"Non Jia, Non Jia... bangun Non... Hari ini kan hari pertama sekolah."
"Hari ini hari minggu mah aku kan ga sekolah. Aku mau bangun siang." Ucapku merapatkan selimut bersiap untuk kembali terlelap,
"Non Jia, Ini hari senin, nanti Non Jia telat lho." Suara lembut itu tak memberiku pilihan selain aku harus segera membuka mata.
"Non Jia ayuk bangun, udah jam setengah tujuh Non, harusnya Non Jia udah sekolah."
"Hahhhh?"
Suaraku mengejutkannya yang mundur berapa langkah dariku. Bukan. Aku bukan terkejut karena keterlambatanku. Namun siapa ini? A—Apa ini semua? Wajah asing ini, ini bukan mama dan tidak mungkin jika itu mama, masa mama menjadi tua hanya dalam satu malam? tunggu! Tapi apa aku yang lupa ingatan? Tidak! Tidak wanita ini bukan mama, sudah jelas, jelas, mama masih muda.
"Non Jia?"
"S-SA-Saya... Saya Andira." Ucapku gugup. Wajah bingungku kini diikuti wajah bingung wanita itu.
"Loh? Non kenapa deh? Ayukk udah cepetan mandi, Bibi tunggu dibawah ya?"
"Be-ben—bentar bu, Ibu siapa? Saya dimana?" Tanyaku ketakutan, ini bukan kamarku, kamar dengan luas tiga kali kamarku ini sudah jelas bukan kamar milikku.
"Loh non kok bingung? Apa belum terbiasa sama rumah baru? Ini dirumah Non yang baru, Saya Bi Minah, sudah tinggal sama Non dari kecil masa Bi Minah di lupain juga sih?" Ucapnya dengan nada bergurau. Tapi nada candaan itu sama sekali tak menghilangkan ketakutanku, aku tidak kenal dengan Bi Minah, dan rumah baru? Sebesar ini? Minta ganti laptop saja butuh perjuangan, padahal sudah hampir sebulan. Masa tiba-tiba sudah beli rumah baru? Dapat uang jatuh dari mana orangtuaku?
"Bibi tunggu di bawah ya, mau siapin sarapan. Baju sekolahnya udah Bibi siapin, ada di lemari ya." Ucap Bi Minah, dan dengan segala ketidakmengertianku, aku mengangguk pasrah. Katanya aku harus ke Sekolahkan? Ya saat ini lebih baik aku ke Sekolah.
Aku benar-benar bingung dengan diriku, apa aku hilang ingatan? Aku ingat terakhir aku menangis karena Radit, apa aku menangis terlalu lama hingga ilang ingatan? Apa tiba-tiba ada maling yang masuk lalu menggetok kepalaku hingga ilang ingatan? Karena aku benar-benar tidak ingat apapun! Sungguh!
"Tapi kenapa gue jadi lebih cantik ya?" Aku menatap wajahku dari pantulan cermin, rambutku lurus dengan ikal di bagian bawah, pipiku lebih tirus dari biasanya, dan lebih putih? Semua keheranan dan pertanyaan ini benar-benar berkumpul menjadi satu didalam otakku.
"Jiaaaa!!! Bisa cepet engga sih, Abang udah telat tau ga!!"
Suara pria dari luar kamar mengejutkanku. Abang? Lagi, lagi dan lagi. Aku ingin menangis, ini apa? Ini siapa yang gila? Keadaan ini atau aku yang gila? Kenapa aku tidak mengerti satu hal pun sejak aku bangun dari tidur.
"Jiaaa!!!"
"I—Iy—Iyaa... Udah siap kok."
♥♥♥
Aku mematung menatap pria dihadapanku. Bertubuh tinggi dengan wajah yang nyaris serupa denganku, mungkin tepat jika aku mendeskripsikannya sebagai aku versi cowok. Aku seperti melihat kembaranku? Atau aku memang memiliki kembaran? Aku benar baru kali ini melihat wajahnya. Bagaimana aku menjelaskan ekspresiku saat ini? Kagum. Ya sejenis itulah.
"Kenapa ngeliatin wajah gue kaya gitu? Ganteng?" Ucapnya percaya diri, dengan polos aku menganggukan kepalaku. Tidak salah bukan? memang benar wajahnya sangat tampan.
Ia mengernyitkan alisnya. " Tumben biasanya lo ngatain gue jelek mulu."
"Lo siapa emang?"
"Tuk."
Aku mengaduh kesakitan memegang kepalaku yang menjadi tempat mendarat kepalannya, hilang sudah ekspresi kagumku berganti tatapan kesal. Aku bahkan tidak tau siapa dia, tapi dengan seenaknya ia menjitak kepalaku.
"Gue tau lo gamau punya Abang kaya gue, tapi didalam hidup lo tuh udah di takdirkan dan ga bisa diubah-ubah lagi kalo seorang Jialyka Arasyla itu lahir sebagai adiknya Adjiyo Arazummar." Ucap Jio meninggalkan ku yang mematung, sudah berapa kali aku akan mendengar jika diriku dipanggil dengan sebutan Jia hari ini.
"Sampe tahun berapa lo mau tetep berdiri disitu Jia?!"
Ini benar-benar mengesalkan. Aku tidak mengerti satupun hal yang terjadi sampai aku berdiri saat ini didepan murid kisaran berjumlah dua puluh orang, berpakaian seragam yang sama denganku. Wajah antusias terpancar menungguku mengeluarkan satu dua patah kata perkenalan.
"Nama saya An--- Hmmm.. Jialyka Arasyla." Aku pasti sudah gila. Nama siapa yang ku pakai saat ini. Namaku Andira bukan Jialyka, tapi kenapa ?
"Sudah itu saja?" Aku mengangguk pelan menatap guru yang tersenyum ramah.
"Baiklah Jia, kamu duduk di kursi belakang yang kosong ya." Aku melangkahkan kakiku, mengacuhkan tatapan penasaran yang sangat jelas tertuju kepadaku.
"Nanti istirahat bareng sama gue ya Jia." Ucap gadis berambut sebahu yang duduk di depanku. Aku mengangguk dengan seutas senyuman tipis di bibirku.
"Baik, sekarang buka buku matematika hal 104"
♥♥♥
Dibelakang sekolah kini aku terduduk, menjauhkan diri dari lingkup banyak murid yang sibuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan membingungkan. Aku yang tak memiliki jawaban apapun hanya bisa tersenyum tipis. Lebih memilih untuk melarikan diri.
Lo rumahnya dimana? Minta nomor telpon lo dong? Kakak lo juga sekolah disini? Lo pindahan dari mana? Seharusnya itu menjadi pertanyaan yang mudah dan wajib dijawab ketika kamu menjadi murid baru sebuah Sekolah, namun dengan keadaanku saat ini yang saja masih bingung dengan namaku sendiri, itu menjadi pertanyaan yang lebih sulit dari ulangan matematika.
"Kenapa sekarang nama gue jadi Jia? Sekarang gue punya abang, gue, gue pindah ke rumah baru yang tiga kali lebih gede dari rumah gue, gue pindah kesekolah elit, Ini tuh apa?"
"Kehidupan."
Aku menajamkan mataku melihat sekeliling dengan cermat, tapi mataku tidak menangkap satu orangpun. Aku jelas mendengar suara yang seolah menjawab gumamku. Aku tidak berhalusinasi. Sungguh! Aku mendengar sua---
"Kehidupan yang harus lo jalanin, bukan lo keluhin."
'Duk'
Benar bukan? Aku tidak berbohong? Aku menatap serius pria yang berhasil mendarat dengan mulus dihadapanku. Melompat dari atas pohon yang tumbuh tepat di samping bangku yang ku duduki. Jadi suara tadi dari pria itukan? Pria yang kini sedang menepuk celananya yang kotor terkena terpaan debu, berposisi berdiri lima langkah dariku.
"Lo siapa?"
"Gue? Gue manusia." Jawabnya santai.
"Perasaan gue nanyanya lo siapa deh bukan lo itu apa" Aku menatapnya heran.
"Jangan pake perasaan nanti suka sama gue"
"Ishh... ditanya serius malah bercanda." Jawabku tak suka. Ini bukan waktunya untuk bercanda.
"Jangan serius-serius. Masalah hidup tuh udah serius masa ngobrol aja mau serius juga." Jawab Pria itu sembari meneguk air dari botol yang ia bawa turun dari pohon. Terlihat sebungkus roti juga yang ia letakan di sebelahnya. Mungkin tadinya ia ingin memakan roti tersebut di atas pohon.
Aku terdiam, EH? Iya! Ini bukan saatnya untuk bersantai. Aku harus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Apa yang membuatku menjadi Jia. Dan siapa itu Jia? Ah pikiranku jadi kacau beginikan.
♥♥♥
Yukk jadi pembaca yang baik, menghargai dengan cara jangan lupa Vote dan Comment yaa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...