27

11.6K 419 29
                                        

Aku mengelus punggung tangan Rendi yang tampak tegang karena keberadaan wanita paruh baya yang saat ini duduk di sofa ruang tamu kami. Wanita yang dulu terlihat sombong, angkuh dan terawat kini terlihat rapuh, lemah dan sayu di mataku.

Rendi awalnya ingin mengusirnya dari rumah tapi aku melarangnya, setidaknya aku ingin tahu maksud kedatangannya.

"Kau pasti tahu nasib perusahaanku sekarang kan?" tanya nenek Rendi.

"Aku tahu tapi aku tidak perduli."

"Dian melakukan banyak kesalahan dalam mengambil keputusan. Pacarnya tiba tiba meninggalkannya setelah diam diam berhasil menjual beberapa asetku. Ia bertambah stres karena berpikir aku menyudutkannya dan membandingkan kalian berdua. Kami sering bertengkar dan ia menyalahkanmu. Puncaknya adalah kenekatannya untuk membakar rumahmu dan gantung diri beberapa hari kemudian. Anakku, Susan, tidak berguna sama sekali. Ia dan suaminya hanya menghamburkan uang perusahaanku."

"Lalu apa hubungannya semua ini denganku?"

"Bantulah aku, selamatkan aset perusahaan yang tersisa. Aku tidak mau perusahaan warisan orang tuaku hilang begitu saja karena keputusan bodohku menunjuk Dian sebagai penerusku."

"Mungkin ini sudah saatnya anda belajar bahwa kekayaan tidak dapat membuat anda memiliki segalanya. Roda terus berputar nyonya, sudah saatnya anda berada di bawah. Saya rasa anda sudah selesai bicara jadi silahkan keluar dari rumah saya."

Rendi bangkit dari sofa dan membalikkan tubuhnya meninggalkan kami.

"Tolonglah Rendi, kau cucu nenek satu satunya. Bantulah aku. Aku sudah kehilangan banyak. Aku bahkan sudah kehilangan mansionku. Bantulah nenek, nak."

"Anda memanggilku cucu? Setauku dari lahir, anda tidak sudi menganggapku cucu." ucap Rendi tanpa memalingkan wajahnya.

Setelah itu Rendi kembali berjalan dan naik ke lantai dua, menuju kamar kami.

Nenek Rendi terduduk di sofa dengan wajah yang basah oleh air mata.

"Ia benar, ini karma untukku yang sudah menyia nyiakan keluarganya."

Aku menggenggam tangan keriputnya. Ia mendongak menatapku.

"Berikan ia waktu, ia masih belum memaafkan anda dan melepas kebenciannya."

Nenek Rendi mengangguk kemudian meminta maaf padaku atas semua sikap buruknya. Setelah itu ia pamit pulang.

Dulu Rania pernah memberitahuku ketika aku memintanya mengawasi perusahaan yang dibangun Rendi.

"Rendi pria yang hebat, ia bisa membaca langkah kompetitor dan mengambil proyek besar dengan langkah yang cepat dan efisien. Aku salut pada kejeniusannya padahal ia melakukannya ketika sedang stres ditinggalkan olehmu. Tanpa aku awasipun, perusahaan Rendi dapat berkembang sendiri Nia."

Kupikir Rania waktu itu bercanda tapi ternyata aku salah. Hanya kurang dari satu tahun, ia sudah mampu membeli rumah di daerah perkotaan dengan harga cash yang fantastis.

Pantas saja neneknya datang ke rumah kami dan meminta bantuannya.

Aku menyusul Rendi ke kamar. Ia tampak duduk menunduk dan menopangkan kedua sikunya pada kedua lututnya. Aku duduk di hadapannya dan menangkup kedua pipinya.

"Are you ok?" tanyaku.

"Dia sudah pergi?"

Aku mengangguk. "Apa yang kau rasakan saat ini?"

"Kesal, benci dan marah."

"Apa kau benar benar tidak ingin membantunya?" tanyaku hati hati.

"Tidak! Dan jangan pengaruhi aku untuk berubah pikiran!" ucapnya dengan nada dingin sebelum bangkit dari ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi.

KANIA'S LOVER (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang