Aku berbalik cepat meninggalkan kedua manusia yang berusaha menghentikan ku dengan terus memanggil namaku. Tubuhku berhadapan dengan Reynan, yang terkejut mengenai keberadaanku.
Untuk apa aku disini? Bagaimana bisa? Tatapan itu sudah cukup mewakili seluruh pertanyaan yang ada di benaknya.
"Kok lama da--eh Jia lo kenapa?" Tanya Arvie bangkit dari duduknya menghampiriku dengan sigap. Aku menepisnya pelan. Mengambil tas ku dan berlalu pergi.
Aku tak menanggapi namaku yang disebut. Memberhentikan sebuah taksi dan pulang seorang diri itu pilihan terbaik.
Tidak dengan Reynan, tidak dengan Jio, apalagi dengan Arvie yang akan bertanya ini dan itu. Aku butuh waktu sendiri. Aku benar-benar membutuhkannya.
❣️❣️❣️
Aku menuruti langkah kakiku yang entah akan membawaku kemana. Dan sudah berapa lama aku membiarkannya melangkah sesuka hati. Air mataku sudah mengering meninggalkan sembab. Langkahku mulai gontai lemas.
"Gue Andira. Gue bukan Jia. Gue Andira. Gue bukan Jia. Gue Andira. Gue bukan Jia. " Hanya itu kata penghibur yang saat ini bisa menenangkan hatiku.
Aku bukan Jia yang membuat abang kesayanganku terbebani. Aku bukan Jia yang menjadi alasan keluarga itu terbebani. Ini lebih parah dari sakit hati diselingkuhi Radit. Aku benar ingin kembali menjadi Andira jika seperti ini.
Aku bodoh yang bahagia seorang diri. Aku yang bodoh terlena dengan kehidupan novel tak nyata ini. Terlalu banyak masalah disini. Aku tau hidup memang berat.
Dan aku juga tau semua punya porsinya masing-masing. Tapi kenapa aku seperti memiliki dua porsi yang sama besar? Andira. Jia. Dua kehidupan berbeda yang tak ada hentinya membuatku menyalahkan diriku sendiri.
"Gue ga tau kalo Jio ga bahagia disini. Bukan gue yang maksud bikin Jio ga bahagia. Ini semua karena gue. Ini semua salah gue."
Aku mendudukan tubuhnya di sebuah halte bus. Menundukan kepalaku, menangis dengan air mata yang tersisa dariku.
"Mau sampe kapan lo disitu?"
Aku mendengakan kepalaku mendapati sebuah mobil terhenti di hadapanku. Kaca mobil yang terbuka menampakan wajah Reynan didalam sana.
"Reynan?"
❣️❣️❣️
"Minum biar lo ga pusing." Reynan menyodorkanku segelas cokelat hangat yang ia beli di supermarket.
Kami berdua terduduk di kursi taman yang kami temukan saat perjalanan pulang. Ini sudah hampir tengah malam. Dinginnya angin mulai menusuk tulang-tulangku. Terlebih aku yang hanya memakai dress.
"Pake." Reynan menyerahkan jaket yang di pakainya kearahku.
"Pake gue bilang. Apa lo nunggu gue pakein biar romantis?" Aku segera meraih jaket itu membuat Reynan tersenyum.
"Lo emang ngehindar segala sesuatu yang berbau romantis antara gue sama lo ya? Setiap gue bilang biar romantis pasti lo langsung kerjain." Ucap Reynan protes.
"Padahal lo bisa diem aja biar gue pakein." Gumamnya.
Aku tersenyum tipis menatap langit. Ada beberapa bintang juga bulan sabit malam ini.
"Cantik." Suara Reynan membuatku menoleh ke arahnya.
"Bulannya." Lanjutnya membuat ku tersenyum tipis.
"Lo tau kenapa ada bulan sabit malem ini? " tanya Reynan. Mencoba bermain teka-teki?
Aku menjawab dengan suara serakku. "Engga. Emang kenapa?"
"Gue juga ga tau. Makanya nanya" lanjutnya. Dengan lelucon recehnya ia menjawab tapi ia juga yang tertawa.
"Lo mau denger ga? kenapa gue suka naik pohon?" Tanya Reynan tiba-tiba. Namun belum juga ku jawab pria itu sudah mulai bercerita.
"Dulu gue gendut. Engga bisa manjat pohon. Ketika yang lain naik pohon ceri bawa kantong plastik item kosong terus diatas pohon lincah banget metiknya. Turun kebawah bawa dua plastik isinya ceri semua. Dari mereka naik sampe mereka turun gue cuma nunggu dibawah, nungguin aja tuh sampe ada yang jatoh. Tapi karena ceri diatas pohon udah di ambilin semua otomatis ga akan ada yang jatoh jadi gue akhirnya berdoa mereka sakit perut makan ceri kebanyakan ga bagi gue." Ceritanya diakhiri dengan kekehan dari mulut Reynan.
"Kebesokannya gue diomelin sama emak mereka. Katanya gue ngajarin yang ga bener manjat-manjat pohon. Lo tau gimana perasaan gue saat itu? Gue gatau itu pujian atau hinaan. Kok gue ngerasa terhina gitu. Tapi kalo dipikir-pikir lagi. Gue aja ga bisa manjat pohon gimana gue bisa ngajarin mereka manjat pohon?"
Aku terkekeh mendengar ceritanya. Bener juga kan?
"Akhirnya mulai dari situ deh. Itu yang bikin gue termotivasi buat bisa manjat pohon."
"Kok malah bikin lo termotivasi?"
"Kan gue bilang. Ibu itu bikin gue merasa terhina. Ketika lo ngerasa dihina. Lo harus ngebuktiin hinaan itu bisa jadi hebat buat lo. Supaya ga ada yang bisa ngehina lo lagi. Ga perlu lo berkoar ngomong dimana-mana, nyari pembelaan kalo lo ga bisa manjat, jadi bukan lo yang ngajarin, orang ga bakal peduli lo bisa manjat apa engga. Jaman sekarang cuma ada dua jawaban, benar salah. Ketika lo dihina dengan sebuah alasan. Bukan alasan itu yang perlu dibela tapi hinaan itu yang memotivasi." Ungkap Reynan membuatku terus terdiam.
"Gue juga pernah denger kutipan. Kehidupan kita sempurna kalo kita bisa ngambil pembelajaran dari cerita kehidupan orang lain. Lo bisa ambil apa yang baik dari hidup gue." Lanjut Reynan yang ku balas dengan senyuman manis.
"Gue nyeritain semua itu buat lo Jia. Dari pada lo terus ngebela hal-hal ga perlu. Dari pada lo marah sama mama lo, marah sama diri lo, nyalahin diri lo, dari pada kaya gitu, kenapa lo ga ngeliat hal lain dari itu? Jio berusaha yang terbaik buat lo, gue yakin lo juga tau, kenapa lo ga jadi Jia yang jadi penyemangat Jio? Kenapa lo ga jadi sesuatu yang buat Jio bertahan? Gue rasa itu lebih baik, dari pada lo ngehilang kaya tadi, ngehindar hal yang harusnya ga lo hindarin, lo disini, duduk, nyalahin diri lo sendiri, berfikir kalo lo alasan dari semuanya. Basi. Gue aja ga pernah nyalahin gue yang gendut dulu. Yakan?"
Reynan menatapku lembut, mengeluarkan senyuman terbaiknya, menenangkanku. Perasaanku menghangat, aku benar-benar berterima kasih akan kehadiran malam ini makhluk astral menyebalkan.
Reynan tiba-tiba terkekeh. "Apa cuma gue yang lebih seneng lo sama gue berdebat dari pada serius kaya gini..."
Lagi-lagi aku hanya membalas dengan senyuman tipisku. Aku menjadi pendiam dalam sekejap malam ini tak apa kan? Memikirkan semuanya baik-baik dalam benakku.
"Lo tau? Gue pasti diomelin Jio karena ga cepet-cepet bawa lo pulang." Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah jam setengah satu malam.
"Gue marah sama lo gara-gara lo pulang jam sembilan malem tapi gue malah bawa lo sampe jam satu gini."
"Mau pulang?" Tanya Reynan. Namun seperti dirinya yang biasanya. Belum ku jawab namun sudah ia sanggah duluan.
"Harus mau. Kalo engga, lo mau sampe jam berapa coba disini? Masalah itu dihadapin bukan dihindarin." Lanjut Reynan.
"Duh malem ini gue terlalu banyak nge-quotes gara-gara lo. Beneran deh."
"Yuk gue anter lo pulang."
❣️❣️❣️
Jangan lupa vote dan comentnya yaa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUPA RASA
Teen FictionMemutuskan berpisah dengan Radit setelah dua tahun mengingatkanku fakta bahwa aku juga seorang perempuan, bohong jika aku mengatakan aku sendiri tidak terluka. Seolah semua ini akhirnya dirasakan oleh diriku sendiri tentang mereka yang mengakhiri...