(17) Rasa yang belum selesai

1K 161 24
                                    


Draco melihat sejenak arlojinya. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Semua karyawan sudah pergi makan siang. Tadi ada beberapa staf yang mengajaknya makan bersama, namun Draco menolak. Seperti biasa. Dia lebih memilih makan siang sendiri.

Setelah mengecek kembali berkas-berkas yang berhubungan dengan proyeknya minggu depan, Draco mulai melangkah menuju kantin. Cacing di perutnya sudah mengadakan konser tunggal.

Draco mengarahkan kakinya menuju lift, sebelum tiba-tiba langkahnya terhenti oleh panggilan seseorang. Dahinya mengernyit ketika melihat orang tersebut. Tangannya tak jadi menekan tombol lift.

"Makan bareng, yuk?"

Alis naik sebelah, lalu tawa kecil terbit di bibir tipis Draco. "Kamu yang traktir?"

Pansy cemberut, "Padahal yang lebih kaya itu kamu, lho."

"Kaya aku nggak tahu aja. Kamu kesini pasti karena kamu baru aja menangin proyek kamu 'kan? Pasti uangnya banyak."

"Dasar matre." cibir Pansy. Draco tertawa makin keras. Ia melingkarkan sebelah tangannya di bahu Pansy dan menyeret perempuan itu masuk ke dalam lift.

Di dalam lift, "Kamu jangan kaya gitu, dong. Nanti aku disangka pelakor sama karyawan di sini."

"Mereka udah kenal kamu."

"Tetep aja, lah."

Draco hanya mencebikkan bibir dan mengangkat bahu tak mau tahu. Sesampainya di kantin, mereka duduk dan memesan makanan. Obrolan mulai muncul ketika makanan sudah terhidang.

"Sampai kapan kamu jadiin aku orang pertama buat tahu kabar bahagia di hidup kamu?" tanya Draco sembari menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. "Cari pacar, sana. Bosen lama-lama jadi prioritas kamu."

Pansy tertawa. Ia menyentil pelan dahi Draco, "Pede banget, sih!"

Draco tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Aku cuma mau ada seseorang yang menjaga kamu, Pans. Karena nggak mungkin aku selamanya selalu ada di sisi kamu." katanya dengan tenang.

Butuh sepersekian detik bagi Pansy untuk menelan makanannya. Entah kenapa rasanya seperti tersangkut di tenggorokan. Setelah meminum seteguk air, Pansy tersenyum. Ternyata rasanya masih sama.

Sakit.

"Iya, bawel. Iya, deh yang udah punya bini." candanya.

"Pans, temen aku ada yang masih sendiri. Dia baik dan kayanya hobinya sam-"

"Draco, please."

Draco terdiam.

Pansy menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Berusaha memaksakan senyumnya. "Aku tahu kamu nggak pernah bisa mencintai aku. Tapi tolong, jangan paksa aku buat mencintai orang lain selain kamu. Aku butuh waktu. Rasaku itu urusan aku."

Draco menghela napasnya, "Tapi ini udah sepuluh tahun, Pans."

"Aku tahu. Mungkin aku butuh sepuluh tahun lagi buat benar-benar ngelupain kamu."

"Kalau gitu kamu bakal jadi perawan tua."

"Bodo." ejeknya, "Kan udah aku bilang, ini urusan aku. Kamu nggak perlu pusing-pusing mikirin aku."

Draco akhirnya mengalah, "Yaudah, terserah kamu."

Pansy menatap Draco dengan lembut, "Harusnya aku juga nanya begitu sama kamu, Draco. Ini bahkan lebih dari sepuluh tahun. Apa rasa itu masih ada?"

Draco menghentikan pergerakan tangannya yang tadi mengaduk-aduk makanannya. Ia menatap piringnya lurus-lurus.

"Aku sayang kamu. Aku mau kamu bahagia. Semenjak kejadian itu, kamu berubah. Kamu jadi pribadi tertutup. Dan demi apapun, sampai sekarang aku masih nggak bisa maafin diri aku sendiri."

Pelangi Rindu (DRAMIONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang