“Tolol lo.” Davine menjitak dahi Andra.
Saat Thania keluar tadi Davine buru-buru masuk ke kamarnya dan tak peduli apa yang dilakukan Andra setelah itu. Mau mencegah pun sudah terlambat, Davine hanya pasrah dengan kelakuan sepupu gilanya itu.
“Ya siapa tau lo bisa balik lagi sama Thania kan setelah ini.” Andra mengusap bekas jitakan Davine.
“Gak akan,” Davine mengalihkan pandangannya.
“Kenapa?” Andra kecewa mendengar ucapan Davine.
“Gue gak mau diganggu sekarang, Ndra.”
“Huh, yaudah maaf Dav.” Andra beranjak dari kasur Davine lalu dia berjalan menuju pintu. “Perjuangin Thania selagi ada, jangan sampe terlambat dan lo nyesel selamanya.” Ucapnya sebelum menutup kembali pintu kamar Davine.
Kenapa sih semua orang bilang gue harus perjuangin dia lagi? Batin Davine.
**
Melihat Ramdan kembali masuk sekolah dengan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya teman-teman sekelasnya senang, terutama Davine dan Galang yang sangat mencemaskan Ramdan. Para cowok-cowok menghampiri Ramdan dan memeluknya bersahabat, mereka sangat terlihat sangat bahagia.
“Ram si Mike udah habis di tangan Davine!” Kata Galang semangat.
“Iya?” Ramdan memastikan pada Davine, cowok itu mengangguk. “Makasih banget Dav, lo temen gue yang paling bisa ngerti.” Ramdan memeluk Davine bersahabat.
“Udah kewajiban.” Balas Davine.
Setelah puas menyambut Ramdan mereka semua kembali ke tempat duduknya masing-masing. Tepat saat itu juga Pak Ardy datang dan memulai pelajaran sejarah. Pagi hari disuguhi sejarah, jiwa mengantuk Davine menguasainya. Davine meletakkan kepalanya di atas meja dan mulai memejamkan matanya.
Pak Ardy tetap menjelaskan materi masa Orde Baru, beliau belum menyadari ada satu siswanya yang jiwanya sudah tidak ada di kelas. Hampir satu jam Davine tertidur lelap. Pak Ardy baru sadar ketika tiba di sesi tanya jawab, beliau memanggil nama Davine berkali-kali namun tak ada jawaban. Pak Ardy menggeleng-geleng sambil berjalan mendekat ke bangku Davine.
Pak Ardy menepuk-nepuk punggung Davine dengan buku sejarahnya. “Enak ya tidurnya,” ucapnya saat Davine berhasil dibangunkan. Teman-teman sekelasnya menertawai muka bantal Davine yang beberapa bulan tidak pernah terlihat, Davine tidak pernah tidur di kelas saat masih berpacaran dengan Thania.
“Udah bener tobat, kumat lagi.” Sindir Pak Ardy.
“Ngantuk Pak, banyak tugas semalam,” alibi Davine. Tugas untuk hari ini saja tidak ada yang dikerjakan, dia begadang bermain game semalam.
“Ngerjain tugas? Coba liat LKS sejarahmu.” Pak Ardy menengadahkan tangannya, Davine langsung memberikan LKSnya.
“Kalau ini kamu yang dikerjain tugas,” Pak Ardy mengembalikan LKSnya yang masih kosong sambil menggeleng-geleng. “Keluar kelas, kerjain tugasnya.” Perintah Pak Ardy dengan halus.
Davine meraih LKSnya lalu dia berdiri dan berjalan keluar kelas dengan linglung. Matanya masih belum benar-benar bangun, sekelilingnya masih terlihat buram. Davine menuju wastafel, menyalakan air, lalu mengusap seluruh kepalanya dengan air hingga membuat kerah bajunya basah. Setelah itu dia berjalan menuju perpustakaan karena di sana sangat tenang. Davine bisa tidur lagi.
**
Thania terus memerhatikan Davine yang sedang tertidur sejak tadi. Mulutnya gatal ingin menegur cowok itu seperti biasanya, namun sekarang kondisinya sudah berbeda, Davine bukan siapa-siapanya lagi. Thania mengalihkan pandangannya kembali ke depan untuk memerhatikan Pak Ardy yang sedang menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retaliation
Teen FictionDavine Airlangga, THE COLDEST BOY EVER di SMA Gama. Tidak pernah yang namanya mau berurusan dengan cewek. Sebagian berpikir Davine pernah memiliki masa lalu yang kelam, ada juga yang berfikiran bahwa Davine tidak normal. BIG NO! Davine masih normal...