Bab 5 : Masalah (1)

10.2K 1.7K 168
                                    

"Halo..." Jeno berteriak dan menggema diseluruh ruangan.

"Jen, dimana appa dan eomma..." Haechan mulai resah.

"Tenanglah..." Jeno memegang tangan Haechan lembut dan tersenyum menenangkan. "Ikuti aku.."

Mereka berdua berjalan mengelilingi mansion besar keluarga Lee, namun tetap saja sepi. Harusnya para maid ada disetiap sudut rumah, mereka jadi benar-benar curiga sekarang.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras disertai petir yang menggelar, lampu rumah mereka seketika mati.

"Jeno-ya..." Haechan beringsut memeluk lengan kanan saudaranya.

Haechan takut gelap, dan Jeno paham akan hal itu. Ia membiarkan Haechan memeluk tangannya dan berjalan dengan tenang kearah dapur untuk mengambil lilin. Tiba-tiba ia merasa menginjak sesuatu yang basah, karena seluruh rumah dalam keadaan gelap ia tidak bisa melihat dengan pasti apa yang ia injak.

"Air?" lirihnya.

"Kenapa ada air dilantai? Para maid mustahil membiarkan hal ini terjadi." Haechan heran begitu juga Jeno.

"Entahlah..ayo cari lilin dan pergi ke kamar." Jeno tidak ambil pusing, lagipula nanti pasti akan dibersihkan oleh para maid itu.

"Aku tidur bersamamu ya..kumohon..." pinta Haechan dengan suara yang dibuat seimut mungkin.

"Baiklah, hanya malam ini."

"Yess!"

Mereka menyalakan lilin dan berjalan berdampingan menuju lantai atas tempat kamar mereka berada. Sedangkan hujan lebat masih belum juga reda, bahkan bertambah lebat. Sesekali kilatan cahaya dari petir masuk melalui jendela membuat suasana rumah besar ini semakin mencekam.

Jeno membuka pintu kamarnya perlahan dan masuk diikuti Haechan dibelakangnya. Ia menaruh lilin dimeja nakas dan menyalakan lilin yang lain untuk tambahan penerangan.

"Tunggu disini, aku ingin mandi sebentar." Jeno mendudukan Haechan diranjang king size nya.

"Bukankah listriknya padam? Mustahil ada air.."

"Benar juga...yasudahlah kita tidur saja. Besok pagi saja mandinya." Jeno merebahkan tubuhnya disebelah Haechan.

"Jangan matikan lilinnya..." Haechan berbisik sambil menatap jendela yang memperlihatkan hujan deras yang mengguyur kota Seoul.

Jeno yang melihatnya terus menatap jendela lama-lama jengah, is berdiri dan menutup jendela itu dengan gorden agar Haechan tidak membayangkan hal-hal aneh mengenai padamnya listrik ataupun badai diluar.

"Tidurlah, jika eomma tahu kau seperti ini ia pasti akan tidak senang..." Jeno mengusap lembut kepala Haechan.

"Tapi badai itu sangat lebat, bagaimana jika prediksimu saat disekolah tadi benar-benar terjadi?" Haechan menatap kosong pada sprai kasur.

"Hei, dengarkan aku. Tadi itu hanya prediksi, hanya sebuah pemikiran belaka. Yang berkehendak adalah Tuhan, bukan prediksiku. Paham?" Jeno merengkuh tubuh saudaranya yang lebih pendek itu dan mengusap punggungnya untuk menenangkan.

"Kenapa malam ini sangat menyeramkan.." bisik Haechan sambil mengeratkan pelukannya pada Jeno.

"Itu hanya perasaanmu. Tidurlah, biarku nyanyikan sebuah lullaby untukmu." Jeno membaringkan tubuhnya dan tubuh Haechan, lalu menyanyikan sebuah lullaby yang biasa ibunya lantunkan saat mereka masih kecil.

Dengan itu pula lah Haechan bisa tertidur lelap. Wajahnya damai tanpa beban sedikit pun, Jeno bisa lebih tenang sekarang.

Tapi itu tidak berselang lama, ketika suara seperti gebrakan pintu yang dibuka secara paksa terdengar dan membangunkan Haechan dari tidurnya.

"Jeno..." lirihnya sembari meremat seragam Jeno yang masih melekat ditubuhnya.

"Ssttt...aku disini, jangan takut oke?" Jeno mengeratkan pelukannya berusaha untuk membuat Haechan lebih tenang.

Dan sebuah suara langkah kaki menggema di seluruh penjuru rumah. Ditambah dengan suara senandung dari seseorang yang ia yakini perempuan, yang menyenandungkan lagu misterius.

Haechan ingin menangis rasanya, ia memang takut akan hal-hal seperti ini. Sebut saja ia cengeng, tapi lagu itu seperti sebuah melody kematian yang meminta nyawa sebagai imbalannya.

Nyanyian itu kembali terdengar.

'Click, click, click....

Aku ingin darah...

Berikan darah... ke guillotine

Darah untuk memuaskan rasa haus guillotine...

Yang diinginkan hanyalah...

Darah, darah, darah....

Brakk

Suara bantingan pintu kembali terdengar, Haechan benar-benar terguncang karena lagu sialan itu. Jeno menatap setiap sudut kamarnya waspada, takut-takut akan ada seorang psikopat gila yang menyelinap masuk dan berniat untuk membunuh mereka berdua.

Haechan menangis, meraung meminta Jeno agar membawanya keluar dari rumah dan pergi jauh. Ia sudah tidak tahan lagi, psikologinya tertekan sangat hebat karena lagu pengantar kematian yang ia dengar beberapa menit lalu.

"Tenanglah....besok pagi kita akan pergi. Kau puas?" bisik Jeno ditelinga Haechan lembut.

Haechan mengangguk pelan, setelahnya ia sedikit lebih tenang dan kembali tertidur setelah Jeno menyanyikan lullaby untuknya.

'Permainan macam apa yang akan terjadi?' LJN.

To be continue

Catatan ochi:

Guillotine adalah sebuah alat untuk membunuh seseorang yang telah di vonis hukuman mati dengan cepat dan 'manusiawi'.

Guillotine menjadi terkenal padaRevolusi Perancis, tetapi sebenarnya sebelumnya sudah ada alat seperti ini. Guillotine dinamakan menurut Joseph Ignace Guillotin (1738 - 1814), yang menyarankan supaya memakai alat ini sebagai alat eksekusi. Ironisnya ia sendiri sebenarnya tidak setuju dengan hukuman mati. Ia berharap bahwa alat'nya' akan menghapuskan hukuman mati.

Lullaby merupakan satu jenis lagu yang diintentikan dengan lagu pengantar tidur. Di Indonesia lullaby disama artikan dengan nina-bobok.

Lebih jelasnya bisa cek wikipedia :>

Sekian

[BL End]Neo City : Unexpected PhenomenonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang