(18) Rasa bersalah

1.2K 171 20
                                    


Perempuan dengan rambut hitam sebahu itu meletakkan sepatu heels nya dengan sembarang. Ia menyebrangi meja dan melemparkan dirinya begitu saja ke atas sofa panjang miliknya.

Menutup mata. Merasakan bagaimana rasa sakit mulai menyebar ke seluruh sendinya. Memaksanya untuk tak berdaya. Ia menghela napas berkali-kali. Rasanya begitu melelahkan. Seakan rasa bersalah itu terus mengejarnya.

Pansy terduduk. Ia menopangkan dahinya pada kedua tangan. Rambut menutupi sebagian wajahnya. Ia tak sanggup menahannya lagi. Air mata mengalir begitu saja.

"Aku minta maaf." katanya lirih. "Aku terlambat. Andai aku datang lebih cepat."

Pikirannya melaju lagi kebeberapa bulan sebelumnya. Saat kakinya baru saja menginjak lantai bandara. Senyumnya terkembang ketika melihat sesosok laki-laki yang sangat Ia rindukan. Tanpa menunggu lagi, Ia langsung memeluk laki-laki itu.

"Aku merindukanmu, Draco."

"Aku juga."

Pansy melepaskan pelukannya. Kini koper miliknya sudah diambil alih oleh Draco. Mereka berjalan bersama menuju tempat parkir.

"Kamu kenapa? Kelihatan bahagia." tanya Pansy ketika melihat gurat senyum yang berbeda dari Draco. Biasanya, senyum laki-laki itu tidak pernah setulus ini. Selalu saja ada luka dibaliknya.

"Mama akhirnya mau dioperasi."

Mata Pansy melebar. Senyumnya hampir terkembang, namun tak jadi karena dia teringat sesuatu.

"Ma-maksud kamu? Bukannya Mama bakal mau dioperasi kalau-"

Omongan Pansy terpotong oleh ucapan Draco yang seakan langsung menancap di hatinya.

"Aku belum menikah? Ya, aku sudah menikah sekarang."

Waktu seakan terhenti. Begitupun langkah kaki Pansy. Pandangannya kosong. Ia membiarkan Draco berjalan di depannya lebih dulu. Tak peduli dengan beberapa orang yang tak sengaja menabrak bahunya karena berhenti mendadak.

Draco yang menyadari jika Pansy tak ada disampingnya, pun menoleh. Ia menghampiri Pansy yang membatu di belakang.

"Kenapa?"

Pansy mengepalkan tangannya. "Harusnya aku yang tanya kenapa?" katanya lalu menggigit bibirnya dengan kuat. Matanya memerah.

Melihat bagaimana keadaan Pansy, Draco langsung meletakkan koper yang dibawanya. Mencoba meraih tangan perempuan di depannya, namun langsung ditepis sang pemiliknya.

"Kenapa?" cicit Pansy yang berusaha menahan air matanya mati-matian. Hatinya sungguh sakit. Jujur, dia belum siap menerima kenyataan kalau orang yang dicintainya selama sepuluh tahun lebih ini sudah menikah. Namun, ada rasa sakit yang lebih besar dari itu.

Rasa bersalah.

"Pans.." pandangan Draco melembut. "Lebih baik kita bicarakan ini di mobil. Kamu nggak malu diliatin banyak orang?"

Pansy mengangguk saja. Ia juga tak sudi jika dijadikan tayangan drama live oleh orang-orang dibandara ini.

Setelah sampai parkiran, Pansy langsung masuk kedalam mobil Draco. Diperjalanan, selama beberapa menit mereka hanya diam. Pansy tak tahu harus berkata apa. Suaranya seakan menyangkut ditenggorokan. Yang bisa Ia lakukan hanya meremas ujung bajunya dengan kuat sampai tangannya perih.

Namun tak disangka, Draco memberhentikan mobilnya. Ia memiringkan tubuhnya, lalu langsung memeluk Pansy dengan erat. Kini perempuan itu tak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis sejadinya di bahu Draco. Mencengkram kemeja Draco dengan kuat.

Dadanya sungguh sesak. Seakan tak bisa bernapas.

"Maaf, Pans.. Lagi-lagi aku nyakitin hati kamu."

Pansy menggeleng dalam pelukan Draco. "Kamu nggak salah."

Draco mengelus puncak kepala Pansy dengan lembut. Menyalurkan rasa nyaman pada hati remuk perempuan itu.

"Sejak kapan kamu menikah?" tanyanya ketika pelukannya sudah terlepas, dan Draco kembali menjalankan mobilnya.

"Seminggu yang lalu."

"Kenapa nggak ngabarin?"

Draco tertawa miris, "Gimana bisa ngabarin, kalau aku aja masih nggak percaya sama situasi sekarang."

Dahi Pansy berkerut, bingung. "Maksudnya?"

Lalu mengalirlah cerita bagaimana Draco bisa menikahi Hermione.

Setelah mendengar itu, bahu Pansy seakan merosot kebawah. Kenapa takdir seakan mempermainkannya? Kenapa dia tidak kembali seminggu lebih cepat? Kenapa?

"A-apa kamu mencintai istrimu?"

Draco menghela napas sejenak. "Belum. Tapi aku akan mencintai dia. Aku berjanji." katanya diakhiri senyuman.

Pansy menatap Draco dengan lirih. Kenapa Draco bisa mengatakan akan mencintai seseorang yang bahkan baru dia kenal, sedangkan tidak bisa mencintai dirinya yang sudah bersama laki-laki itu selama 13 tahun lamanya?

Kenapa dunia sangat tidak adil?

Tidak, tidak. Ini memang kesalahannya. Dia pantas mendapatkannya. Kini, bukan perasaannya yang penting. Ada hal yang jauh lebih penting dari perasaan sialnya itu.

Namun saat melihat senyum tulus Draco yang sudah kembali sejak kejadian itu, Pansy mengurungkan niatnya untuk mengatakan suatu hal pada Draco.

Hal yang membuatnya kembali.

...

Pelangi Rindu (DRAMIONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang