Langit sudah gelap dan Davine memutuskan untuk pamit pulang pada teman-temannya. Awalnya mereka bertiga ingin ikut ke rumah Davine, tapi Davine melarangnya. Dia ingin ketenangan untuk malam ini. Akhirnya mereka mengerti dan membiarkan Davine pulang ke rumah.
Di perjalanan Davine masih terus memikirkan hal tadi. Setiap tempat yang dia lewati, tempat yang pernah ia kunjungi bersama Thania, semua kenangan itu muncul sangat jelas di kepalanya. Mata Davine teralihkan pada penjual es puter yang berhenti di dekat taman kompleks. Alam bawah sadarnya mengendalikan motornya menuju ke sana dan berhenti di depan gerobak es puter itu.
Davine melihat ke arah samping gerobak, dia melihat sepasang kekasih sedang makan es puter di sana. Di mata Davine sepasang kekasih itu berubah menjadi dirinya dan Thania. Dia teringat bagaimana cara menatap mata Thania saat gadis itu berusaha memaksanya untuk membayar es puter itu dengan uang Thania. Ketulusan itu baru Davine sadari dan rasakan sekarang.
Davine melepas helmnya dan turun. “Mas es puter dua, bungkus,” ucapnya pada pria penjual es puter.
“Siyap bos. Eh adiknya mana, mas?” Tanya pria itu sambil membuatkan es puter pesanan Davine.
“Nanya adik gue mulu prasaan,” jawab Davine ketus.
“Yauda nanya ceweknya deh, ceweknya mana Mas?”
“Cancel orderan boleh ga?” Davine menatap pria itu dengan mata elangnya.
“Hehe becanda doang Mas.”
Beberapa detik kemudian dua es puter pesanan Davine sudah jadi. Davine memberi uang pas pada pria itu, kemudian dia segera pergi dari sana sebelum pikirannya semakin kacau. Motornya hanya melaju dengan kecepatan 40km/jam karena sudah memasuki wilayah komplek, bisa-bisa dia digebuki warga kalau nekat ngebut.
Sesampainya di rumah Davine memarkir motornya di depan garasi, dia lupa membawa kunci jadi tidak bisa membukanya. Davine mengunci stang motornya, tak lupa membawa es puter yang dia beli. Pintu rumah dibukanya tanpa mengucap salam, tak ada seorang pun terlihat di ruang tamu, dia meletakkan satu es puter untuk Ona lalu berjalan menuju kamarnya.
Davine mengunci kamarnya, lalu dia beralih pada pintu kaca yang menghubungkannya dengan balkon, dia hendak menguncinya juga. Tapi matanya terpaku pada pot bunga pecah yang terletak di pojok kiri, Davine belum membuang pot itu dia hanya memindahkannya. Ah sial dia ingat Thania lagi. Davine menggeleng dan segera menyingkirkan pikirannya.
Semua pintu sudah terkunci rapat, gorden sudah ditutup, pencahayaan yang tersisa hanya lampu kecil di nakas sebelah kasurnya. Davine melepas satu persatu kancing seragamnya, setelah terlepas semua, dia melempar seragamnya ke tempat tumpukan baju kotor lainnya. Bagian atas tubuhnya polos saat ini, tak ada sehelai benang pun di sana, otot-ototnya terlihat samar dibalik minimnya pencahayaan.
Davine berjalan mendekati drumnya. Dia duduk senyaman mungkin di kursi belakang drumnya. Dua stick drum sudah melekat di kedua tangannya, kedua kakinya sudah siap di tempatnya masing-masing. Davine mengangkat tangan kanannya dan memukul simbal dengan seluruh kekuatannya. Semua emosi Davine tertuang di sana.
Davine tersenyum. Lalu dia lanjut memainkan drumnya sesuai dengan intro lagu Numb – Linkin Park.
“I’m tired of being what you want me to be. Feeling so faithless, lost under the surface...”
Davine menyanyikan lagu itu dengan suara khasnya dan pengucapan bahasa inggrisnya sangat bagus, tidak ada yang salah pengucapannya. Setiap pukulan yang dia berikan ke drumnya berisi semua emosi Davine. Hanya drum yang bisa membuatnya tenang sejauh ini.
“I’ve become so numb! I can’t feel you there become so tired so much aware I’ve becoming this all i want to do. Is be more like me and be less like you!!” Di bagian reff lagu ini Davine mengeluarkan seluruh kekuatan suaranya. Dia berteriak sekencang mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retaliation
Novela JuvenilDavine Airlangga, THE COLDEST BOY EVER di SMA Gama. Tidak pernah yang namanya mau berurusan dengan cewek. Sebagian berpikir Davine pernah memiliki masa lalu yang kelam, ada juga yang berfikiran bahwa Davine tidak normal. BIG NO! Davine masih normal...