Suasana canggung memenuhi seisi mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, Aku bahkan tidak menoleh kearah Arvie sedikitpun sejak masuk kedalam mobilnya, menghadap keluar jendela melihat kendaraan lain yang berlalu lalang dan gedung yang menjulang tinggi menghiasi sepanjang perjalanan.
"Gue cuma mau deket sama lo ga ada maksud lain."
"Kalo lo ga nyaman gue minta maaf."
"Semenjak kejadian di UKS gue penasaran kenapa lo ngehindarin gue."
"Gue nanya Jio apa yang lo suka, dia jawab buku. Gue kira lo bakal seneng tapi lo malah kaya gini."
Aku masih terus terdiam tak menanggapi ucapan Arvie.
"Lo deket ya sama Reynan?" Tanya Arvie membuka percakapan.
"Ah! Sebenernya gue ga suka bahas orang lain apalagi cowo, tapi kalo lo tetep gamau jawab, gue ga punya pilihan lain selain bahas ini. Ya cukup lo tau aja Jia, nyari topik pembicaraan buat deketin cewe tuh susah, serba salah." Ungkap Arvie.
'Lah dia jadi curhat.' Batinku.
Arvie menoleh, "Jadi gue sekarang lagi mau ngajak lo bicara, lo deket sama Reynan?"
"Hmm... bisa dibilang begitu." Bohongku. Ku rasa kenyataannya tidak lebih dekat dari sekedar teman kebetulan(?)
"Menurut lo Reynan gimana orangnya?"
Penting banget apa ya nanyain Reynan?
"Baik. Emang kenapa?"
"Lo baru tau luarnya aja kayanya, Reynan ga sebaik yang lo kira." Ucap Arvie yang membuatku akhirnya menoleh penasaran. Menunggu Arvie melanjutkan ucapannya.
"Dia jatoh dari pohon waktu itu pasti ada maunya."
"Hah?" Ucapku terkejut,
"Ya dia jatoh dari pohon pas gue mau minta maaf sama lo, pasti ada apa-apa. Udah gitu dia maunya direpotin sama lo, gue tau, pasti dia mau ngedeketin lo, lo harus hati-hati sama Reynan Jia?" Arvie melirik kearahku sejenak.
Aku kehabisan kata, teringat akan diriku sendiri, Aku yang bersyukur dia jatuh dari pohon, katakan aku jahat tapi keadaan yang memaksa begitu.
Akulah yang membuat kata-kata jika ia hanya ingin direpotkan olehku. Aku pula yang mendekatinya untuk menyuruhnya mengobati di UKS. Bukankah ini artinya Reynan yang harusnya berhati-hati denganku?
"I-Iyaa..."
"Reynan emang terkenal begitu, Dia baik sama orang tapi ada maunya."
Aku terdiam. Reynan maaf. Gue membuat image lo jadi buruk. Walau sebenarnya aku merasa kata-kata Arvie lebih cocok untukku bukan Reynan.
"Namanya juga manusia." Celetukku, membuat Arvie terkekeh.
"Kalo gitu next time gue mau traktir lo makan supaya gue bisa deket sama lo. Gapapakan? Gue kan juga manusia."
***
Langkahku terhenti menatap halaman depan yang lebih tepat di deskripsikan seperti rumah sehabis terkena gempa. Pot bunga yang pecah, dengan tanah tanaman yang berserakan, bunga yang terinjak-injak, menakutkan. Tapi, apa tadi ada gempa?
Aku membelakkan mataku, ini bukan hanya terjadi di luar rumah tapi juga di dalam rumah. Apa ini? Kenapa kursi tidak tertata dengan benar? Ada pecahan gelas dilantai, aku sudah tidak bisa mendeskripsikan lagi, tubuhku bergetar ketakutan mengikuti langkah kakiku yang membawaku lebih masuk ke dalam rumah.
Aku tidak pernah membuat ceritaku seperti ini. Apa ini? Apa ini semua? Aku meminjat pelipisku teringat akan sesuatu. Ohh iya benar! Aku menghela nafas berat, ribuan pertanyaan mulai menghujani isi kepalaku.
Benar! Memang benar jika aku hanya berhasil melanjutkan ceritaku sampai setelah Arvie mengajak Jia jalan dan hal itu baru saja terjadi, itu, setelah itu selama seminggu aku tidak bisa melanjutkan novelku lagi, karena permasalahanku dengan Radit, dan bersambung dengan diriku yang menyerah untuk menulis lagi mengikuti berakhirnya hubunganku dengan Radit.
"Bang Jio?" Bibirku bergetar menatap wajah Jio yang lebam di beberapa sisi, terduduk lemah di sofa ruang tengah.
"I-Ini ada apa?"
"Kenapa? Ini kenapa? Bang Jio kenapa?" Lirihku, aku sungguh tak tega melihat Jio lemah seperti ini.
"Non Jia masuk ke kamar aja ya."
"Bang Jio kenapa bi??" Air mataku menetes, aku takut, jujur sangat takut.
"Ini kenapa rumah berantakan? Kenapa kaya gini? Siapa yang bikin semuanya begini? Siapa yang mukul Bang Jio? Kenapa dia tega bikin Bang Jio babak belur?" Ucapku marah, aku mulai terisak.
"Gausah lebay. Gue ga kenapa-kenapa. Masuk kamar aja sana." Jio mencoba memerintahku, menenangkanku dengan kata-kata 'gue gapapa'.
Tapi, aku bukan orang yang percaya dengan kata 'gapapa' mengartikan keadaan baik-baik saja.
"Gapapa gimana? Lo? Muka lo biru-biru gitu lo bilang gapapa? Gue harus telpon mama... Gue harus bilang sama mama kalo lo ga baik-baik aja. Rumah kita, rumah kita berantakan, mama harus tau dan mama harus pulang." Aku merogoh ponselku. Mencari kontak bernama mama dengan tangan yang bergetar.
Jio bangkit merebut ponselku, "Pergi ke kamar sekarang! Gausah nambah masalah."
"Nambah masalah? Mama harus tau Bang!" Ucapku meninggikan suaraku.
"Gue bilang masuk kamar. Masuk kamar."
Aku terdiam setelah mendengar bentakan Jio.Aku menatap serius wajah Jio. Seolah aku membaca kemarahannya saat ini. Kemarahan pada siapa yang tidak ingin ia ungkapkan, dan juga tidak ingin ia percayai.
Seperti aku yang juga takut mendengar jawaban atas pertanyaan yang akan aku tanyakan padanya.
"Mama udah tau?" Tanyaku ragu. Jio kini juga terdiam, tidak mengiyakan atau membantah pertanyaanku.
Ya! Benar! Dugaanku benar! Aku mengepalkan tanganku namun semakinku tahan, emosiku semakin tidak terkendali.
"Mama udah tau?! Tapi mama diem aja?! Mama ga pulang?! Mama ga khawatir ngedenger lo kaya gini?! Apa cuma gue yang takut lo kenapa-kenapa?! Apa cuma gue yang ga terima kaya gini." Kesalku membentak Jio.
"Ini bukan pertama kalinya Jia. Lo gausah panik kaya ini baru pertama kalinya. Mending lo masuk kamar sekarang." Balas Jio dengan suara yang mulai melemah.
"Bukan pertama kali?!" Ulangku tak percaya.
"Udah berapa kali kita kaya gini?! Siapa yang buat kaya gini?! Siapa?! Bilang sama Jia! Bilang! Biar Jia masukin penjara semua yang bikin Bang Jio kaya gini. Gapapa mama ga peduli sama Bang Jio. Tapi Jia peduli!" Lanjutku marah membuat Jio terpancing emosi.
"Mama! Mama yang bikin kita kaya gini! Lo sanggup masukin mama ke penjara?! SANGGUP HAH?! Kalo lo engga sanggup gausah banyak omong lagi. Lo mending ke kamar sekarang! Rey, bawa Jia pergi." Bentak Jio membuatku terdiam seribu kata. Menatap Jio yang kembali menidurkan tubuhnya di atas sofa.
Aku merasa tubuhku ditarik seseorang untuk mengikutinya. Menjauh dari ruang tengah dan membawaku ke lantai dua.
"Mending lo istirahat. Jio biar gue yang urus."
Aku mengangguk pasrah, mendengakkan kepalaku, yang sudah terasa sangat berat karena terlalu banyak menangis dan bertengkar dengan Jio tadi.
"Reynan?!"
♥♥♥
Kenapa semuanya jadi rumit ya?
Yukk terus ikutin kisah Andira...
See u next part^^
Jangan lupa votmentnya yaww♥
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...