Kania's POV
Dadaku terasa sesak melihat sepasang insan berdiri di tengah ruangan yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari tamu undangan. Dia memakai tuksedo hitam dan Rania memakai gaun putih dengan potongan leher rendah dan brukat di bagian dada dan punggung. Rania memeluk erat tangannya dan menebarkan senyum bahagianya.
Dia tampil sangat tampan malam ini. Tidak sedikit wanita yang berdecak kagum melihat penampilannya.
Inilah hari dimana Rania bertunangan dengannya. Rasa sesal muncul di kepalaku. Seharusnya aku mengaku saja pada Rendi, setidaknya hatiku terasa lega jika sudah memastikan Rania yang mana yang ia cintai. Rania asli ataw palsu.
"Aku udah gak tahan lagi. Aku mau pulang." gerutu Riska.
Kami berempat berdiri di sudut ruangan. Ketiga sahabatku diundang oleh mama, jika bukan karena paksaanku, mereka tidak mau datang karena seperti halnya Riska, Marla dan Via juga tidak menyukai Rania.
"Tunggu dulu, cowok cowok singlenya pada baru dateng neh." bujuk Via.
"Ck, dasar jelalatan. Tadi aja, kamu yang pengen cepet cabut dari sini. Sekarang gara gara liat cowok ganteng, langsung deh berubah pikiran." sungut Riska.
"Maklumlah, jomblo menahun kaya gitu tuh. Eh si Rania pinter juga dapetin calon tunangan. Pesen satu lagi bisa gak Ni?" tanya Marla yang langsung mendapat pelototan dari Riska.
Aku tersenyum geli melihat tingkah absurd sahabatku. Jika tidak ada mereka, mungkin sekarang aku sedang menangis di pojok ruangan.
Mataku tidak sengaja bersibobrok dengannya. Tatapannya tajam dan dingin ke arahku. Apa ia marah padaku yang selalu menghindarinya?
Aku sengaja tidak melibatkan diri pada persiapan acara ini, bahkan aku memilih menghindar jika ia datang ke rumah.Setengah jam berlalu, ketiga sahabatku pamit. Aku tidak bisa kabur dari acara karena mama sudah mewantiku untuk mengikuti acara sampai selesai.
Aku yang sudah tidak tahan dengam suasana pesta, memilih berjalan keluar menuju pintu samping hall yang langsung tersambung dengan taman hotel. Hanya ada aku seorang disana. Air mancur di tengah taman yang disinari cahaya bulan membuatku sedikit tenang.
"Jadi kamu kabur kesini? "
Kuharap jantungku masih sehat karena suaranya selalu dapat membuat jantungku bekerja lebih cepat.
"Aku bosan di dalam. Kenapa bintang utama malah kabur kesini?" sindirku
"Bete." jawabnya sambil mengedikkan bahu.
Ia berjalan satu langkah menghampiriku dan aku otomatis mundur satu langkah.
"Kenapa kau menghindariku?"
"Kenapa kau mendekatiku?"
Rendi tersenyum kecil. "Aku bisa merasakan jika ada seorang wanita tertarik padaku dan aku bisa merasakan bahwa kau menyukaiku. Itukah sebabnya kau menghindariku?"
Tatapan matanya lembut, tidak setajam dan sedingin seperti sebelumnya.
"Aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman. Aku permisi dulu." Aku berbalik dan belum sempat kakiku melangkah meningalkannya, ia menarik lenganku hingga tubuhku berputar dan kami berhadapan dalam jarak yang dekat.
"Setidaknya jangan pergi sebelum aku memastikan sesuatu."
"Apa?"
Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku karena Rendi mencium bibirku. Tangan kanannya menahan daguku dan tangan kirinya memelukku. Aku terlalu terkejut dan tidak merespon ciumannya hingga tangan kirinya tiba tiba memeras pantatku dan membuat mulutku terbuka karena terkejut.
Aku bisa merasakannya yang tersenyum di sela ciumannya. Ia mengeksplore isi mulutku. Aku berusaha melepas ciumannya tapi tangan kirinya sudah berpindah ke tengkukku dan menahannya.
Ia melepas ciumannya dan tersenyum puas. "Sepertinya aku sudah mendapatkan jawabanku." ucapnya sambil memindahkan anak rambut dari dahiku.
"You can not hide from me anymore."
bisiknya di telinga kananku.Wajahku memerah dan tanpa bicara, aku langsung berlari meninggalkannya dan kembali masuk ke dalam hall sambil menutupi mulutku karena aku tidak yakin lipstik masih melekat sempurna di bibirku.
Aku menyetop taksi dan mengirim pesan kepada orang tuaku bahwa aku pulang duluan karena tidak enak badan.
Aku menyandarkan kepala di kursi dan berharap malam ini dapat bermimpi tanpa dirinya yang berkunjung ke alam mimpiku.
**
Aku mengaduk nasi goreng di hadapanku dengan malas sementara di sebrang meja, Rania sedang bersemangat menceritakan kebahagiaannya mengenai kesuksesan acara semalam kepada kedua orang tuaku. Ini sudah masuk jam makan siang dan kami baru berkumpul di ruang makan setengah jam yang lalu.
Untungnya hari ini hari minggu jadi aku bisa bersantai seharian.Jangan tanya bagaimana penampilanku sekarang. Lingkaran hitam di bawah mata, hidung sedikit berair karena tanda akan flu, wajah pucat dan rambut acak acakan. Rendi tidak mendatangiku ke dunia mimpi karena aku tidak bisa tidur semalaman. Bayangan wajahnya yang menatapku lekat di apartmen waktu itu dan ciumannya di taman selalu muncul setiap aku menutup mata. Sudah ratusan kali aku mengubah gaya tidurku namun tidak mampu membuatku terlelap.
"Aku punya penyakit insomnia dan baru kali ini aku bisa tidur nyenyak. Sepertinya setiap malam aku harus tidur sambil memelukmu."
"Jadi kapan Nia nyusul?"
Aku menoleh dan menatap bingung ketika mendengar namaku disebut oleh Rania.
"Pa, gimana kalo Nia dijodohin juga? Kan seru tuh kalo kita nikah barengan." ucap Rania bersemangat.
Papa dan mama menanggapinya dengan semangat sedangkan aku sama sekali tidak tertarik.
"Ayolah Ni. Bukankah dijodohkan akan lebih baik karena dengan begitu gak akan ada yang berani ganggu pasangan masing masing."
Aku langsung menoleh dan melihat mata Rania yang berubah tajam. Kenapa ia bicara seperti itu? Jangan jangan ia melihat kami berciuman? Oh my, kurasa aku dalam masalah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANIA'S LOVER (Complete)
Romance"Kenapa kau memaksaku?" tanya Kania gugup. "Sejak dulu aku mencintaimu. Apakah ada alasan lagi selain itu?" tanya Rendi balik. Detik berikutnya Rendi mencium bibir Kania dengan lembut. Ia melumatnya. Kania hanya diam karena terlalu terkejut. Ini a...