku mau beli buku ini."
Seribu Rasa
Raditya, Aku terus menatapnya dari kejauhan, caranya berkutat dengan jajaran angka sama sekali tak membuatku bosan untuk terus melihatnya, caranya berfikir, caranya membenarkan kacamata yang selalu turun ketika ia sedang serius, cara ia mengacak-acak rambutnya frustasi, Ku rasa aku sudah jatuh pada pesonanya, bahkan sudah tumbuh seribu rasa untukku jatuh cinta padanya. Pada Radit. -Anon
❤️
Kenapa Jia terdiam?
Makasih yang udah mau baca, see u di part selanjutnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Novela JuvenilMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...