Kania's POV
Aku terdiam ketika ia masuk ke ruanganku. Ia terlihat santai, tidak ada rasa canggung ketika ia mendaratkan tubuhnya di kursi di depan mejaku. Berbanding terbalik dengan jantungku yang saat ini berdetak cepat seperti habis lomba lari.
Aku melirik jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 11.50 siang. Kemarin ia juga datang ke ruanganku pada jam yang sama tapi untungnya karena ada operasi mendadak, kami tidak sempat mengobrol. Sekarang alasan apalagi yang dapat kupakai untuk menghindarinya? Jika ia terus datang seperti ini, bagaimana aku bisa melupakannya? Sepertinya aku harus bersikap dingin terhadapnya, dengan begitu ia tidak akan mau berada di dekatku.
"Aku ingin mengajakmu makan siang." ucapnya memecah keheningan.
Dahiku berkerut mendengar ucapannya.
"Sebenarnya ada keperluan apa anda datang kesini? " tanyaku tanpa basa basi.
"Nice, sangat to the point. Aku ingin lebih mengenalmu calon adik ipar."
Ia tersenyum dan membuatku meleleh."Bukankah yang lebih penting adalah mengenal Rania." kilahku.
Pada saat ia akan merespon ucapanku, terdengar suara ketukan pintu. Seorang perawat masuk ke ruanganku dan mengatakan bahwa salat satu pasienku meminta untuk bertemu denganku di taman rumah sakit. Dalam hati aku bersyukur karena mempunyai alasan menghindarinya kali ini. Tapi harapanku kandas ketika ia ikut keluar dari ruangan dan berjalan di belakangku.
"Kali ini, aku gak mau melewatkan waktu makan siang denganmu." ucapnya ketika aku menatapnya bingung.
Aku memutar bola mata malas dan memilih mengabaikannya. Hmm.. sepertinya aku bisa membuatnya bosan dengan menungguku, dengan begitu ia akan pergi dan jantungku bisa berdetak normal kembali.
Aku menghampiri pasienku itu, Dina, anak perempuan berumur 10 tahun pengidap leukimia. Di saat anak sebayanya bercanda gurau di sekolah, ia menginap di rumah sakit berjuang untuk hidup.
"Aku gak mau sedih bu dokter. Kalo aku sedih, nanti papa mama ikut sedih." ucapnya beberapa hari setelah melewati masa kritis. Ia selalu tersenyum dan tidak menampakkan kesedihan. Aku salut padanya. Mungkin jika aku dalam posisinya, aku akan menangisi nasibku sepanjang hari.
Dina, dengan kepala botaknya menyambutku. Ia duduk di kursi roda dikelilingi teman sekolahnya yang datang menjenguk.
Aku menyayanginya dan menganggapnya seperti adikku. Hey, siapa yang tidak akan jatuh cinta pada pesona anak yang lucu seperti dia?
Aku ikut tenggelam dalam permainan mereka. Bahkan aku tidak menyadari sepasang mata yang mengamatiku di bangku taman dengan senyum menawannya.
Sejam kemudian teman teman Dina pamit. Dina juga kembali ke ruangannya ditemani oleh perawat pribadinya.
Ketika ku berbalik, aku terkejut melihatnya yang masih duduk di bangku. Ia tersenyum, tidak tampak bahwa ia bosan ataw kesal karena lama menungguku.
Aku memasang wajah datar. Sebisa mungkin aku mengontrol emosi agar tidak lari dan memeluk dada bidangnya itu.
"Kupikir kau sudah pergi."
"Bukankah sudah kubilang, aku gak mau melewatkan kesempatan makan siang bersamamu." ucapnya sambil mengedikkan bahu.
"Aku hanya bisa makan di kantin bawah." ucapku sebelum berbalik meninggalkan area taman.
Ia masih berjalan di belakangku. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dan siulan terdengar dari bibirnya.
Kami turun ke lantai dasar. Aku memesan soto ayam dan ia memesan makanan yang sama. Ia membuka percakapan dengan menanyakan tentang pekerjaanku dan aku hanya menjawab seperlunya saja sampai seorang pelayan mengantarkan makanan dan kami makan dalam diam.
"Jadi, sudah kan sesi tanya jawabnya? Aku harus kembali ke ruanganku."
tanyaku setelah menghabiskan makananku."Belum. Sepertinya besok aku akan datang lagi kesini."
Aku melipat tangan di dada dan memasang wajah cemberut. "Untuk apa? Kurasa hanya sampai di sini saja kau mengenalku."
Wajahnya yang tadinya tersenyum kecil berubah menjadi serius. Aura mengintimidasi sangat terasa dari tatapannya.
"Karena aku ingin memastikan sesuatu."
"Maksudmu?"
"Aku merasa Rania yang sekarang berbeda dengan Rania yang sebelumnya."
Astaga, aku yakin wajahku menjadi pucat sekarang. Oh tuhan, apa ia sudah menyadari penyamaranku dulu?
**
Riska berkacak pinggang dan berdiri di ujung ranjang."Kau tahu kan, aku tidak akan pernah memaksamu cerita jika kau dalam masalah. Tapi sekarang hari minggu dan aku mau pergi bersama pacarku. Aku gak mungkin meninggalkanmu seharian seperti ini. Jika tidak diawasi, kau pasti seharian tenggelam di balik selimut tanpa melakukan apapun dan bisa bisa aku akan menemukanmu dalam kondisi tidak bernyawa pada saat pulang nanti." omelnya.
Aku memutar mata jengah. Yah wajar saja ia marah, sudah hampir seharian ini aku tenggelam di balik selimut, kebiasaan burukku jika sedang galau.
Seminggu ini aku menginap di apartemennya. Riska adalah sahabatku yang lebih dewasa dibandingkan kedua sahabatku yang lain. Aku sengaja kabur ke apartemennya karena menghindari dia yang terus muncul di sekitarku.
Aku diselamatkan oleh dokter Alan di kantin waktu itu. Rendi hanya diam dan melihat interaksiku bersama dokter Alan dan kemudian ia undur diri dengan alasan harus kembali ke kantor.
"Sampai bertemu lagi besok Nia." ucapnya sebelum bangkit dari kursi.
Setelah hari itu, setiap harinya sebelum memasuki jam makan siang, aku selalu kabur dari ruangan, entah itu visit dadakan ke kamar pasien ataw menyambangi ruangan sahabat sahabatku.
Pernah suatu malam ketika mobilku akan masuk ke halaman rumah, mobilnya sudah terparkir di garasi. Aku segera membelokkan mobilku dan melaju ke apartemen Riska hingga sekarang. Ini adalah hari ketujuh aku menyinap di sini.
"Kau melamun. Sebenarnya kau ada masalah apa?" tanya Riska yang sudah duduk di pinggir ranjang. Raut kesalnya tergantikan oleh raut khawatir.
Aku menghembuskan nafas lelah dan duduk sambil tetap membungkus selimut di tubuhku. Aku menceritakan semuanya dan Riska tidak memgintrupsiku sampai selesai.
"Rania hanya memanfaatkanmu. Sudah kubilang berulang kali Ni, adikmu itu licik."
Aku melempar bantal ke arahnya yang langsung ia tepis.
"Biar bagaimanapun dia adikku."
"Ck, dia lebih cocok dibilang parasit."
"Ka.."
"Dengar ya, jika dari awal kau tegas terhadapnya, kau tidak mungkin terlibat dalam konspirasi kejam seperti ini."
Aku tersenyum kecil mendengar julukan yang ia berikan.
"Dulu ia menyuruhmu menggantikan dirinya menolak pria itu tanpa mempertimbangkan kemungkinan jika ada perasaan cinta tumbuh di dalam hatimu dan sekarang tiba tiba ia memamerkan hubungannya."
"Itu karena dia tidak tahu perasaanku terhadap Rendi." kilahku.
"Memangnya ada bedanya? Kurasa tidak. Ia pasti akan melakukan hal yang sama. Adikmu itu licik, egois dan manja."
"Jadi aku harus berbuat apa?"
"Hadapi masalah, jangan kabur seperti ini. Katakan pada pria itu yang sebenarnya. Siapa tahu selama ini yang membuatnya jatuh cinta adalah kau bukan Rania."
"Aku tidak bisa melakukannya, bisa bisa dia membatalkan pertunangannya."
"Ini nih kadang yang bikin aku kesel sama kamu, selain polos, kau juga tambeng kalo dikasih nasihat."
Aku tersenyum kecil dan langsung memeluk tubuhnya. "Makasih ya Riska sayang, Riska baik deh."
"Aah, kau jangan memelukku. Kau bau, belum mandi." ucapnya sambil berusaha melepas pelukanku. Suara tawa kami membahana di dalam kamarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
KANIA'S LOVER (Complete)
Romance"Kenapa kau memaksaku?" tanya Kania gugup. "Sejak dulu aku mencintaimu. Apakah ada alasan lagi selain itu?" tanya Rendi balik. Detik berikutnya Rendi mencium bibir Kania dengan lembut. Ia melumatnya. Kania hanya diam karena terlalu terkejut. Ini a...