18

5.4K 368 6
                                    

Dengan perlahan kumulai membuka kelopak mata. Warna cat abu abu di langit kamar menyambut penglihatanku. Warna yang sangat kukenal karena beberapa hari ini, kamar inilah yang kutempati di penthousenya. Hari sepertinya sudah malam karena dari sudut mataku, aku bisa melihat gelapnya langit di balik jendela.

Hangat. Aku menggerakkan kepala ke kanan mencari sumber kehangatan yang sejak tadi menyelimuti telapak tangan kananku.

Ia duduk di kursi di samping ranjang sambil merebahkan kepalanya dan mengenggam telapak kananku. Aku menggerakkan jemariku yang sepertinya menggelitik telapak tangannya. Perlahan ia bergerak dan terbangun. Ia tersenyum tipis.

"Apa kau baik baik saja?" Dari nada suaranya, ia terdengar khawatir.

Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan. Setelah itu aku mencoba untuk bangun dan duduk menyenderkan punggungku di kepala ranjang.

Ia menatapku datar dan aku yakin setelah ini ia akan mengeluarkan amarahnya. Dan benar dugaanku. Detik berikutnya, ia memarahiku yang tidak mendengarkan perintahnya dan tidak menghubunginya.

Untung saja John segera memberi kabar padanya jika tidak, mungkin ia akan menemukanku di kamar mayat di sebuah rumah sakit.

Sepintas bayangan kejadian mengerikan itu melintas di kepalaku. Aku tidak pernah menyangka Rania begitu membenciku sampai menuduhku telah mengambil perhatian kedua orang tua kami. Aku tidak pernah bermaksud seperti itu dan perlahan rasa bersalah menggerogotiku. Aku mulai menyalahkan dirinya dan janin di dalam perutku.

"Terakhir kalinya aku mengijinkan kau keluar, kau hampir mati. Tidak ada lagi keluar dari apartemen ini Nia. Kau hanya boleh keluar pada hari pernikahan kita saja." desisnya yang berhasil membuyarkan lamunanku.

Setelah itu, ia membalikkan tubuhnya dan keluar dengan membanting pintu.

**
Aku terduduk lemas bersandar pada toilet duduk di kamar mandi. Sudah sepuluh menit kuhabiskan waktu hanya untuk memuntahkan isi perutku.

Ini morning sickness, hal yang wajar terjadi pada wanita hamil di trisemester pertama.

"Sudah selesai?" tanya Rendi yang sejak tadi memijat tengkukku.

Aku mengangguk karena terlalu lemas untuk menjawab.

Aku tidak ingat apa yang terjadi semalam. Setelah ia keluar membanting pintu, aku merebahkan tubuh dan kembali tertidur. Di pagi hari, aku terbangun dengan posisi memeluk dirinya. Sepertinya sepanjang malam ia tidur di sebelahku.

Rendi menghampiri laci kecil dan mengambil sebuah kain waslap. Ia membasahinya dan mengelap wajahku secara perlahan.

"Kau sangat pucat." ujarnya sebelum menggendongku ke atas ranjang.

Aroma tubuhnya menusuk indra penciumanku. Bukan aroma yang memuakkan justru aroma yang menenangkan. Aku suka aroma tubuhnya.

"Aku akan panggilkan dokter." ujarnya.

Aku memegang tangannya yang hendak berbalik.

"Tidak usah, aku baik baik saja."

"Tapi...."

"Ini morning sickness, hal yang wajar untuk ibu hamil. Aku hanya butuh teh hangat saja."

"Baiklah."

Setelah itu Rendi berjalan menuju pintu dan keluar dari kamar.

Aku memundurkan tubuhku hingga bersandar pada kepala ranjang. Suara notifikasi dari hp yang kuletakkan di atas nakas, terdengar bersahutan. Kugeser tombol kunci dan melihat tombol Whatsapp muncul bergantian.

KANIA'S LOVER (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang