Aku terdiam,
"Gue suka sama lo Jia."
Aku masih terus terdiam, mencoba mencerna ungkapan Arvie.
Ungkapan? Dia suka padaku? Aku mulai menarik nafasku, menetralkan degup jantungku yang berdetak dua kali lebih cepat.
"Gue ga tau kapan perasaan ini muncul, darimana asalnya, ataupun alasan apa yang bikin gue suka sama lo, gue juga gatau, mungkin awalnya gue emang penasaran sama lo, kenapa lo selalu ngehindar dari gue, tapi hal itu yang bikin gue pingin terus di deket lo, gue nyaman sama lo, gue pingin bisa ngejagain lo kaya Jio yang juga ngejagain lo. Mungkin gue emang gabisa dibandingin sama Jio. Tapi apa gue juga ga dikasih kesempatan buat masuk ke dunia lo?"
Aku masih terus terdiam. Kehilangan seribu kata di hadapan Arvie. Menatap matanya yang penuh harap.
"Kaya yang lo bilang tadi, Ini rahasia gue Jia. Rahasia gue ke lo, rahasia yang selalu pingin gue nyatain ke lo, perasaan gue selama ini ke lo. Jadi plis, kasih gue kesempatan buat selalu ada di samping lo, bikin lo seneng, selalu bisa ngehibur lo, dan kita bisa terus bareng-bareng ngunjungin taman,"
"Lo mau kan jadi pacar gue?"
❤️
Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan ini. Senyumku tak bisa terus ku tutupi, dimana tempatnya atau kapanpun waktunya.
Huah.
Hari yang indah.
Juga perasaan yang menyenangkan.
Sungguh perasaan ketika jatuh cinta adalah yang terbaik. Aku sudah lama tidak merasakan ini. Jantung yang berdebar, dan pikiran yang selalu tertuju untuk seseorang itu. Ingin selalu bertemu dan terus penasaran apa yang sedang ia lakukan. Ingin terus bertanya bagaimana kabarnya, apakah ia juga sedang memikirkan ku saat ini. Apapun tentangnya seketika menjadi penting buatku.
Aku tau bagimu mungkin sedikit menggelikan. Bukan sedikit bahkan sangat menggelikan.
Tapi ketika kamu merasakannya sendiri. Kamu bahkan tak bisa mendeskripsikannya. Kegilaan dan hal-hal norak bisa jadi hal biasa untuk ditujukan satu sama lain.
Udah makan? Pake apa? Abis ngga makannya? Kalau belum cepet gih makan. Nanti sakit loh. Kamu mau aku kawatir? Kamu emang paling bisa bikin aku kawatir. Udah makan dulu gih. Kamu mau makan apa biar aku beliin? Sampe keujung dunia pun kalau kamu minta bisa aku beliin.
Itu adalah sekian banyak topik pertanyaan yang bisa diajukan hanya tentang satu topik. Makan.
Kata-kata yang membuat malas pembacapun bisa menjadi hal biasa buatku. Belum lagi emotikon yang wajib digunakan saat chatting-an. Atau kami menghabiskan banyak jam untuk berbicara via telepon genggam. Bahkan bisa berbincang semalaman, padahal esok bisa sajakan bertemu di sekolah.
Hahaha.
Itu menjadi hal biasa yang terjadi padaku sampai tak terasa ini sudah sebulan lamanya. Dan Jio sudah kewalahan memperingatkanku.
Aku merasakan perbedaan gaya pacaran Radit dengan Arvie. Radit yang selalu menuntut dan Arvie yang selalu ingin di tuntut, ini bahaya sebenarnya buatku. Menjadikanku selalu bergantung pada Arvie.
"Jangan make sambel banyak-banyak ih nanti sakit perut." Arvie menjauhkan mangkuk sambel dari sekitarku.
"Capek gue ngeliatnya." Jio menghela nafas beratnya menatapku dan Arvie malas.
"Lain kali tuh nyari meja sendiri kenapa sih? Udah tau mau mesra-mesraan tapi malah maunya gabung mulu sama kita." Keluh Jio.
Aku dan Arvie hanya tersenyum kemenangan menatap Jio yang selalu mengeluhkan sikap manis kami berdua.
"Syeril? Lo ga komen? Biasanya komen mulu tentang mereka."
"Engga deh. Makasih. Capek gue juga." Balas Syeril.
"Lo Rey? Diem aja kaya patung." Sambung Syeril.
"Sorry ga minat sama hubungan orang lain."
Aku menatap Reynan tajam. Orang lain katanya? Jawaban dingin yang keluar dari mulutnya merubah suasana di meja ini.
Aku melirik ke arah Arvie yang juga menatap Reynan tak suka. Aku tidak tau sejak kapan perang dingin ini bermula, yang juga entah darimana asalnya, namun yang jelas yang ku tau Arvie sejak awal memang tak suka kedekatanku dengan Reynan.
Walaupun berkali-kali ku jelaskan kami hanya sebatas teman. Namun penjelasan apapun tentang Reynan ku rasa tak ada yang bisa di terima oleh Arvie.
Menurutnya, kami tetap adalah laki-laki dan perempuan yang entah kapan bisa saja akan punya perasaan satu sama lain.
"Kelamaan jomblo sih lo sampe di bercandain tentang hubungan orang jawabannya serius banget." ketus Syeril.
"Lo ga ngaca?" balas Reynan tak kalah ketus.
"Lah? Gue mah pacar emang ga punya tapi gue punya cowo yang deket sama gue."
"Siapa? Kasih tau coba kasih tau. Jangan-jangan cowo orang lo rebut-rebut."
"Sampe kapan sih lo ganggu setiap kita makan dikantin?"
Duh. Mati. Aku meruntuki Arvie yang sudah angkat bicara. Semoga Reynan tak menganggapnya serius.
"Siapa? Gue?" Tantang Reynan.
"Ya kalo bukan lo siapa lagi? Apa ada disini yang suka nyiptain masalah selain lo?"
"Syeril. Dia yang mulai duluan. Kenapa lo jadi marahnya sama gue?" Balas Reynan menatap tajam Arvie.
"Lah kok jadi gue?" Sergah Syeril tak terima.
"Udah sih elah. Jadi ribut gini." Ungkap Jio menenangkan, namun Jio juga gagal menyelamatkan suasana disini.
"Kalo lo salah ya ngaku salah. Gausah bawa-bawa orang lain." Ucap Arvie membuat Reynan tersenyum miring.
"Kenapa lo jadi belain Syeril?"
"Karena emang lo yang salah."
"Kalo lo aja masih salah menilai mana yang salah, gausah sok ngebela, jadi orang kok sok banget paling bener." Balas Reynan.
"Rey." Peringatku yang tak ingin ada pertengkaran disini.
"Paling bener? Emang gue bener kan? Lo aja yang emang ga pernah bisa nerima kenyataan."
Aku melihat kepalan tangan Reynan. Aku melirik Jio yang sedari tadi memberiku isyarat untuk membawa pergi Arvie dari kantin jika tidak ingin jadi tontonan banyak orang. Melihat beberapa pasang mata mulai menaruh ketertarikan mendengar perdebatan Reynan dan Arvie.
"Aku dah kenyang. Ayuk balik ke kelas."
Tanpa menunggu persetujuan Arvie aku menarik lengan Arvie untuk menjauh dari kantin.
❤️
Padahal berharap mereka berantem gitukan biar rame yaa😁
Makasih yang udah mau baca yaa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...