05

5.3K 839 63
                                    

Mobil Fortuner berwarna putih itu berhenti tepat dibahu jalan, bersama dengan beberapa mobil lainnya. Minhyun turun terlebih dahulu, berlari kearah samping untuk membukakan pintu Hira, dan juga Varo yang sengaja duduk di kursi bagian belakang.

"Ayo turun, ayah sama bunda anter kedalem kelasnya adek"ucap Minhyun yang hanya diangguki oleh Varo.

Sementara Hira yang sudah berdiri disamping Minhyun mengambil alih tas kecil yang berisikan perlengkapan sekolah.

"Nanti sama bunda jangan nakal ya" pesan Hira saat ketiganya masuk ke area tempat penitipan anak.

Iya, diumur Varo yang mau menginjak 5 tahun ini Minhyun dan Hira memang sudah memasukan Varo ke tempat penitipan anak, atau playgroup. Sementara Varo yang ada didalam gendongan Minhyun hanya menganggukkan kepalanya, seolah-olah ia mengerti apa yang dikatakan oleh sang Bunda.

"Nanti pulang mau di jemput sama ayah?"tanya Minhyun, Varo menganggukkan kepalanya.

"Mauuu!"jawab Varo riang.

Ketiganya berjalan beriringan, menyusuri jalan setapak yang dibuat oleh batu-batu kecil. Sesekali tertawa saat mendengar celotehan Varo. Namun banyak pasang mata yang menatap kearah mereka, membuat Hira merasa sedikit risih.

Bukan pandangan kagum, namun pandangan mengolok-olok. Tak lama, ketiganya sampai disebuah ruang kelas. Minhyun menundukkan tubuhnya, kemudian ia menurunkan Varo dalam gendongannya. Seletah itu ia mencium pipi Varo cepat.

Hira memilih langkah yang sama, menekuk lututnya untuk mencium kening Varo. Menyerahkan tas Varo kepada sang empunya. Kemudian ia mengacak-acak rambut anaknya gemas.

"Jangan nakal okay? Nanti siang ayah yang jemput" ingat Hira untuk kesekian kalinya, Varo menganggukkan kepalanya lucu.

Setelah melambaikan tangannya, bocah tersebut langsung berlari masuk kedalam kelas. Meninggalkan Minhyun yang masih bertahan diposisinya.

"Ayo mas, keburu siang"ajak Hira sambil menoel bahu Minhyun.

Minhyun hanya menganggukkan kepalanya, kemudian ia segera berdiri. Menarik tangan Hira untuk ia genggam, dan berjalan menuju mobil Minhyun yang terparkir diluar area tempat penitipan anak tersebut. Keduanya berjalan dengan santai, melewati rombongan ibu-ibu sosialita yang masih menatap Minhyun dengan pandangan terkejut.

"Itu bukannya pengusaha batu bara ya?"

"Kok jalannya gak sama bu Bona sih?"

"Lah jeng baru tau? Kan pak Minhyun punya istri dua"

"Dasar pelakor, gak tau malu"

"Ck, si cewek juga yang punya butik. Udah terkenal si, tapi tetep aja. Hasil ngemis sama pak Minhyun itu"

Dan berbagai ocehan itu tak sengaja masuk kedalam indra pendengaran Hira. Hira sendiri hanya menghela nafas panjang, dirinya terlalu biasa untuk mendengar cacian tersebut.

Namun, seterbiasanya ia dengan cemoohan itu. Tetap saja Hira masih memiliki hati nurani yang masih berfungsi, dirinya bukan patung yang tak memiliki perasaan. Dia adalah wanita, sama seperti kalian. Yang terjebak dalam kehidupan menyedihkan itu.

Merasa Hira sedari tadi diam, membuat Minhyun menoleh kearah Hira. Tangannya terulur untuk mengusap rambut Hira, membuat Hira tersentak kaget dan langsung menoleh kearahnya.

"Ada apa mas?"tanya Hira. Minhyun hanya menggelengkan kepalanya, kemudian ia mengeratkan genggamannya pada tangan Hira.







Mobil Fortuner putih itu kembali berhenti didepan pelataran rumah yang terbilang mewah tersebut, setelah mematikan mesin mobil. Minhyun langsung turun dari kereta besinya tersebut, mendapatkan jadwal cuti selama beberapa hari membuat Minhyun memutuskan untuk mengunjungi rumah istri pertamanya, yang tak lain adalah Bona.

Dengan perlahan Minhyun membuka pintu bercat hitam tersebut, membukanya secara perlahan. Kemudian masuk kedalam ruang tamu rumah mewahnya itu. Rumah yang nampak berbeda dengan keadaan rumah Hira yang terbilang simple namun masih menunjukkan kesan mewah, beda dengan rumah Minhyun dan Bona yang memang dari luar sudah terlihat mewah.

"Ayah!"seruan suara nyaring itu membuat Minhyun langsung menoleh.

Menatap Eunbi yang kini sudah berlari kearahnya, dan dalam hitungan detik. Tubuh anak perempuannya itu sudah berada didalam dekapannya, Minhyun tertawa kecil. Tangannya bergerak untuk mengusap kepala belakang putrinya itu.

"Kakak gak kuliah?"tanya Minhyun.

Eunbi melepaskan pelukannya, kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Enggak, lagi libur"jawab Eunbi.

Minhyun hanya menganggukkan kepalanya pertanda mengerti, kemudian ia langsung menoleh kearah tangga yang ada dipojok ruangan. Dimana kamar utama(kamarnya dan Bona) sekaligus kamar milik anak-anaknya berada.

"Mama mana?"tanya Minhyun yang menyadari bahwa sedari tadi hanya ada dirinya dan Eunbi diruang tamu rumah Minhyun.

"Mama didalem kamar, lagi sakit"jawab Eunbi.

Minhyun menganggukkan kepalanya, kemudian ia menelisik penampilan anaknya yang terbilang cukup rapih. Kening Minhyun mengernyit.

"Mau kemana kamu?"tanyanya.

Eunbi hanya menyengir, "Mau jalan sama Chanwoo. Yaudah ya pa, aku jalan duluan. Daaaa pa"pamit Eunbi yang langsung berlari kearah pintu rumah.

Melambaikan tangannya, sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu berwarna hitam tersebut. Minhyun hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian ia langsung bergegas untuk naik ke lantai dua, dimana kamarnya dan juga Bona berada disana.

Minhyun menghela nafas yang entah untuk keberapa kali sebelum akhirnya tangannya bergerak untuk memutar knop pintu kamar utamanya. Dengan langkah perlahan Minhyun masuk kedalam ruang kamar tersebut, menutup pintu dengan pelan sebelum akhirnya mendekatkan diri kearah ranjang yang terletak ditengah ruangan.

Minhyun memilih untuk duduk dipinggir kasur, ingatannya jatuh kebeberapa bulan yang lalu. Saat Bona mengetahui tentang Hira, hal itu menyebabkan pertengkaran hebat. Tidak bisa dielakkan lagi, Bona meminta untuk pisah. Namun Minhyun terlalu egois untuk mempertahankannya. Alasan yang masih Minhyun pegang selama ini. Ia mencintai Bona, namun juga mencintai Hira sama besarnya dengan cintanya untuk Bona.

Minhyun menundukkan kepalanya, dilihatnya wajah Bona yang terlihat memucat, berbeda dari biasanya. Tidak ada guratan bahagia, hanya ada guratan kesedihan yang terpancar dari raut wajah Bona. Minhyun tidak bisa melakukan banyak hal. Melepas salah satu dari keduanya sama saja membuat dirinya kehilangan arah. Bona adalah rumahnya, sementara Hira adalah alasannya untuk pulang kerumah.

Dengan perlahan tangan Minhyun bergerak untuk mengusap rambut Bona. Membuat Bona terasa terusik, kemudian ia membuka matanya. Minhyun tersenyum kecil, sebuah senyuman yang selalu menjadi favorit milik kedua istrinya.

"Ayah udah pulang?"tanya Bona dengan suara serak, khas orang bangun tidur.

Minhyun menganggukkan kepalanya, "Tidur aja lagi. Aku temenin"jawab Minhyun yang hanya dibalas anggukan oleh Bona.

Bona sedikit menggeser tubuhnya, memberikan sedikit ruang agar Minhyun bisa berbaring disebelahnya. Setelah Minhyun berbaring, Bona langsung melingkarkan kedua tangannya di pinggang Minhyun, memeluk suaminya itu dengan erat. Menyalurkan sebuah perasaan rindu.

Sementara Minhyun bergerak untuk membalas pelukan Bona, mengusap punggung Bona pelan. Menyalurkan perasaan hangat yang membuat nyaman perempuannya ini.

Minhyun rindu dengan suasana seperti ini, namun Minhyun tidak bisa mengelak jika ia juga rindu dengan pelukan hangat Hira. Pelukan berbeda dari milik Bona. Minhyun menghela nafas kasar, astaga, bahkan saat dirinya tengah bersama dengan Bona pikirannya melayang jauh, menuju sosok yang dulu selalu ia tinggalkan. Sosok Hira yang sudah ia rindukan dalam hitungan beberapa jam ini.

"Kamu nginep sini ya? Aku kangen"ucap Bona pelan didepan dada Minhyun.

Mendengar hal itu Minhyun yang bisa menganggukkan kepalanya, ia harus bersikap adil.

———
Tbc

Lanjut gak?

him not mine; Hwang Minhyun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang