06

4.8K 828 53
                                    

Hira menghela nafas lelah, perkejaannya benar-benar menumpuk. Membuat waktu untuk beristirahatnya berkurang. Dengan pelan ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, puluhan kardus masih harus ia cek lagi, belum lagi ditambah dengan beberapa desaign yang harus ia cepat selesaikan. Jam makan siang seolah surga baginya, disaat para pegawainya memutuskan untuk memakan bekal yang dibawa dari rumah, atau malah pergi ke cafe sebrang untuk memesan makanan. Hira malah memutuskan untuk berdiam diri didalam ruangannya, memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa pusing yang mendera tubuhnya.

Namun keinginannya itu seolah sirna, dering ponselnya berbunyi nyaring. Membuat Hira kembali membuka matanya, tangannya terulur untuk meraih ponsel berwarna hitam legam itu. Melihat nama panggilan yang masuk sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

"Halo? Kenapa mba?"tanya Hira dengan suara serak.

"Ini bu, tadi saya di telfon sama pihak sekolahnya dek Varo. Katanya dek Varo belum dijemput, ini mau saya yang jemput atau ibu?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut pengasuh Varo itu sontak membuat Hira mengernyit.

Minhyun tidak datang menjemput Varo?

Hira menghela nafas, ia mengetuk-ngetukkan jarinya diatas meja kerjanya.

"Mba aja yang jemput, saya masih banyak kerjaan. Sekalian ajak buat makan siang ya mba? Terus anterin ke butik saya"jawab Hira panjang.

"Yasudah bu kalau begitu, selamat siang"

"Ya, selamat siang"

Setelahnya panggilan terputus, membuat Hira langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya. Tangannya dengan cepat bergerak menekan-nekan layar lcd ponselnya, membuka aplikasi chat, dan mencari roomchatnya bersama dengan Minhyun.

Line

Mas?
Kamu ada kerjaan?
Kalo gitu, Varo jangan di jemput.
Aku udah suruh mba Juwi buat jemput Varo
12.16pm

Send

Hira kembali menghela nafas, andai saja hidupnya tidak serumit ini. Tidak harus berkeja, dan mengurusi anak dirumah. Iya, itu bisa dilakukan Hira jika ia memiliki Minhyun sepenuhnya. Namun pada nyatanya? Ia hanya memiliki setengah dari hati Minhyun. Pemilik hati yang bisa saja terusir jika salah satu dari pemilik hati tersebut memberontak, melakukan berbagai cara untuk memiliki sepenuhnya dari hati Minhyun.

Kenyataan yang harus diterima pahit oleh Hira, dirinya harus siap jika sewaktu-waktu Minhyun meninggalkannya. Setidaknya Hira tidak perlu mengemis lagi kepada Minhyun, karena dirinya sudah mempunyai tabungan untuk kehidupannya jika terlepas dari Minhyun. Setidaknya Hira juga melakukan antisipasi terlebih dahulu.




Hira membuka pintu kamarnya secara perlahan, pekerjaannya kian hari semakin menambah. Belum lagi ditambah Varo yang selalu rewel akhir-akhir ini, membuat Hira sedikit kelimpungan. Minhyun menghilang, seolah ditelan bumi. Terhitung sudah 4 hari dari terakhir kali Minhyun mengantarkannya pergi kebutik.

Pesan yang dikirimkan oleh Hira tak kunjung mendapatkan balasan, jangankan sebuah balasan. Dibacapun tidak. Kepalanya kembali berdenyut, entah mengapa akhir-akhir ini tubuhnya seolah susah untuk diajak kompromi, membuat Hira sangat-sangat kewalahan untuk mengurus kerjaannya. Dengan gerakan lambat, Hira melepas cardigan berwarna putih yang di kenakan. Menyisakan dress berwarna pastel dengan motif bunga-bunga, meletakkannya sembarang diatas kasur lalu beranjak untuk masuk kedalam kamar mandi. Berniat untuk membasuh wajahnya, namun pergerakannya terhenti saat perutnya seolah melalukan perlawanan, memberontak untuk keluar dari dalam tubuh Hira. Tanpa bisa wanita itu cegah, ia memuntahkan seluruh isi perutnya kedalam wastafel. Tubuhnya seketika berubah menjadi lemas. Dengan pelan ia membasuh mulutnya, kemudian menatap pantulan wajahnya dari cermin wastafel. Menatap pantulan dirinya yang terbilang lebih pucat dari biasanya.

"Bunda!"

"Bundaaaaa!"

Teriakan melengking milik Varo itu masuk kedalam indra pendengarannya, membuat Hira dengan cepat membasuh tangannya sebelum akhirnya bergegas untuk keluar dari kamar mandi yang memang terletak didalam kamarnya.

Seculas senyuman terukir diwajah Hira saat menatap tubuh mungil Varo yang sudah berada diatas kasurnya. Memukul-mukul bantal keatas kasur dengan mulut yang mengerucut sebal.

"Kenapa sayang?"tanya Hira sambil berjalan mendekat kearah Varo.

Mendudukkan dirinya dipinggiran kasur. Tak lama Varo menoleh kearah Hira, memekik senang kemudian berlari menghambur kedalam pelukannya. Hira terkekeh saat mendapatkan serangan tiba-tiba dari anak laki-lakinya itu.

"Bundaaaaa, laperrrr"seru Varo yang lantas membuat Hira terkekeh kecil.

Hira menganggukkan kepalanya, ia kemudian beranjak berdiri sambil mengangkat tubuh Varo yang berada didalam gendongannya.

"Kakak kemana?"tanya Hira kepada Varo saat keduanya berjalan menuruni tangga yang menjadi penghubung antar lantai satu dan juga lantai dua.

"Main, sama bang pelic"jawabaan polos dari Varo itu sukses membuat Hira tertawa.

Seolah tidak memperdulikan rasa pusing yang menderanya. Hira langsung menundukkan Varo dipantri. Kemudian langsung bergegas untuk berjalan menuju ke dapur yang letaknya berada dibelakang pantri. Membuka kulkas, lalu mengeluarkan dua buah butir telur dan sosis.

"Bikin omlate aja ya?"tanya Hira yang hanya diangguki oleh Varo.

Seolah tidak perduli dengan apapun yang bundanya masak, Varo hanya menganggukkan kepalanya lucu. Membuat poninya terbelah menjadi dua.

"Ayah keana bun?"tanya Varo dengan aksen cadelnya.

Hira terdiam, kemudian ia menoleh kearah Varo, tersenyum tipis sebelum akhirnya menjawab. "Ayah masih kerja, nanti kita telfon ya?"

Jawabannya yang Hira pikir akan membuat anak bungsunya itu diam, dan tenang, tidak akan bertanya lebih jauh lagi. Namun Hira salah, bukannya diam sembari menikmati omlate yang sudah Hira buat. Varo malah mencecarnya dengan rengekan agar Hira segera menelfon Minhyun.

Dengan terpaksa, Hira berjalan kelantai atas. Menuju kamarnya, mengambil ponselnya, kemudian ia kembali turun ke bawah. Hira duduk tepat dihadapan Varo yang tengah memakan omlate buatannya dengan lahap.

"Tepon ayahh bunnn, aku kangen ayahh"rengek Varo lagi.

Hira menghela nafas, kemudian menganggukkan kepalanya. Dengan lambat Hira membuka password ponselnya, bergerak untuk mencari nama Minhyun dideretan kontak yang Hira simpan. Sebelum akhirnya Hira menekan tombol panggil, tak lupa menekan tombol speaker dan meletakkan ponselnya diatas meja.

Nada sambungan masih terus terdengar, hingga akhirnya panggilan tersebut diangkat.

Varo bersorak riang, Hira tersenyum lembut, namun semuanya hancur ketika mendengar sebuah suara diujung sana.

"Hallo? Ini siapa ya? Suami saya lagi tidur, ada kepentingan apa?"

Dan tanpa pikir panjang, Hira langsung menekan tombol merah. Mengakhiri panggilan tersebut bersama dengan rasa sakit yang menyerang relung hatinya. Menimbulkan sebuah perasaan nyeri yang benar-benar membuat Hira merasa ingin menangis.

"Bunda? Tadi itu siapa?"

Pertanyaan singkat dari Varo tapi sangat sulit untuk dijawab oleh Hira. Pertanyaan yang bisa menimbulkan luka. Sebuah luka yang belum kering, namun kembali dibuka lagi.

Hidupnya terlalu menyedihkan.

---
Tbc


Kenapa dari kalian beranggapan bahwa disini Hira yang salah? Why? Jelaskan kepadaku

him not mine; Hwang Minhyun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang