Suara bel pintu yang terdengar samar samar membangunkanku dari mimpi indah. Aku coba mengerjabkan kelopak mata yang terasa berat. Pemandangan dada bidangnya yang pertama kali menyambut penglihatanku.
Aku sedikit bergeser ke atas untuk melihat keseluruhan wajahnya. Ia terlihat damai dan sangat tampan. Salah satu ciptaan tuhan yang sempurna yang takkan pernah bosan kukagumi.
Suara bel terdengar lagi. Aku mengelus pipi Rendi dan membangunkannya.
"Selamat pagi." ucapnya dengan suara serak.
"Pagi."
Ia melumat bibirku dengan gerakan lembut dan membangkitkan gairahku.
Suara dering hp miliknya yang ia letakkan di dekat kepala ranjang, mengganggu aktivitas kami. Aku melepas ciuman dan memintanya untuk mengangkatnya karena khawatir itu telepon yang penting.
"Kamu ada di depan pintu?" tanyanya sambil melirik ke arahku.
"Baiklah, akan kubukakan pintu."
Rendi memutus sambungan dan menatapku.
"Rania ada di depan pintu."
Aku segera duduk dengan mata yang membelalak. Rendi mendekatiku dan mencium keningku.
"Tunggulah di kamar, aku akan mengusirnya."
Ia bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar.
Rasa takut dan khawatir memenuhi pikiranku.
Bagaimana jika Rania memergoki kami? Tas dan sepatuku masih ada di luar.
Tapi jika ia tahu aku ada di sini, seharusnya terdengar suara keributan bukan?
Kenapa di luar sunyi sekali?
Apa yang terjadi di luar sana?
Akhirnya dengan keberanian yang kupunya, aku bangkit dari dudukku dan menghampiri pintu kamar. Perlahan aku menekan handle pintu dan mengintip keluar. Hening, itu berarti ada dua kemungkinan. Yang pertama mereka pergi dari sini ataw yang kedua, mereka sedang melakukan sesuatu di lantai satu.
Aku yang merasa penasaran, berjalan perlahan tanpa menimbulkan suara dan merapat pada dinding rumah. Langkahku terhenti di ujung dinding. Dari sini aku dapat mengintip ke arah bawah dan melihat keadaan.
Aku menyesal. Seharusnya aku tetap di dalam kamar saja dan tidak melihat pemandangan menyakitkan di lantai bawah. Rania sedang berciuman dengan Rendi di ruang tamu.
Aku hancur. Aku seolah ditampar dan sadar pada kenyataan yang ada. Sedekat apapun hubungan kami, tidak akan ada masa depan. Akulah yang salah. Seharusnya aku tidak berada diantara mereka.
Aku kembali masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai dan duduk di tepi ranjang.
Pipiku basah karena airmata yang turun tiada henti. Sepuluh menit aku dalam kondisi yang sama hingga akhirnya pintu kamar dibuka dan terdengar suara langkah kaki mendekatiku.
Ia berlutut di depanku dan menghapus jejak airmata dengan kedua tangannya.
"Dia sudah pergi. Kumohon jangan menangis." pintanya.
Aku menggeleng dan bangkit dari dudukku. Ketika aku hendak melangkah, ia menarik tanganku.
"Mau kemana?"
"Pulang."
"Tunggu sebentar, kucari dulu kunci mobilku."
"Tidak usah, aku pulang sendiri. Selamat tinggal untuk selamanya."
"Apa maksudmu?"
"Aku gak mau jadi penghalang pernikahan kalian."
"Nia..."

KAMU SEDANG MEMBACA
KANIA'S LOVER (Complete)
Romance"Kenapa kau memaksaku?" tanya Kania gugup. "Sejak dulu aku mencintaimu. Apakah ada alasan lagi selain itu?" tanya Rendi balik. Detik berikutnya Rendi mencium bibir Kania dengan lembut. Ia melumatnya. Kania hanya diam karena terlalu terkejut. Ini a...