Draco duduk dengan tegang. Walaupun sikapnya terkesan tenang, tapi semuanya tahu kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Jantungnya bergemuruh, tangannya mendingin, suaranya enggan untuk keluar.Narcissa meraih tangan anak-anaknya, "Mama nggak apa-apa. Kalian hanya perlu berdoa, agar operasi Mama berhasil." ucapnya seraya tersenyum.
Draco menatap wajah sang ibu dan mengangguk mantap, "Mama harus sembuh." katanya seraya menggenggam balik tangan Narcissa, lalu mengacak rambut Dion.
Anak itu hanya bisa diam. Sikapnya yang pecicilan hilang entah kemana. "Eh, kenapa muka kamu kaya gitu? Mama nggak akan kenapa-kenapa. Percaya aja sama dokternya." ucap Draco mencoba menenangkan adiknya.
Dion melirik malas, "Percaya sama Tuhan. Bukan sama dokter. Musrik."
Semuanya tersenyum. Mendengar sahutan Dion, membuat semuanya lega.
Para perawat mulai datang. Meminta izin untuk membawa Narcissa ke ruang operasi.
"Kalian ini kaya anak kecil aja." Narcissa tertawa melihat anak-anaknya yang enggan melepaskan tangannya. Seakan tak rela ibunya dibawa pergi oleh orang-orang berseragam itu.
"Draco, jaga Dion." ucap Narcissa lembut. Seketika genggaman tangan Draco melemah. Hatinya berdenyut ngilu. Entah kenapa, saat ibunya mengatakan itu, ada kesedihan mendalam yang tiba-tiba muncul. Rasa takut akan kehilangan seakan menjadi bayang-bayangnya.
Cukup ayahnya yang pergi. Jangan Tuhan mengambil ibunya juga. Draco belum siap.
Namun sebagai anak tertua, Draco harus selalu kuat. Ia mengangguk mantap, dan melepaskan tangan Dion yang sedari tadi terus menggenggam tangan ibunya agar para perawat dapat melaksanakan tugasnya.
Pintu ruang operasi kini tertutup. Lampu penanda operasi sedang berlangsung sudah menyala.
Hening.
Mereka duduk dalam diam.
Satu jam, dua jam, tiga jam. Hanya sepi yang ada. Namun saat jam menunjukkan pukul empat sore, para perawat mulai berlarian keluar. Mereka mengambil alat-alat atau apalah itu, dan wajah mereka menunjukkan raut cemas.
Saat Draco hendak menanyakan salah satu dari mereka, namun tidak ada yang menjawab. Entah apa yang terjadi pada ibu mereka.
Dion terlihat gemetar. Kepalanya tertunduk. Ingatan bagaimana dulu sakitnya ketika ayahnya pergi, mulai memenuhi isi kepalanya. Perlahan air matanya menetes. Ia menyekanya kasar, agar tak ada yang melihat.
Namun Draco sudah melihat itu. Ia tahu sesakit apa Dion. Mungkin anak itu terlihat seperti anak biasa. Anak pecicilan dengan tingkahnya yang menyebalkan. Tapi Draco tahu, Dion yang sebenarnya adalah anak yang rapuh. Dia menyimpan sakitnya sendirian.
Hermione yang ada di sana, juga bisa merasakan rasa sakitnya. Bagaimanapun, dia sudah menganggap Narcissa sebagai ibunya sendiri. Dan dia juga tahu bagaimana rasanya ketika kehilangan orang yang paling dia sayangi.
"Kak, kalo.. Kalo Mama pergi g-gimana?" ucap Dion terbata. Draco terkejut mendengarnya.
Ia menghadap Dion sepenuhnya. Memandang adik satu-satunya itu dengan tajam. "Jangan ngomong sembarangan. Kamu tahu nggak? Omongan itu bisa jadi doa!"
Dion semakin menundukkan kepalanya. Ia memilin jari-jari tangannya yang berkeringat dingin. Jantungnya tak bisa tenang. Berdebar membuatnya sesak napas.
"Ka-kalau Mama pergi juga kaya ayah, Dion mending mati aja."
"Dion!!" Draco berdiri. Hermione pun juga sama. Ia memegangi bahu Draco agar lebih tenang.
Atensi Draco yang tadi menajam, kini mulai melembut. Ia memandangi Dion dengan pedih. Ia tidak ingin Dion merasakan perasaan ini lagi. Perasaan takut yang teramat sangat. Perasaan yang membuatnya dulu harus berurusan dengan psikiater.
Tak banyak yang tahu, jika anak seceria Dion pernah berurusan dengan psikiater. Itu dikarenakan kesedihan mendalam sebab kehilangan sang ayah. Kehilangan yang amat tragis dan menyayat hati.
Dion mulai menangis di bahu Bi Inah. Asisten rumah tangga sekaligus pengasuh Dion sejak bayi. Tubuhnya gemetar hebat. Apalagi ketika banyak perawat yang keluar masuk ruang operasi dengan tegangnya.
Draco menghela napas. Pelupuk matanya mulai mengabur.
"Suster, sebenarnya ada apa?" Draco menahan seorang perawat yang hendak masuk.
"Pasien mengalami pendarahan. Permisi." jawabnya dengan cepat lalu masuk kembali sambil membawa berkantong-kantong darah.
Hermione terhenyak. Ia langsung menahan tubuh Draco yang tiba-tiba melemas.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Draco menggeleng. Ia meraup rambutnya sekilas, lalu melepas tangan Hermione dari bahunya.
"Aku mau keluar sebentar. Kamu di sini aja, ya."
Draco hendak pergi, sebelum tangan Hermione menghentikannya. "Kamu nggak apa-apa?"
Draco tersenyum tipis, lalu mengangguk. Dengan perlahan Ia melepas tangan Hermione, lalu pergi dari sana.
Hermione kini hanya bisa melihat bayangannya yang semakin menjauh.
...
Hermione melihat arlojinya lagi. Sudah lima jam operasi berlangsung. Berarti sudah hampir dua jam Draco pergi. Kemana sebenarnya dia? Kenapa tak kembali?
Sudah berkali-kali Hermione telfon, tapi tidak juga diangkat. Membuatnya semakin khawatir. Apa yang dia lakukan salah? Apa seharusnya dia menemani Draco? Tapi Draco sendiri yang menyuruhnya tetap di sini.
"Mbak, sebaiknya mbak cari saja Mas Draconya. Daripada mbak Hermione terus khawatir 'kan?" kata Bi Inah.
Hermione pun mengangguk, "Yaudah, aku pergi dulu ya, Bi. Tolong jaga Dion. Dan hubungi aku kalau ada apa-apa."
"Baik, Mbak."
Hermione pun beranjak. Ia mulai mencari Draco ke lobby rumah sakit. Tapi tak juga ketemu. Ke kantin juga sama tidak ada.
"Kamu kemana Draco? Jangan buat saya cemas begini.." gumamnya sambil terus melihat kesana kemari.
Rintik hujan mulai datang. Hermione berlari menuju parkiran sambil menutupi kepalanya. Namun disana pun Draco tak ada.
Hermione pun menutup mata. Ia membiarkan hatinya membawa dirinya menuju Draco berada. Dan benar, Ia menemukan laki-laki itu.
Duduk diam sambil memeluk seorang perempuan.
Hermione terdiam. Entah mengapa dunia terasa lebih gelap. Padahal hujan mulai reda.
"Saya mau kamu yakin, kalau kita akan menjadi keluarga yang bahagia. Saya nggak akan membuat kamu kecewa."
Hermione tersenyum miris.
Dengan mantap, kakinya melangkah mendekat. Ia menatap perempuan itu dan Draco yang masih memeluknya erat.
"Maaf, bisa kembalikan suami saya?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Rindu (DRAMIONE)
Fanfiction[COMPLETED] Aku memang tidak mengenalmu dengan baik. Tapi yang aku tahu, ternyata mencintaimu bisa sangat menyakitkan - HJG