Davine tiba di rumahnya. Sangat sepi. Mungkin orang tua dan adiknya belum pulang. Davine berjalan santai ke dapur, dia meminum segelas air mineral. Perasaannya lebih tenang dari sebelumnya. Davine meletakkan tangan kanannya ke dada.
Jantungnya sudah berdegup normal.
"Berarti kurang minum." Kesimpulan yang Davine dapat.
Tingg tunggg tingg tungg
Davine meletakkan gelasnya lalu dia segera berjalan menuju pintu. Sepertinya itu ayah atau mamanya yang pulang.
Davine membukanya. Mata Davine membesar melihat siapa yang datang. Dia tersenyum. Lalu memeluk orang itu dengan erat.
"Jagoan kakek."
Orang itu adalah Airlangga Utama. Ayah dari Leonardy Airlangga dan berarti kakek Davine. Davine adalah cucu kesayangan kakeknya karena mereka memiliki kesukaan yang sama yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan musik terutama drum. Hanya saja kakeknya itu sudah lama tidak menyentuh drum karena faktor usia dan kesibukannya mengurusi perusahaan.
"Sampai kapan nih mau peluk kakek? Kaki kakek udah capek."
Davine melepas pelukannya. "Hehe maaf Kek. Yaudah ayo masuk." Davine menuntun kakeknya masuk ke rumah.
"Gimana bandmu?" Tanya kakeknya seraya duduk di sofa.
"Sukses Kek." Davine duduk di sebelah kakeknya. "Mau minum apa Kek?"
"Air mineral aja Dav." Jawab Kakeknya. Lalu Davine berjalan ke dapur untuk mengambil dua gelas air mineral.
"Kok rumah sepi?" tanya Kakeknya.
"Ayah sama Mama masih kerja, Ona di rumah Om Rakha." Davine berjalan kembali ke ruang tamu sambil membawa dua gelas air mineral.
Davine duduk di sebelah kakeknya. Sejak tadi Davine tak bisa berhenti tersenyum, dia sangat bahagia dengan kedatangan kakeknya yang tiba-tiba ini.
"Ayahmu gimana kabarnya? Masih sama?" Kakeknya sudah mengerti bahwa Leo bersikap sangat dingin pada Davine karena Davine adalah seorang drummer.
Davine berhenti tersenyum. Tak tahu kenapa setiap mengingat ayahnya dia selalu merasa bersalah.
"Ayah baik Kek. Begitulah, ayah kecewa, ayah ingin Davine jadi pemain sepak bola. Tapi Davine gak bisa Kek." Davine menatap sendu gelas yang dipegangnya. Davine merasakan ada tangan di leher, itu kakeknya yang sedang merangkulnya. Davine menatap kakeknya.
"Takdir anak dan orang tua belum tentu sama Dav. Kayaknya yang terjadi sama kakek dan ayahmu terjadi padamu dan ayahmu sekarang, cuma kebalikan aja.
Kakek dulu suka sekali sama yang namanya musik apalagi drum, kakek dulu juga punya band tapi gak sesukses Gilgadamu Dav. Tapi ayahmu, Leo, gak tertarik sama sekali untuk masuk ke dunia musik. Dia lebih suka sepak bola." Kakeknya tersenyum menatap Davine. Dia mengamati wajah Davine.
"Wajah, bibir, rambutmu turunan Leo. Hidung, alismu turunan Nadia-"
"Nada Kek, bukan Nadia." Potong Davine. Kakeknya ini memang sering salah mengucap nama mamanya--Nada menjadi Nadia.
"Haha iya Nada." Kakeknya tertawa.
"Iris mata dan bakatmu turunan dari kakek. Wah kakek berkontribusi juga ya Hahaha!"
Davine hanya bisa menggelengkan kepala melihat kakeknya yang sudah tua ini tapi ketawanya melebihi dia saja.
Davine lupa dia sulit ketawa.
"Pacarmu berapa Dav?"
Davine terbatuk-batuk tersedak minumannya setelah mendengar pertanyaan gila kakeknya itu. Kakeknya bertanya berapa, memangnya perlu berapa?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Retaliation
Teen FictionDavine Airlangga, THE COLDEST BOY EVER di SMA Gama. Tidak pernah yang namanya mau berurusan dengan cewek. Sebagian berpikir Davine pernah memiliki masa lalu yang kelam, ada juga yang berfikiran bahwa Davine tidak normal. BIG NO! Davine masih normal...