36 : Please, Stay

135 8 0
                                    

Sayangnya, Khanza tidak sempat bertemu dengan Jove. Gadis itu sudah harus kembali ke Milan, dan selama itu Jove masih belum tersadar. Jana tetap di sana, selama tiga hari, terus berdoa dan bahkan tidak berani untuk meninggalkan Jove barang sedetik pun. Ketakutan berkecamuk di dalam dadanya, hatinya begitu gelisah memikirkan Jove. Sampai pada hari keempat, semua itu sirna saat dokter memindahkan Jove ke ruang rawat inap biasa, tanda bahwa keadaannya sudah pulih.

Jana senang sekali, amat senang. Kini, ia hanya tinggal menunggu cowok itu tersadar. Tetapi, tak urung kegelisahan baru muncul di dalam hatinya. Bagaimana jika Jove setelah Jove tersadar nanti, cowok itu tidak mau menemuinya?

Pintu ruang rawat Jove diketuk dari luar, dan Jana cepat-cepat membukakannya. Detektif Quentin.

"Apakah ada kabar tentang penabrak Jove?" tanya Jana setelah Detektif Quentin duduk di sofa dan menyeruput segelas kopi hangat.

"Ada. Tapi, aku ragu kalau itu berita baik atau buruk untukmu." Detektif Quentin mengedikkan bahunya, "Pemilik mobil itu bukanlah pelaku yang menabrak Jove. Ia mengaku kehilangan mobilnya sehari sebelum kejadian, dan tiba-tiba ia mendapat kabar dari kepolisian bahwa mobilnya telah terlibat ke dalam sebuah kasus tabrak lari."

"Apa!?" Jana terperanjat. Hatinya berdegup kencang. Bisa jadi kalau pelaku yang menabrak Jove adalah komplotan yang selama ini menerornya? "Jadi, pelakunya masih berkeliaran di luar sana?"

Detektif Quentin mengangguk, "Apakah...ini ada kaitannya dengan teror yang kamu alami?" Ia memicingkan matanya.

"Mudah-mudahan, sih, nggak." Jana mendesah. Ia mencoba untuk menenangkan diri selama beberapa saat, lalu menatap sosok Jove. "Omong-omong...apakah ayah Jove tahu kalau anaknya kecelakaan? Selama di sini, aku nggak pernah liat ayahnya."

Gurat simpati tersirat di wajah Detektif Quentin, "Entahlah. Ada sesuatu yang kita tidak tahu dan lebih baik untuk kita tidak mengetahuinya, bukan?"

Jana terpekur. Kemudian, ia merasa ada sesuatu yang harus ia tanyakan kepada Detektif Quentin.

"Apa yang seharusnya aku ketahui tapi aku tidak tahu?"

Detektif Quentin diam membisu.

"Aku sudah lelah, tolong. Aku perlu tau tentang alasan Jove melakukan ini padaku. Mungkin nanti saat ia terbangun, kalau ia mengabaikanku lagi, setidaknya aku bisa menerimanya! Karena aku sudah tahu kalau memang tidak ada alasan lagi baginya untuk bersamaku. Tapi, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu..." Jana memelas, "dan aku yakin Detektif Quentin tahu apa itu."

Detektif Quentin tampak runtuh pertahanannya, dan ia memandang Jana.

"Aku mohon," pinta Jana.

Dan mengalirlah dari mulut Detektif Quentin tentang alasan Jove menjauhinya selama ini. Mendengar dan mengetahuinya, memang membuat Jana lega-setiaknya Jove tidak menjauhinya karena cowok itu bosan padanya dan tidak memiliki rasa yang sama dengannya. Tetapi, Jana di lain sisi malah merasa bersalah. Ya, Jove sudah banyak berkorban untuknya.

Sepeninggal Detektif Quentin, Jana duduk di samping tempat tidur Jove. Duduk di sana, menangis tanpa suara. Tangannya mengelus tangan Jove yang dingin, dalam hatinya ia menyerukan nama Jove begitu keras-seolah Jove bisa mendengarnya.

"Bangun, Jov. Gue udah tahu semuanya. Tolong jangan tinggalin gue begitu aja," Jana terisak, "tolong. Ya, Tuhan..." Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan. Ia terus menangis, sampai ia tidak tersadar kalau ia tertidur dengan kepala tertelungkup di atas tangan Jove. Kemudian, ia terbangun ketika merasa ada sesuatu yang bergerak. Alangkah terkejutnya ia ketika tersadar kalau Jove telah sadar.

Jove telah tersadar!

Dengan mata yang sembab, Jana tersenyum sumringah.

"Jove! Astaga! Lo udah sadar! Lo udah bangun!" Jana tidak pernah merasa sesenang dan selega ini. "Gue panggil dokter, ya!" Ia melesat ke luar ruangan dan memanggil dokter.

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang