"Keluarga adalah segalanya. Aku harus kuat demi keluargaku."
Kania Atmaja
Kania's POV
Aku mematut diriku di cermin. Dress putih berlengan pendek dengan lace di ujung dress yang merupakan dress favoritku tidak mampu membuat moodku membaik.
Malam ini saatnya keluarga kami bertemu dengan dia, pria cinta pertamaku. Keluargaku akan membicarakan tanggal pertunangan Rania dengannya.
Rania, dia segalanya bagiku. Satu satunya saudara yang kumiliki. Mama tidak bisa mengandung lagi karena rahimnya sudah diangkat karena komplikasi.
Aku akan melakukan apa saja semampuku untuk membantunya. Aku selalu membantunya membereskan masalah yang ia perbuat, contohnya ketika umur kami tujuh tahun, Rania tidak sengaja menyenggol vas kesayangan mama. Aku melindunginya dengan mengatakan kucing kesayangan kamilah yang menyenggol vas itu. Pernah juga Rania kelupaan pr matematikanya dan akulah yang mengerjakannya sebelum bel sekolah berbunyi.
Aku tahu Rania iri padaku yang selalu disanjung karena nilai akademikku yang melebihi dirinya. Itu sebabnya aku memilih jurusan kedokteran dan menjauhi bisnis keluarga kami agar Rania bisa berkembang dan menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tua kami.
"Kania, ayo cepat! Nanti kita terlambat." seru mama dari balik pintu kamar.
Aku tersenyum tipis pada cermin di depanku dan berdoa entah untuk yang keberapa kalinya.
Ya tuhan, beri aku kekuatan untuk melupakannya.
Aku mengambil clutchku dan menyampirkannya di bahu setelah menutup pintu kamar. Sayup sayup kudengar suara Rania dan kedua orang tuaku. Mereka terdengar bahagia. Kumeyakinkan diriku sekali lagi bahwa mengorbankan perasaanku demi kebahagiaan mereka adalah tindakan yang tepat.
Sepanjang perjalanan kuhabiskan dengan mengenang semua kenangan saat bersamanya.
Setengah jam kemudian kami sampai di tempat tujuan, restoran mewah di pusat kota. Seorang resepsionis menyambut dan mengantarkan kami ke meja yang telah diservasi olehnya.
Aku merasa nafasku tertahan di dada ketika melihatnya yang terbalut jas hitam. Rambutnya ditata dengan rapih, tidak lagi spike seperti biasa. Oh tuhan, betapa tampannya dia malam ini.
Mata kami bersibobrok ketika papa mengenalkan kami. Mata itu entah kenapa terlihat dingin, berbeda sekali dengan mata yang bersamaku di apartemen waktu itu. Apa mungkin ia tegang malam ini?
Kami duduk mengelilingi meja persegi di dekat sisi jendela restoran. Hanya ada kami berlima. Ia datang sendirian karena ia yatim piatu dan tidak memiliki sanak saudara lagi. Ia duduk di samping Rania dan aku duduk di sebrang Rania.
Ia memesankan makanan untuk kami dan tidak lama kemudian pelayan mengantarkannya ke meja kami.
Aku membuang muka ketika beberapa kali ia memergokiku yang diam diam melirik ke arahnya ketika ia menyantap makanan di depannya. Semoga ia tidak menaruh curiga terhadapku.
"Jadi tanggal berapa acara pertunangannya?" tanya papa.
"Seperti yang sudah saya katakan minggu lalu, akhir bulan ini saja."
"Bukankah terlalu cepat. Itu berarti dua minggu lagi. Banyak yang harus disiapkan. Tante takut ga keburu."
"Tante gak perlu khawatir. Saya sudah menyiapkan semuanya."
"Aku udah gak sabar menanti acara pertunangan kita." seru Rania.
Sontak semua tertawa mendengar komentar Rania terkecuali aku. Aku sudah tidak bisa menahan air mata ini. Aku tiba tiba bangun dan menggeser kursiku ke belakang.
"Aku ingin ke toilet sebentar." ucapku sebelum meninggalkan mereka.
Tidak sopan memang pergi di saat pembicaraan sedang berlangsung. Tapi hal ini terpaksa kulakukan, jika tidak air mata sialan ini pasti akan terlihat oleh mereka.
Aku menumpahkan air mata yang kutahan sejak tadi dan mengabaikan tatapan heran beberapa wanita yang berpapasan denganku di toilet.
Sepuluh menit kuhabiskan untuk menangisi dirinya yang tidak dapat kumiliki. Baru acara pertemuan keluarga saja aku tidak tahan untuk menangis apalagi di acara pernikahan mereka nanti. Kurasa aku akan melewatinya dengan dalih seminar di luar kota.
Aku membasuh wajahku sekali lagi. Untungnya aku memakai make up waterproof sehingga tampilan wajahku tidak berubah. Sebelum keluar dari toilet, aku menarik nafas dalam dan mengucapkan kalimat penyemangat yang selalu berhasil membantuku.
Aku harus kuat demi keluargaku.
Itulah kalimat yang kuucapkan jika aku sedang sedih. Aku tersenyum sekali lagi di depan cermin. Mataku sedikit bengkak karena efek menangis.
Aku keluar dari toilet dan tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria. Karena tidak dapat menjaga keseimbangan, tubuhku terdorong ke belakang tapi sebelum mencapai lantai, sebuah lengan kekar melingkari pinggangku dan menarikku hingga menabrak sebuah dada. Dada siapa?
Aku mendongak dan seketika jantungku berhenti berdetak. Dia yang kucintai muncul di hadapanku.
"Kau tidak apa apa?"
Aku belum bisa merespon pertanyaannya karena terbuai dengan sentuhan tanganku di dada bidangnya itu. Dada kami dipisahkan oleh kedua tanganku yang menempel di dadanya. Oh betapa aku merindukan pelukannya.
"Aku gak apa apa. Terima kasih." jawabku setelah ia bertanya untuk kedua kalinya.
Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa mencium parfum miliknya, mint bercampur pinus. Wangi favoritku.
"Kau habis menangis?"
"Tidak." Ia menatapku dengan tatapan 'aku tidak mempercayaimu'.
"Aku sedih karena seorang pasien yang kukenal baru saja meninggal." jawabku berbohong.
Aku mendorong dadanya untuk bergeser tapi tangannya masih menempel di pinggangku. Tangan kanannya yang bebas bahkan mengelus pipi kananku.
"Aku selalu takjub dengan kembar identik seperti kalian. Apa yang membuat kalian berbeda?" tanyanya sambil menatapku intens sampai rasanya aku tenggelam dalam netra matanya yang segelap langit di malam hari.
"Sifat kami yang berbeda." jawabku setelah menelan ludah.
"Lalu sifat siapakah yang lebih baik?" Tatapannya lembut namun sarat akan intimidasi.
"Tergantung cara kau menyikapi sikap kami. Pendapat tiap orang berbeda." jawabku diplomatis.
Ia mengangguk dan memujiku. "Jawaban yang pintar."
Kedua tangannya menjauhiku dan ia mundur selangkah dan anehnya aku merasa kehilangan.
"Nia, kau lama sekali." ucap Rania yang tiba tiba muncul di belakangku.
Apa ia melihat kejadian tadi?
"Maaf." ucapku sambil tersenyum tipis.
"Sayang, kamu udah ke toiletnya?" tanya Rania sambil memeluk lengan kanan Rendi seolah ia menunjukkan kepemilikannya.
Rendi menjawab sudah. Rania mengajak kami kembali ke meja. Namun pada saat ia berpapasan denganku, aku sempat mendengarnya berbisik, "I'll see you soon Nia."
KAMU SEDANG MEMBACA
KANIA'S LOVER (Complete)
Romance"Kenapa kau memaksaku?" tanya Kania gugup. "Sejak dulu aku mencintaimu. Apakah ada alasan lagi selain itu?" tanya Rendi balik. Detik berikutnya Rendi mencium bibir Kania dengan lembut. Ia melumatnya. Kania hanya diam karena terlalu terkejut. Ini a...