3 : First Met

211 16 0
                                    

Jana mengayuh sepedanya dengan cepat, sekuat tenaga, seperti ia sedang dikejar oleh sesuatu. Peluh keringat membasahi pelipis dan keningnya, serta tubuhnya terasa tidak nyaman mengenakan seragam SMA yang sangat tidak bersahabat dengan keringat akibat terik matahari.

Ia telat. Lagi, dan lagi. Tiga tahun sekolah, ia selalu telat. Mungkin ia akan berhenti datang ke sekolah telat waktu kalau tiap pagi ia tidak harus menyiapkan sarapan dan membenahi rumah dulu, lalu pergi ke sekolah yang jaraknya jauh itu dengan sepeda.

Tapi, ia menyayangi sepeda berwarna jingganya ini. Ditatapnya keranjang sepeda yang menjadi tempatnya menaruh tas ransel, dan tersadar bahwa waktu terus berjalan. Ia hanya punya waktu kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke sekolah tepat waktu.

Lima belas menit kemudian, ia sampai di sekolah. Dan untungnya, gerbang sekolah belum ditutup. Ia selamat. Ia tidak telat! Sepertinya hari ini akan berjalan dengan baik. Tumben sekali, biasanya ia selalu sial.

Karena tidak ada tempat untuk memarkir sepedanya (maklum saja...teman-temannya yang bersekolah di sini selalu membawa mobil, diantar supir, atau minimal membawa motor ninja yang harganya setara dengan harga sebuah mobil) dan ia sudah sangat dipepet oleh waktu, dengan terpaksa ia memarkirkan sepedanya di area mobil.

Diedarkannya pandangan sembari tangannya memapah sepedanya berjalan di antara mobil-mobil mewah. Rasanya kelas sudah dimulai baru saja, koridornya tampak sepi. Ah, mobil-mobil mewah ini...kapan ia bisa naik di dalamnya bersama seorang cowok tampan yang gagah? Yang menjemput dan mengantarnya setiap hari. Jadi, ia tidak perlu panas-panasan naik sepeda, bau karena terik matahari, ah....indahnya....

Tiba-tiba, terdengar suara bunyi dua benda bergesekan. Membuat telinganya ngilu. Lamunannya langsung hilang dimakan angin.

"Aaahhh!" Jana terpekik. Ia memejamkan matanya sebentar sambil menutupi kupingnya, tapi ketika ia membuka mata, ia terperanjat. Ia segera merutuk dirinya yang sangat gemar melamun.

"Astaga! Ya ampun! Mati gue! Mampus!" Jana panik luar biasa melihat mobil BMW silver yang ada di hadapannya kini terdapat baret cukup panjang pada bagian pintu. Merutuki dirinya yang begitu ceroboh, Jana buru-buru membetulkan posisi spion sepedanya.

"Jana!"

Mendengar teriakan yang menyerukan namanya, membuat Jana tersentak.

"Buset!"

Jana melirik Rico yang wajahnya pucat pasi mendapati mobilnya baret. Rico melempar pandangan marah kepada Jana. Percaya saja, wajah marahnya lebih seram daripada makhluk astral apa pun di dunia ini.

"Lo...baretin...mobil..mahal gue?" tanyanya menahan amarah.

Jana meringis, "Maaf, Ric. Kena spion gue..." Dalam hati ia mengumpat. Masuk akal tidak, sih, spion murah yang ia beli di pasar loak lalu ia pasang di sepedanya ini bisa membareti mobil mewah seperti BMW?

"Ganti. Lo harus ganti. G-A-N-T-I." Rico mengeja kata ganti dengan penuh penekanan.

Jana tahu bagaimana caranya mengeja kata ganti.

"Mobil ini mahal. Mewah. Lo kira belinya pake daun!?"

Jana sudah punya mobil seperti itu sepuluh kalau belinya pakai daun.

"JANA!!?"

Jana tersentak. "OKE! AKAN GUE GANTI!" Kini ia ragu dan menyesal mengapa ia bilang ia akan menggantinya.

Benar saja, Rico memandangnya sinis dan penuh remeh. Ah, Jana benci sekali pandangan itu. "Kalau uangnya nggak ada besok, gue bakal laporin lo ke Githa, supaya bokap-nyokapnya tau kalau lo nggak bertanggung jawab."

"Apa!?" pekik Jana, tidak mempercayai pendengarannya. "Lo nggak usah bawa-bawa Githa. Gue bisa, kok, ganti rugi biaya mobil lo." Ia menunjuk baret di pintu mobil Rico.

Membayar biaya ganti rugi lebih baik dibandingkan dilaporkan ke tante dan omnya. Walaupun ia tidak tahu bagaimana caranya supaya bisa dapat uang.

****

"Kan lo tahu. Lo bisa tinggal sama gue. Lo bisa kuliah dari uang kerja lo, atau lo bisa pinjem sama gue dulu." Saran Dea. Gadis yang berumur hanya beberapa tahun lebih tua dari Jana itu memandang Jana dengan pandangan kasihan.

Jana merapikan seragam pekerja kafe yang dikenakannya. Seragam berenda berwarna kuning dan biru, namun nampak manis di tubuhnya.

"Nggak bisa. Gue nggak mau ngerepotin lo, De. Lagipula...gue juga harus tinggal ama mereka. Kalau gitu, gue nggak akan bisa tau tentang orang tua gue." Jana keluar dari ruangan karyawan.

"Terus?" Dea menghalangi jalannya. "Lo mau terus-terusan hidup kayak gini sampai kapan? Nggak cukup lo jadi babu mereka selama tujuh belas tahun lo hidup?"

"Nggak." Jana berjalan lagi. Ia mengambil nampan berisi pesanan pengunjung kafe sambil mengedipkan matanya pada Dea, "Bentar lagi lulus. Gue bakal kuliah yang jauh dari mereka. Dan sebelum itu, gue bakal tahu soal keluarga gue yang sebenarnya."

Dea menatap Jana yang kembali lagi dengan kesibukannya bekerja. Tak lama kemudian gadis itu kembali.

"De, ngomong-ngomong...boleh minjem uang gaji gue dulu nggak? Nanti potong gaji gue akhir bulan." Pinta Jana.

Dea mengangguk cepat sambil tersenyum.

"Ih, enak, deh, punya sahabat yang megang keuangan! Bisa minjem uang terus, yeee..." Jana mencubit kedua pipi Dea.

"Enak aja! Dasar suka manfaatin orang!"

"Jana, meja 2 minta menu, tuh!" teriak teman kerjanya.

"Kerja dulu, ya....dah!" Jana pun kembali bekerja.

****

"Udah sampai, Mas Dave. Ini SMA Casaluna."

Dave mengangkat wajah dari buku Sidney Sheldon yang tengah ia baca. Buku tebal itu ia tutup dan ia masukkan ke dalam tas ranselnya. Ia melempar senyum pada supirnya dan mengangguk.

"Oh, ya...." Sebelum ia membuka pintu mobil, ia menatap supirnya sebentar, "Pak, selama saya sekolah di sini...kalau ada orang yang nanya-nanya soal saya, bilang nama saya Jove. Saya adalah Jove. Tapi tolong, jangan bilang siapa-siapa soal ini."

"Baik, Mas Dave."

Dave mengangguk puas dan melangkah keluar dari mobil BMW silver tersebut. Ia tahu supirnya itu bisa dipercaya, ia yakin. Lagipula, lebih parah lagi kalau ketahuan ia bukanlah Jove, melainkan Dave.

Diedarkannya pandangan ke tiga gedung sekolah yang berdiri di hadapannya. Dalam hati ia menghela napas.

Jove, gue melakukan semua ini demi kepentingan kita berdua, batinnya. Baiklah. Ia akan berpura-pura menjadi Jove di sekolah ini selama beberapa hari, atau mungkin minggu, yang jelas hanya dalam waktu sementara. Jujur saja, ia kurang nyaman dengan rencana ini. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, namun ia tidak dapat melakukan apa-apa karena rencana inilah satu-satunya yang bisa menyelesaikan segalanya.

Setidaknya, di gedung di hadapannya inilah ia akan menghabiskan hari-harinya ke depan.

Sudah berapa lama ia tidak sekolah seperti anak normal? Entahlah. Selama ini ia hanyalah home schooling. Dalam hati ia cukup berdebar juga.

"Ric,"

Dave tersentak ketika ada seorang gadis mendekatinya. Gadis itu berambut pendek lurus berwarna hitam sebahu, tubuhnya kurus dan agak tinggi, namun Dave tidak dapat melihat wajah gadis itu karena ia menunduk.

"Oh, mobil lo udah nggak baret lagi. Lo udah benerin, ya?" gadis itu berkata lagi.

Dave mengerutkan dahinya.

"Ini uang ganti ruginya," gadis itu menyodorkan uang kepada Dave. Dave yang bingung hanya melongo namun tetap menerima uang itu.

"Tas lo mau gue bawain?"

"Hah!? Eng..enggak..." Dave menjawab bingung.

"Oke, deh." Gadis itu kemudian berlalu dengan kepala madih tertunduk lesu.

Sepeninggal gadis itu, Dave melongo. Perlahan, seulas senyum tersungging di wajahnya.


Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang