Meeting baru selesai pukul 22.15 WIB. Semua anggota rombongan memilih melanjutkan aktivitas masing-masing untuk mengurai penat setelah meeting berjam-jam. Namun, sepertinya Yudha harus menarik ucapannya yang mengatakan, bahwa mereka akan melakukan meeting sekaligus refreshing. Karena nyatanya, Yudha hanya mengajak anggota divisinya untuk meeting yang tak kunjung usai.
"Ini, gini doang nih di puncak?" Leon menyuarakan kebosanannya.
"Maksud lo?" tanya Velina tak mengerti.
"Nggak ada clubbing gitu, ya?"
Velina dan Leon sedang asyik mengobrol di teras depan kolam renang vila sambil menikmati camilan di meja.
"Acara kantor, woy! Kok clubbing! Buang deh, kebiasaan buruk itu, biar anak lo perilakunya berfaedah!" sahut Arinda dari arah pintu. "Biar nggak kayak lo!" sambungnya menurunkan pantatnya di kursi sebelah Velina.
"Nah, bener tuh!" Velina menyetujui petuah Arinda.
Velina masih khusyuk mencomot seblak basah di hadapannya saat Arinda merebahkan kepala di pundaknya.
"Ada apaan, sih? Kayak baper banget lo," tanya Velina melihat raut Arinda yang sendu.
Arinda menggeleng. "Nggak ada."
"Keingat mantan?"
Mata Arinda mendapati Abiyan yang menyembul dari balik pintu.
"Gue cabs dulu, guys!" Leon pamit bersama Abiyan. Katanya mencari angin segar di Bandung.
"Hush, sono!" Velina mengusir. "Mantan itu nggak perlu diingat kali, Beb," ucapnya kepada Arinda.
"Yakin, lo nggak ikut? Clubbing nih kita." Leon mengambil ponselnya dari meja.
"Berisik lo!" sahut Velina.
"Okelah kalau gitu." Leon menyeringai kuda dan berlalu pergi.
Arinda terpejam sambil menarik napas dalam. "Pinjem pundak lo boleh, ya," pintanya menggamit lengan Velina.
"Puasin, deh. Besok udah punya Gavin soalnya."
Arinda tersenyum simpul.
Setelah beberapa detik terpejam dan kembali membuka mata, Arinda melihat Yudha sedang sibuk membuat secangkir kopi di living room. Dia kemudian meletakkan tangannya di dada, mencoba mencari arti detak jantungnya yang berdetak di luar aturan detak, seperti saat ini.
Kenapa jantung Arinda harus berdetak aneh seperti itu?
"Ve," panggil Arinda.
"Hm?"
"Yang bikin lo yakin sama Gavin apa?"
Mata Velina membulat. Lalu menarik diri dari Arinda yang memeluk lengannya. "Wait," ucapnya menatap Arinda sambil tersenyum aneh. "Lo habis ditembak?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Enggak."
"Bokis lo!"
"Sumpah." Arinda membentuk tanda V di jarinya
Velina masih terlihat tak percaya. "Lo lagi pertimbangkan seseorang?"
"Jawab kali," suruh Arinda.
"Look at his eyes. Mata nggak pernah bisa bohong, Ar."
Arinda mencoba menatap mata Yudha dengan mata teduhnya. Lalu sampai beberapa detik, dia mengalihkan pandangan matanya pada langit malam yang terang.
Ya, Arinda tidak bisa memenukan ketulusan atau keseriusan Yudha dengan hanya menatapnya sepihak seperti itu.
❤️❤️❤️
Arinda tidak bisa tidur akibat kegalauan hatinya. Tengah malam dia menyelinap keluar kamar, saat Velina dan Larissa sudah tertidur. Dia memilih menuju rooftop untuk menghirup udara dan melihat kerlip lampu kota Kembang yang memanjakan mata. Namun, dia harus mengusap lengannya berulang kali, saat angin berembus kencang. Lalu ....
"Lagi galau mikirin saya, ya?" Yudha menutup tubuh Arinda dengan coat miliknya.
"Bapak buntutin saya?" Arinda tercengang dengan kedatangan Yudha.
Ya, seketika otak Arinda berpikir keras, bagaimana Yudha bisa menemukannya di atap.
"Saya khawatir sama kamu. Takut kamu ngelindur, makanya saya ikutin," jawab Yudha memilih melihat lampu kota yang berkelip-kelip.
Arinda melongo terkejut.
Ya, hebat sekali Yudha, selalu berhasil membuat Arinda speechless dengan perkataan dan tingkah absurdnya.
"Kamu masih nggak mau jadi pacar saya?" tanya Yudha yang kini memilih menatap Arinda.
Arinda memutar bola mata malas. Ini orang serius, apa becandaain gue mulu, sih?
"Saya duluan ya, Pak." Arinda memilih tidak menjawab dengan menyudahi situasi aneh itu. Lalu berniat mengembalikan coat milik Yudha.
"Kok nggak dijawab? Kenapa malah selalu kabur?" Yudha mencekal tangan Arinda.
Arinda bingung harus menjawab apa.
Haruskah Arinda jujur saja, jika tidak percaya dengan ajakan Yudha untuk menjalin hubungan? Karena apa yang dilakukan Yudha terlalu aneh, tidak masuk akal dan malah terkesan hanya menggoda saja.
"Tell me what you feel." Yudha berharap Arinda mau menjawab pertanyaannya. "Apa saya perlu bilang, I love you dulu?" tanyanya mendekati Arinda. Bahkan nyaris menarik Arinda dalam pelukannya.
"Pak Yudha, nanti ada yang lihat." Arinda seketika gugup. Bahkan jantungnya berdetak tak keruan sekarang. Lututnya pun gemetar dan merasakan geli di sekitar telinga dan perutnya saat Yudha merapatkan tangan di pinggangnya.
Yudha tertawa renyah. "Kamu nggak periksa kalau di sini nggak ada CCTV?" Arinda mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan pipinya yang bersemu merah karena terlalu nervous sedekat itu dengan Yudha.
"Pak, saya mau turun ini."
"Lihat saya dulu, baru saya bolehin kamu turun." Yudha masih melancarkan aksinya.
Ya, Yudha tahu, jika Arinda sedang nervous sekarang. Meski sebenarnya dia pun nervous, tetapi berusaha mati-matian agar tidak ketahuan.
Arinda menggeleng lemah. Ya Tuhan, kenapa laki-laki ini harus membuatku terlihat lemah seperti ini?
"I love you," ucap Yudha akhirnya. "Arinda ... would you be my girl?" pintanya menyentuh pipi Arinda dan mencoba menarik wajahnya untuk melihat matanya.
Namun, ya ... sepertinya Arinda sangat gugup, sampai tidak berani menatap Yudha sedikit pun.
"Kamu jangan takut. Saya nggak akan gigit, kok." Tangan Yudha beralih mengusap kepala Arinda.
Arinda mengigit bibir bawahnya. Tenggorokannya benar-benar kelu sekarang, sampai tak bisa berkata apa pun.
"Kamu nggak harus jawab sekarang. Saya akan selalu tunggu jawaban kamu." Yudha kembali memakaikan coat pada tubuh Arinda. "Ayo, turun! Kamu nggak takut di sini sendirian?" ajaknya.
Arinda mencoba berjalan mendahului Yudha seperti biasa, meski gemetar dia rasakan di lutut. Lalu sampai di tangga, ia melepas coat dan meninggalkannya di handrail tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PRECIOUS EMPLOYEE [COMPLETED] ✔️
RomanceArinda sering mendengar 'Perbedaan antara cinta dan benci itu tipis sekali, setipis sehelai rambut yang di bagi menjadi sepuluh'. Sungguh sangat tipis sekali kan??! "Kamu marah sama Saya gara-gara tadi Frappuccinonya Saya ambil?" "Bapak nggak pentin...