“Ya! Kita putus!”
Davine rasa ini saat yang tepat untuk mengatakan hal itu. Hubungannya dengan Sava sudah tidak sehat. Davine merasa tidak punya kehidupan sendiri sejak bersama Sava, semua hidupnya harus tentang Sava, Savara, dan Savara Adelya terus. Davine tidak pernah bisa mencintai gadis itu sedikit pun.
Davine menatap mata gadis itu yang mulai berair. Sepertinya Davine terlalu kasar kepadanya.
“Sav,” Davine mencoba meraih kedua tangan Sava, namun dengan cepat gadis itu menangkisnya.
“Gue gak bisa jalanin hubungan ini lebih lama lagi, gue gak bahagia Sav,” Davine menurunkan nada bicaranya.
Sava menggeleng-gelengkan kepalanya, nampaknya dia tidak percaya Davine akan mengatakan hal itu di depannya. Napasnya makin terisak dan air matanya mulai melolos. Sava menyeka air matanya lalu dia berbalik badan dan pergi berlari dari hadapannya.
Davine mengacak-acak rambutnya, dia merasa bersalah telah menjadikan Sava sebagai pelampiasannya. Harusnya dia tidak melakukan hal itu. Davine menatap sekilas Sava yang masih berlari kemudian dia kembali ke motornya hendak pergi dari sana, lagi pula Sava berlari ke arah rumahnya.
BRAK!
Mata Davine terbelalak melihat seorang pengendara di depannya itu terjatuh, terlebih ada Sava di dekatnya. Davine turun lagi dari motornya dan berlari secepat mungkin menghampirinya. Bagaimanapun Davine masih mengkhawatirkan gadis itu. Sisi kemanusiaannya masih ada.
“Sav!” Davine meneriaki Sava yang sudah berlari lagi. Kakinya hendak melangkah menyusul gadis itu, namun hatinya menahannya tetap ada di sini. Cowok pengendara itu lebih membutuhkan pertolongannya.
Davine berjongkok dan membantu cowok itu bangun dari posisinya. Setelahnya Davine mengembalikan posisi motor cowok itu kembali ke keadaan normal. Davine menyuruh cowok itu duduk di tepi trotoar kemudian Davine pergi. Tidak, Davine tidak kabur dari tanggung jawabnya, dia hanya pergi membeli minuman dan plester.
Davine berlari ke arah utara mencari toko kelontong yang ada di sekitar sana. Davine tidak mengerti daerah sini, dia asal berlari saja dan berharap segera menemukannya. Sekitar 200 meter dia baru menemukan sebuah toko kelontong, namun di sana tidak ada barang yang dibutuhkannya.
“Ya sudah, makasih Bu,” ucapnya lalu lanjut berlari lagi. Dari kejauhan dia melihat plang biru yang sudah dikenali warga seluruh Indonesia. Davine sedikit tenang melihatnya, pasti di sana ada barang yang dicarinya.
Sesampainya di sana Davine langsung mencari air mineral, alkohol pembersih, betadine, dan plester. Tentang uang tenang saja, Davine selalu sedia uang cash di atas 300 ribu dan kartu ATM yang dia bawa kemana pun. Maklum, anak sultan. Selain itu Davine juga sudah bisa mencari uang sendiri dengan bandnya.
Setelah mendapat barang yang dibutuhkannya, Davine langsung kembali ke tempat tadi. Dia lihat cowok itu masih terduduk lemah di pinggir trotoar dengan dikelilingi beberapa orang disekitarnya. Davine mendekat dan memberikan air mineralnya.
“Mas bisa bersihin lukanya sendiri gak?” Bukan jijik, tapi Davine tidak mengerti bagaimana cara mengobati luka.
“Oh, iya iya bisa.” Cowok itu menerima benda-benda yang Davine beli tadi dan mulai mengobati lukanya sendiri.
Cowok itu menatap Davine seperti meneliti wajahnya. Tidak hanya beberapa detik saja, lama sekali cowok itu menatapnya. Lama-lama Davine takut dengan tatapan orang itu, lalu Davine mengalihkan pandangannya ke jalan. Dia takut jangan-jangan cowok yang ditolongnya ini tidak normal.
“Mas?” Panggil cowok itu. Davine menoleh lagi dan memasang wajah bertanya-tanya.
“Lo Davine kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Retaliation
Teen FictionDavine Airlangga, THE COLDEST BOY EVER di SMA Gama. Tidak pernah yang namanya mau berurusan dengan cewek. Sebagian berpikir Davine pernah memiliki masa lalu yang kelam, ada juga yang berfikiran bahwa Davine tidak normal. BIG NO! Davine masih normal...