Air mataku menetes menatap Jio yang menahan emosinya, wajahnya memerah, menatap marah dengan mata yang berapi-api kearah wanita yang berkisar umur kepala empat namun masih sangat cantik.
Sama seperti wajahku, wajah Jia, yang itu berarti, kemungkinan besar aku adalah keturunannya. Wanita yang berkali kali hanya ku lihat di foto keluarga di ruang tengah rumah tanpa pernah ku lihat langsung rupanya. Ternyata ia secantik ini.
"Mama ngapain sih mau ketemu sama Jio terus? Kangen sama anak mama? Baru ngerasain sekarang? Atau kawatir sama keadaan Jio? Sama keadaan Jia? Sama keadaan rumah? Kalo emang iya. Pulang mah. Itu rumah segede itu yang mama beli, itu rumah mama bukan rumah Jio atau Jia. "
"Kenapa mama diem aja. Mama bilang pingin ketemu Jio. Ini udah. Mama ketemu sama Jio. Jangan bikin Jio sia-sia dateng kesini kaya beberapa hari lalu. Mama tau? Jio sampe bolos sekolah."
Wanita dengan panggilan mama itu masih terus membungkam mulutnya.
"Udahlah mah. Basi kaya gini mulu. Jangan pernah minta Jio ketemu lagi selain mama pulang kerumah."
"Mama ga akan pulang. Itu rumah kamu sama Jia. " Ucap mama dengan suara lembutnya.
"Apa mah coba ulang? Jio ga denger."
"Mama ga akan pulang lagi kerumah itu." Kali ini suara mama terdengar lebih tegas. Aku bisa melihat tangan Jio yang terkepal keras di bawah meja.
"Kalo ga pulang kenapa mama beli rumah itu?"
"Mulai sekarang kamu mama sama Jia lebih baik ketemu di luar. Sebulan sekali mama akan kirim uang ke tabungan kamu sama Jia."
"Mah!!"
"Jagain Jia. Dia udah banyak menderita."
Aku kini tidak bisa menahan air mataku lagi. Tanganku terkepal menahan emosi yang ku yakin juga dirasakan Jio di dalam sana.
"Kalo uang yang mama kirim engga cukup kamu tinggal bilang sama mama."
"Mah!!"
"Hmm?" balas wanita itu menatap Jio.
"Apa bahagia itu melulu tentang uang?" Suara Jio melemah.
"Yang mama pikirin tuh cuma uang yang masuk ke tabungan Jio sama Jia. Pernah ga sih sekali aja mama mikirin gimana keadaan Jio sama Jia? Dua anak mama yang udah mau lulus. Mama pernah ga sih mikirin penderitaan yang Jio tanggung karena mama? Jio ga sanggup lagi mah nutupin semuanya dari Jia. Jio selalu sedih ngeliat Jia yang bertanya-tanya kenapa mama dan papanya ga ada dirumah. Kemana mereka? Apa yang terjadi dengan keluarga ini? Jio ga sanggup lagi mah. Jio capek. Jio capek pura-pura baik-baik aja. Jio capek pura-pura ga tau apa-apa. Jio capek mah Jio capek. Oke kalo mama ga pulang. Oke kalo mama cuma bisa ketemu kami satu kali sebulan. Tapi berhenti kirim preman-preman itu ke rumah. Mama ga tau? Jio takut. Jio takut Jia yang kenapa-kenapa. Jio gapapa di pukulin. Jio gapapa rumah di hancurin. Tapi cuma gara-gara pesen mama dan tanggung jawab Jio. Jio takut gagal ngelindungin Jia. Jio ga pernah minta apa-apa sama mama. Tapi sekarang Jio bener-bener capek. Jio pingin mama pulang dan berhenti gila kerja kaya gini." Nafasku sudah tidak beraturan. Air mataku terus menderas menatap Jio yang mengeluarkan seluruh yang ia pendam sendirian.
"Kamu baik-baik aja Jio. Buktinya selama ini gapapa. Kamu bisa ngejagain Jia."
"Kalo Jio yang jagain Jia. Terus Jio dijagain sama siapa? Siapa yang jagain Jio? Bilang mah sama Jio. Kasih tau. Siapa yang jagain Jio di pukulin sama preman yang nyari mama? Siapa yang yang ngelindungin Jio dari orang orang yang ngelampiasin amarah untuk mama ke Jio? Siapa? Bilang sama Jio."
"Mama ga ngajarin Jio lemah kaya gini."
Hening. Aku hanya bisa membekap mulutku sendiri. Menahan suara tangis yang ku tahan. Dari depan pintu aku bisa melihat perdebatan mereka. Dan aku salah. Aku salah sebagai Jia yang bahagia. Aku salah.
"Berapa kali sih Jio bilang Jio capek mah." Ungkap Jio dengan nada suara yang mulai meninggi.
"Jio harus jelasin kaya apa lagi mah biar mama ngerti. Oke. Oke kalo itu mau mama. Gapeduli mama mau peduli apa engga sama Jio. Tapi bisa ga? Bisa ga mama berhenti buat Jia? Berhenti semuanya? Selesaiin masalah mama sendiri gausah bawa-bawa Jio sama Jia."
Jio menarik nafas beratnya.
"Papa yang nikah lagi itu karena siapa? Karena mama. Mama yang gila kerja, semuanya melulu tentang uang. Mama gatau berapa gelas yang pecah dirumah. Berapa kali bunga di taman ganti jenis? Ancur semuanya mah. Mama bahkan ga peduli sama itu yang mama pikirin cuma mama yang bisa beli semua barang itu lagi dari uang yang mama punya. Cukup mah. Berhenti jadi serakah. Berenti."
"Jaga omongan kamu ya Jio. Mama ga pernah ngajarin kamu berbicara kaya gitu. "
"Iya! Emang. Emang Mama ga pernah ngajarin Jio berbicara kaya gitu. Jio tanya. Mama pernah ngajarin apa ke Jio? Pernah emang ngajarin Jio cara bertata bicara yang baik? Mana yang sebenarnya baik, mana yang sebenarnya buruk? Emang mama pernah? Pernah ngajarin itu ke Jio? "
"Saya mama kamu Jio!"
"Jika anda mama saya. Anda akan peduli sama saya. Anda akan menanyakan kabar saya dan adik saya. Anda akan meracau saat saya terluka. Anda akan memeluk adik saya jika ia rindu. Anda akan tersenyum bangga melihat hasil prestasi saya. Bukan ini. Ini apa? Apa tugas anda sebagai mama saya hanya untuk memberitahu jika anda sudah mengirimkan uang bulanan pada kami."
Jio menatap tajam mama yang mulai membawa serta tangannya.
"Apa? Mama mau ngapain? Mau nampar Jio? Tampar mah tampar. Biar Jio rasain kasih sayang mama. Biar Jio tau kalo semua yang Jio lakuin tuh salah. Biar Jio sadar mama tuh masih mau ngasih tau yang mana yang salah mana yang benar."
"Jio bener-bener muak sama mama. "
Plak.
"Cu--cu--cukup ma." Suaraku bergetar.
Dua manusia yang sedari tadi sibuk dengan argumennya, dengan emosi mereka yang tertahan sampe tak sadar keberadaanku yang berdiri lemah. Keduanya membelakan matanya terkejut melihat kearahku.
"Cu--cu--cukup nyusahin bang Jio. Jia ga pernah minta itu." Ungkapku dengan suara yang bergetar. Bahkan tanganku juga sudah bergetar hebat.
"Jia ga mau jadi beban bang Jio terus." Lanjutku.
"Kalo mama ga bisa bahagiain Jia, berhenti buat Jio bikin Jia bahagia. Jia ga tau kalo Jia bahagia sendirian. Jia gatau kalo selama ini Jia bahagia diatas kesedihan bang Jio. Jia ngerasa bersalah mah. Jia ngerasa ga berguna. Jia ngerasa semua ini salah. Jia ngerasa Jia gaseharusnya ada disini. Jia ga harusnya nikmatin kehidupan sebagai Jia. Jia yang salah disini. Ternyata Jia disini untuk ngebuat masalah disini."
Ucapku sesegukan. Aku menatap Jio dan mama yang masih terdiam.
"Maafin Jia."
❣️❣️❣️
Selamat pagi...
Terima kasih yang udah baca, jangan lupa vote & comment yaa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...